Translate

Minggu, 31 Maret 2013

AKU BERHENTI MENULIS PUISI



(untuk “Legiun Narsis”)

Si Fulan melingkarkan lengan di pundakku: mana puisimu, datang dan bacakan.
Puisi terakhirku berbulan-bulan silam, jawabku.
Ia  menjual konsesi, merayuku, meyakinkanku.

Terpaksa kubeli:
Aku berhenti menulis puisi!
Aku menulis puisi saat sempit, kejepit, terjajah. Aku menulis puisi saat senang, bangga, romantic. Aku menulis puisi saat ragu, takut, malu. Aku menulis puisi saat muram, sedih, tak berdaya.
Aku tak lagi butuh menertibkan rasa. Aku berhenti menulis puisi, sobat.

:Siapakah engkau sahabatku? Aku sadar pundakku kini hanya kumiliki sendiri.
Perkenalkan: aku aktivis.
Aku mengajak orang mengenalkan otak dengan hati dengan tangan dengan kaki.

:Apa yang sudah kau hasilkan? Kedua alisnya naik, kedua tangannya di pinggang membangun segitiga berhadapan.
Banyak: pamflet, bendera,  orator baru, pagar roboh, macet, kaca pecah, gambar bagus di tivi, tiga tewas, seleb baru…
:Apalagi? Banyak! Contohnya komisi-komisi negara baru yang kemudian masuk angin dan buntung, dsb.
:Apalagi?? Banyak!! Seperti orang boleh bicara apa saja, koran bebas menulis, meski hanya yang mampu bayar yang boleh tayang, dsb.
:Apalagi??? Banyak!!! Penguasa-penguasa yang  sekarang  tak lagi  bisa menolak pemerintahan yang bersih, anggaran pro-poor,  pemenuhan HAM, lengkap dengan koruptor, tukang palak,  ahli jilat, dlsb.
:Apalagi!?
 Bagero kau! Orang-orang baru  tak kenal huruf yang sedang belajar menulis puisinya sendiri seperti kau yang kenyang sekolahan. Mereka-mereka yang berani menertawakan masa lalunya yang gelap. Gerombolan baru yang membacakan puisinya sendiri di jalanan dalam permainan peran mengenali diri dan penindasnya. Legiun domba yang sedang membangun keberanian, dst, dst.

:Tapi, engkau baru saja bilang kau berhenti menulis puisi.
Suatu saat mereka juga akan berhenti menulis puisi, seperti aku, atau tetap menulis puisi. Terserah mereka saja.
Itu pasti. Aku hanya perlu bersabar.

Aku aktivis.
Aku belajar  tentang kesabaran.

Ia memelukku erat-erat.

(Si Fulan itu, kini kupanggil ia Lan. Ia setuju, meski aku tak lagi menulis  puisi)


17 Januari 2012

Kebebasan Pers & Agenda Demokratisasi



‘… kita ini  kan cuma ikan kecil di kolam besar’. Ucapan ini keluar dari seorang redaktur, ketika saya mempertanyakan  konsistensi pemberitaan koran-nya mengenai sebuah bank lokal.  Saya mencoba memaklumi  pilihannya, meski saya juga tahu salah seorang rekannya –entah dia tahu atau tidak-- telah berkunjung ke kantor pusat Bank untuk membicarakan kerjasama. ’Punya ”parang” tapi tak mampu menggunakannya dengan baik’,  Kalimat lugas seorang jurnalis mengomentari situasi itu.  Dia, jenis jurnalis yang jika ditanya sikapnya tentang posisi wartawan dalam perubahan sosial sering bilang begini:  karena kita makhluk sosial, sesibuk apa pun menjalani profesi kita, harus tetap menyediakan  waktu untuk mengurusi masalah orang banyak.

Jurnalis pastilah bukan sejenis tukang jagal nasib orang, tapi saya pun ingat petuah beberapa  jurnalis senior: menjadi jurnalis itu sebuah pilihan hidup, harus ada keterpanggilan terhadap profesi. Namun seperti juga apologi sang redaktur, ia hanyalah pemain kecil dalam struktur yang lebih besar, kehilangan kebebasannya dan kesetiaan terhadap profesi harus mengalah. Debat ini, meski menegaskan lanskap pandangan yang sama bahwa pers adalah institusi sosial, tapi  sekaligus mengeluarkan warga (people, citizen, demos) dari perbincangan. Meski sudah inward dan outward looking, diskusi hanya berpusar pada diri si wartawan dan struktur yang melingkupinya.

