Translate

Minggu, 31 Maret 2013

Provinsi Baru atau Memperbaiki Layanan? (1)



Adakah hubungannya struktur dan pelayanan?
(dari cerpen Cacing di Septic-tank Rezim)

Gagasan yang saya anjurkan sementara ini adalah mengembangkan cara berfikir alternative bagaimana mengkaji kembali struktur yang sekarang eksis, dan menatanya kembali (restrukturisasi) dengan orientasi baru untuk melayani warga. Alih-alih terjebak  dan larut dalam arus psikologi umum untuk memperluas struktur (pemerintahan) dan mengembangkan struktur baru namun dengan memelihara cara berfikir dan orientasi status quo: stabilitas dan mobilisasi.
 

Dalam sebuah kesempatan diskusi malam di kantor redaksi  SUARA NTB, saya sempat berdebat dengan Pak BM, Wagub kita,  mengenai hubungan antara struktur dan pelayanan. Saya menyarankan kepada audiens diskusi ada baiknya berfikir alternatif bahwa perbaikan (perluasan) layanan tidak melulu harus dibarengi dengan memperluas struktur atau mengembangkan struktur baru. Ambil contoh, RSU provinsi menurut saya untuk NTB kita perlu paling tidak sampai lima, seharusnya tanpa perlu embel-embel “RS Rujukan”. Anda semua tahu belaka, sejauh ini Pemprov baru bisa membangun satu RS Rujukan Pulau Sumbawa.

Menurut Pak BM, tetap saja ketika ingin memperluas layanan mau tidak mau kita harus memperluas atau mengembangkan struktur baru. Diskusi memang belum selesai. Saat itu, saya menyebut nampaknya ada beda pemahaman (episteme) tentang apa yang saya sebut sebagai “struktur” dan berjanji dalam kesempatan lain akan memperjelas maksud. Tulisan ini juga saya hajatkan untuk melanjutkan keterangan lisan kepada Salman Alfarisi dan Farid Tolomundu yang sempat ngobrol sebelum beranjak pulang karena malam semakin larut. Untuk tujuan kontekstualisasi, saya akan membidiknya melalui fenomena pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa.  
***

Struktur dan Kuasa: Stabilitas dan Mobilisasi
Struktur kekuasaan lama pada era tradisionalis dibangun  dan berpuncak pada penguasa, atas nama mandat dari langit (makrokosmos). Berbeda dengannya, struktur negara modern dibangun sejalan dengan berkembangnya paradigma negara-bangsa (nation-state). Teologi kekuasaan modern mengandaikan  adanya pemisahan antara ruang public dan privat. Negara diharapkan bisa memerankan  kekuasaan yang adil-paramartha, guna mencapai tujuan keadilan dan kesejahteraan untuk semua.  Namun meski teologi mengalami pergeseran,  bangunan struktur  baik dari era tradisional hingga kini sebenarnya belum berubah. Ia ditata, masih untuk melakukan control untuk meraih stabilitas dan melakukan mobilisasi (baik sumberdaya maupun massa), untuk kepentingan kekuasaan pusat, meski dengan tujuan dan dalam konteks situasi yang berbeda.

Pada era Kerajaan Mataram di Jawa misalnya, struktur kekuasaan yang lebih tinggi (pusat) tidak dapat mengabaikan sub-struktur  yang telah lama eksis, ia ditata dengan  mengakomodir sub-struktur  ini. Namun demikian, itu berarti eksistensi (supra) struktur itu juga ditentukan oleh sejauhmana  dukungan dari sub-struktur yang menopangnya. Dalam cara pandang Jawa, diterima dua unsur yakni Gusti-Kawula, sebagai komponen yang berbeda dari masyarakat tetapi yang sama derajatnya, dimana gusti sama seperti kawula dan yang satu memerlukan kehadiran yang lain. Dan kerajaan dipersepsikan sebagai suatu lembaga yang mengatur seluruh masyarakat untuk kepentingan mereka. Stabilitas dijaga dengan sejauhmana penguasa pusat memelihara keselarasan dengan daerah-daerah sekitarnya dalam kerangka gusti-kawula. Karena secara geografis umumnya kerajaan pusat berada di daerah pedalaman, struktur yang dibangun harus mampu menjamin adanya aliran (mobilisasi) sumberdaya dari daerah pinggiran yang terletak di daerah pantai. Tergantung penguasa pusat, apakah sumberdaya itu  akan direalokasikan kembali dari pusat ke pinggiran, atau malah ditumpuk untuk kepentingan pusat.

