Translate

Tampilkan postingan dengan label Gubernur NTB. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gubernur NTB. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 Mei 2015

Kondisi Jalan dan Orientasi Kebijakan Infrastruktur Jalan di Nusa Tenggara Barat (2)



Kinerja Pembangunan dan Pemeliharaan Jalan

Pemerintah Daerah dibawah kepemimpinan  Gubernur TGH Zainul Majdi hari ini mewarisi kondisi jalan yang buruk. Kondisi jalan di NTB ini memang bisa disebut warisan yang tak kunjung mendapatkan penanganan memadai.

Jika direview kembali hingga ke era-era sebelumnya,  pada awal pemerintahannya Gubernur Harun Alrasyid (1999-2003) mendapatkan warisan kondisi jalan provinsi dengan tingkat kemantapan relative bagus sebesar 87 persen. Ia bercita-cita untuk meningkatkan kondisi jalan di NTB dengan angka prestisius hingga 94 persen. Namun masalah nampaknya cukup banyak menghadang, pada akhir pemerintahan Harun fakta menunjukkan bahwa tingkat kemantapan jalan malah turun ke titik 74 persen.  Wajar jika pada era pemerintahan Gubernur Lalu Serinata (2003-2008), peningkatan kualitas jalan ini pun menjadi salah satu agenda penting pemerintah daerah. Namun, apa mau dikata kondisi kemantapan jalan secara umum malah semakin menurun.  Pada akhir pemerintahan Serinata, tercatat kondisi kemantapan jalan di NTB hanya 44,25 persen. Kondisi inilah yang diwarisi pemerintahan Gubernur Majdi  sejak menjabat pada pertengahan 2008 silam. Review diatas memperlihatkan bahwa kerja menangani kondisi jalan NTB bukanlah pekerjaan mudah.

Ekonomi-Politik Pemerintahan Gubernur Majdi

Sejauhmana efektivitas pemerintahan Gubernur Majdi akan sangat ditentukan oleh berbagai factor. Dengan mengkapitalisasi faktor pendukung  dan sebaliknya meminimalisir faktor pelemah, Gubernur dapat lebih optimis menjalankan misi pemerintahannya. Beberapa factor yang akan dikemukakan pernah menjadi tema diskusi saat kunjungan silaturrahmi calon gubernur KH. M. Zainul Majdi ke Sekretariat SOMASI NTB menjelang perhelatan Pilgub NTB, dua tahun silam.

Minggu, 21 April 2013

Kinerja Kejaksaan Daerah dalam Penanganan Korupsi



Integritas berarti melihat gambaran yang lebih besar, menemukan tujuan yang lebih besar
daripada diri Anda (Habitat for Humanity)
Komitmen terhadap keseluruhan (pemegang kepentingan) secara kolektif  (O.C. Tanner Company)


Tepat pada Hari Anti Korupsi Internasional, 9 Desember 2008 lalu, Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB mempublikasikan telah menangani 16 kasus korupsi tahun itu, dan karenanya telah berhasil memenuhi standar kinerja yang ditetapkan  Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menyelesaikan lima kasus ke tahap penuntutan. Atas capaian tersebut, lembaga yang berkantor di Jalan Langko ini mendapat posisi dua terbaik se-Indonesia. Ironisnya, berbeda dengan keterangan Kejati NTB, SOMASI memberi nilai MERAH untuk kinerja Kejaksaan Tinggi NTB.[1]
Tulisan ini akan mengurai latar yang memunculkan dua penilaian yang berbeda terhadap kinerja kejaksaan tersebut, sekaligus membangun perspektif inovatif mengenai  indikator kinerja kejaksaan di tingkat daerah. Harapannya,  Kejati NTB dapat mengakomodir perspektif ini dalam kerjanya ke depan, termasuk dalam menyampaikan laporan kinerjanya kepada publik.

Minggu, 31 Maret 2013

Kebebasan Pers & Agenda Demokratisasi



‘… kita ini  kan cuma ikan kecil di kolam besar’. Ucapan ini keluar dari seorang redaktur, ketika saya mempertanyakan  konsistensi pemberitaan koran-nya mengenai sebuah bank lokal.  Saya mencoba memaklumi  pilihannya, meski saya juga tahu salah seorang rekannya –entah dia tahu atau tidak-- telah berkunjung ke kantor pusat Bank untuk membicarakan kerjasama. ’Punya ”parang” tapi tak mampu menggunakannya dengan baik’,  Kalimat lugas seorang jurnalis mengomentari situasi itu.  Dia, jenis jurnalis yang jika ditanya sikapnya tentang posisi wartawan dalam perubahan sosial sering bilang begini:  karena kita makhluk sosial, sesibuk apa pun menjalani profesi kita, harus tetap menyediakan  waktu untuk mengurusi masalah orang banyak.

Jurnalis pastilah bukan sejenis tukang jagal nasib orang, tapi saya pun ingat petuah beberapa  jurnalis senior: menjadi jurnalis itu sebuah pilihan hidup, harus ada keterpanggilan terhadap profesi. Namun seperti juga apologi sang redaktur, ia hanyalah pemain kecil dalam struktur yang lebih besar, kehilangan kebebasannya dan kesetiaan terhadap profesi harus mengalah. Debat ini, meski menegaskan lanskap pandangan yang sama bahwa pers adalah institusi sosial, tapi  sekaligus mengeluarkan warga (people, citizen, demos) dari perbincangan. Meski sudah inward dan outward looking, diskusi hanya berpusar pada diri si wartawan dan struktur yang melingkupinya.

Strategis Sekaligus Politis, Bukan Teknis



Argumen Mengapa Wacana Merubah Target Capaian RPJMD NTB Harus Ditolak


Determinan utama untuk mengatasi kemiskinan dan kelaparan
 adalah pemerintahan yang baik (Koffi Anan, Sekjen PBB)

MENARIK mengikuti diskusi dua orang birokrat yang sama-sama bertugas di Bappeda, instansi yang tupoksinya menyusun perencanaan strategis Pemprov NTB, di Rubrik Opini Harian SUARA NTB. Jika Rosiady (6/12) menyebut ada “kesalahan rumus” terkait IPM, yang mengakibatkan NTB sulit ke posisi papan tengah nasional; Manggaukang Raba (9/12) telah mengulitinya secara lugas dan mengklaim adanya “kesalahan perencanaan” oleh Bappeda terkait RPJMD NTB. Saya tidak akan memfokuskannya, melainkan menajamkan implikasi yang mungkin terjadi atas diskusi itu, sekaligus memajukan perspektif yang berbeda khususnya terkait wacana  Kepala Bappeda, DR. Rosiady, belum lama ini, untuk merubah target RPJMD Provinsi NTB 2009-2013.

Pemberantasan Korupsi Tanpa Pemimpin



Robo mas faco obras.
(Ya, saya memang merampok, tapi pekerjaan umum terlaksana, kan?)

Bogor, 2003. Sesi sepekan kami sepanjang tiga hari pertama dimentori seorang profesor dari Rand Institute, sebuah lembaga yang dikenal punya hubungan dekat dengan CIA (Central Intelligence Agency), AS. Saya beruntung bisa hadir  karena sedang memimpin sebuah program antikorupsi  di NTB yang disokong The Asia Foundation, penyelenggara acara ini. Bonus tambahannya,  saya sekamar dengan Eko Prasetyo, pengelola penerbitan INSIST Jogya yang terkenal dengan seri buku “Orang Miskin Dilarang…”-nya, yang belakangan  mendirikan RESIST Book. Pertemuan itu bertajuk Efficiency and Integrity in Government : Diagnosing Problems and Creating Solutions.