Strategis Sekaligus Politis, Bukan Teknis



Argumen Mengapa Wacana Merubah Target Capaian RPJMD NTB Harus Ditolak


Determinan utama untuk mengatasi kemiskinan dan kelaparan
 adalah pemerintahan yang baik (Koffi Anan, Sekjen PBB)

MENARIK mengikuti diskusi dua orang birokrat yang sama-sama bertugas di Bappeda, instansi yang tupoksinya menyusun perencanaan strategis Pemprov NTB, di Rubrik Opini Harian SUARA NTB. Jika Rosiady (6/12) menyebut ada “kesalahan rumus” terkait IPM, yang mengakibatkan NTB sulit ke posisi papan tengah nasional; Manggaukang Raba (9/12) telah mengulitinya secara lugas dan mengklaim adanya “kesalahan perencanaan” oleh Bappeda terkait RPJMD NTB. Saya tidak akan memfokuskannya, melainkan menajamkan implikasi yang mungkin terjadi atas diskusi itu, sekaligus memajukan perspektif yang berbeda khususnya terkait wacana  Kepala Bappeda, DR. Rosiady, belum lama ini, untuk merubah target RPJMD Provinsi NTB 2009-2013.

Provinsi Baru atau Memperbaiki Layanan? (2)



Momentum= Gaya x Jarak
 (rumus terpenting mahasiswa teknik sipil semester awal)

Jika Anda bisa mulai bersepakat dengan gagasan saya, bahwa perbaikan dan perluasan layanan tidak serta-merta harus ditempuh melalui pengembangan atau pembentukan sebuah struktur baru,  sebuah umpan-balik derivatif (turunan) kiranya juga perlu mendapat perhatian. Untuk memperluas pelayanan tidak harus memerlukan struktur (pemerintahan) baru, namun, sebuah upaya perluasan layanan juga bisa menjadi sasaran antara untuk mengembangkan sebuah struktur baru. Hal ini bisa semakin diperjelas jika dinamika agen-nya ikut dipotret.

Mutasi isu: Perbaikan layanan menuju  Provinsi Baru
Dalam ranah pengorganisasian warga, para aktivis mengenal istilah Mutasi Isu. Ia dilaksanakan jika ada jurang (gap) antara kebutuhan kelompok dampingan dengan apa yang menjadi perhatian kelompok sasaran eksternal. Mutasi isu diperlukan sebagai batu loncatan untuk mendapatkan dukungan melalui pemenuhan kepentingan/keberpihakan kelompok sasaran yang ingin diajak mendukung agenda kita.

Provinsi Baru atau Memperbaiki Layanan? (1)



Adakah hubungannya struktur dan pelayanan?
(dari cerpen Cacing di Septic-tank Rezim)

Gagasan yang saya anjurkan sementara ini adalah mengembangkan cara berfikir alternative bagaimana mengkaji kembali struktur yang sekarang eksis, dan menatanya kembali (restrukturisasi) dengan orientasi baru untuk melayani warga. Alih-alih terjebak  dan larut dalam arus psikologi umum untuk memperluas struktur (pemerintahan) dan mengembangkan struktur baru namun dengan memelihara cara berfikir dan orientasi status quo: stabilitas dan mobilisasi.

Pemberantasan Korupsi Tanpa Pemimpin



Robo mas faco obras.
(Ya, saya memang merampok, tapi pekerjaan umum terlaksana, kan?)

Bogor, 2003. Sesi sepekan kami sepanjang tiga hari pertama dimentori seorang profesor dari Rand Institute, sebuah lembaga yang dikenal punya hubungan dekat dengan CIA (Central Intelligence Agency), AS. Saya beruntung bisa hadir  karena sedang memimpin sebuah program antikorupsi  di NTB yang disokong The Asia Foundation, penyelenggara acara ini. Bonus tambahannya,  saya sekamar dengan Eko Prasetyo, pengelola penerbitan INSIST Jogya yang terkenal dengan seri buku “Orang Miskin Dilarang…”-nya, yang belakangan  mendirikan RESIST Book. Pertemuan itu bertajuk Efficiency and Integrity in Government : Diagnosing Problems and Creating Solutions.

Kesaksian



Pada suatu ketika

Bermula warisan
Dihela kesempatan
Melenggang lakon polesan
     Sedikit simbol laten  
tamparan lama
pembayangan baru
    
Monumen, monumen, monumen


Aku bersaksi

Daun-daun jeda merancak
Sayap-sayap enggan mengepak
Tangan-tangan tak kuasa mengepal
     Banyak kerumun
     portal-portal
     kotak-kotak
    
Nafsi, nafsi, nafsi


Sesungguhnya

Bibit tumbuh di lahan yang siap
Tibanya daun setelah berakar
:menjelma bunga bersama doa matahari
     dan rekayasa, dan momentum
    
Ide lahir dalam nyata dan khayal
Selami angin bersayap ego dan batin
:menjelang hakikat bersama renung bulan
     dan gaya, dan daya

Ideologi berseru sepanjang usia
Tangan terberi ’tuk kenali kaki
:mengada gerak bersama takbir bumi
     dan konstelasi, dan perubahan

Pejeruk-Pagesangan, Feb 2010