Berbasis pemahaman seperti inilah, dalam menjalankan penguasaannya atas Jawa, Belanda kolonial pada awalnya memerintah rakyat secara tidak langsung melalui golongan penguasa. Namun secara berangsur-angsur melakukan transformasi kekuasaan dengan menggantikan para penguasa itu sedemikian rupa sehingga ia kemudian menjadi Gusti yang sesungguhnya bagi masyarakat Jawa. Pangreh Praja, system pemerintahan Jawa pada era  Belanda, nampaknya sekedar merupakan kelanjutan dan penggunaan kembali system tradisional meskipun telah mengalami penguatan kelembagaan.

Dalam khazanah local, struktur untuk kepentingan stabilitas dan mobilisasi ini menjelaskan  mengapa pola penataan kota Mataram dan Cakranegara yang dibangun Kerajaan Mataram abad sebelumnya kini menghasilkan kantong-kantong kecil  “orang Mentaram”  yang sulit diorganisasi, bahkan oleh kerangka struktur modern sekalipun (kini kelurahan sudah menjadi SKPD baru). Ia juga menjelaskan mengapa  struktur kerajaan birokrasi tradisional Bima mengenal sistem dari  dan memiliki kelembagaan resolusi konflik (‘trio-sara’) hingga ke level kampung, dibanding situasi terkini maraknya perkelahian antar-kampung karena pemicu sepele. Atau mengapa pola kemutar telu yang justru digunakan oleh kerajaan-kerajaan di seputaran Sumbawa. Sementara pengaturan pola kepemilikan tanah di Lombok sepanjang abad 19 sebagaimana diulas mendalam oleh van der Kraan, dapat menjadi cermin bagaimana penghisapan dan penumpukan sumberdaya dilakukan secara sistemik, bahkan menjangkau tingkat paling bawah.

Perubahan struktur secara besar-besaran sebenarnya  justru terjadi ketika masa pendudukan fasis Jepang yang hanya tiga setengah tahun, meski dalam konteks situasi yang relatif berbeda namun kembali  untuk tujuan stabilitas dan mobilisasi. Karena sedang menghadapi perang, balatentara Jepang melakukan mobilisasi sumberdaya (logistik) sekaligus mobilisasi rakyat untuk memperkuat barisan  militer. Disisi lain, karena semangat emansipasi nasional di Indonesia telah berkembang luas,  Jepang juga perlu melakukan control atas masyarakat. Strategi Jepang adalah secara simultan melakukan control dan mobilisasi hingga ke level pedesaan, melalui pembentukan struktur baru, pengembangan organisasi-organisasi baru yang kemudian banyak diisi oleh kelompok-kelompok elit masyarakat baru maupun yang sudah mengakar, kampanye partisipasi dalam perang dan  control yang ketat melalui penggunaan tentara (kenpetai).

Setelah manuver negara boneka, negara serikat, percobaan demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dst., pada era Orde Baru struktur rupanya kembali ditata untuk menjaga stabilitas, kali ini agar  bisa menjalankan agenda pembangunan ekonomi.  Setelah era reformasi 1998,  bahkan hingga hari ini, secara mendasar struktur negara nasional kita  belum mengalami perubahan berarti. Ia dikonstruksi untuk memelihara stabilitas melalui control oleh negara di pusat kekuasaan,  dan (masih) melancarkan mobilisasi penumpukan sumberdaya, dari local dihisap ke pusat. Ironis, situasi sudah berubah banyak namun cara kita menata-kelola negara masih belum berubah, tetap sama seperti di masa lalu.

Hemat saya, kita perlu berhati-hati.  Struktur untuk kepentingan stabilitas dan mobilisasi itu belum tentu cocok untuk paradigma baru ketika pemerintah (state) tidak lagi bisa sendirian mengelola pemerintahan setelah konsep good governance diadopsi dan swadaya politik rakyat menguat. Struktur itu pun belum tentu cocok untuk melaksanakan fungsi pelayanan yang mumpuni dus realokasi sumberdaya yang lebih efektif untuk pemerataan. Namun demikian, dalam konstalasi nasional kerangka legal otonomi daerah bagaimana pun telah memberikan peluang berekspresi bagi daerah meskipun dalam ruang  terbatas.

Struktur untuk Melayani
Saya kira kita di NTB cukup beruntung karena hanya punya dua pulau besar (yang sebenarnya kecil), dibandingkan kolega saya Mbak Lerry Mboeik dkk. di NTT yang tinggal di provinsi miniatur Nusantara, sebuah  ‘negeri kepulauan’. Terbayangkankah oleh Anda jika warga kita dari ujung Sape (Bima, Pulau Sumbawa) harus ke Mataram (Lombok) untuk mendapat perawatan rujukan ke RSU Provinsi, menurun-melingkari jejalanan yang mengikuti kontur bumi yang berbukit, menempuh jalan rusak berkilo-kilo, dan menyeberangi sebuah selat selama puluhan menit. Sesampai di lokasi tujuan, belum tentu bisa dilayani cepat, belum lagi harus mengeluarkan biaya tambahan untuk akomodasi, konsumsi, dsb.  Bagaimana pula kejadiannya dengan orang-orang di Pulau Sumba,  Flores, Solor, atau Alor di NTT?

Pengalaman bagus juga bisa ditengok di pulau sebelah, meski dengan sebab yang berkebalikan. Bupati Jembrana di Bali memimpin langkah re-grouping institusi pelayanannya. Pusat kesehatan yang jumlahnya berlebih dikurangi dan kualitas pelayanannya ditingkatkan, demikian pula dengan sekolah yang diorientasikan untuk mempermudah akses layanan, sembari  mengurangi pemborosan anggaran.

Sesungguhnya, struktur untuk melayani tidak bergantung pada level struktur pemerintahan, melainkan berorientasi untuk memberikan pelayanan yang terbaik, atau bergantung pada kondisi riil sebaran masalah dan jumlah  pengguna layanan yang harus dilayani. Karena itu, tidak harus sebuah provinsi hanya mempunyai satu RSU dengan level pelayanan setingkat RSU Provinsi, boleh punya lima kalau kebutuhannya memang begitu. Setiap kabupaten bisa saja punya sampai tiga RSU kabupaten jika membutuhkannya, dan tidak harus setiap kecamatan memiliki satu pusat kesehatan, yang berarti setiap terjadi pemekaran jumlah kecamatan akan diikuti oleh penambahan  unit pusat kesehatan dalam jumlah yang sama. Demikian pula, tidak harus sebuah kota memiliki dua rumah sakit umum jika rumah sakit swasta dengan standar (tingkat) pelayanan serupa sudah tersedia. Tugas pemerintah menjadi lebih mudah, sekedar mengeluarkan regulasi agar pelayanan swasta masih bisa dijangkau untuk kelompok pengguna layanan yang dibidik.

Dari segi ini, dengan mengesampingkan praktek moral hazard para pelaksana pembangunan, paradigma (ideology) pembangunan yang menjadi panduan dan pola kepemimpinan yang diterapkan akan menentukan struktur yang dipandang layak untuk diaplikasikan. Mungkin menarik untuk direnungkan, berbeda dengan di era industri ketika kepemilikan atas asset berarti segalanya, pada era informasi ini tujuan bisa dicapai hanya berbekal informasi (pengetahuan) dan kontrak (perjanjian), semata. Jika MoU antara Pemprov dan Pemkab/Pemkot untuk beasiswa masyarakat miskin dan pola tahun jamak (multiyears) dalam percepatan pembangunan infrastruktur jalan adalah implementasi cara berfikir serupa bagi Pemprov, tentulah ia telah menempuh proses managemen; kita bisa berada di suatu tempat karena memang telah merencanakannya, bukan mendadak sampai saja.
***
Gagasan yang saya anjurkan sementara ini adalah mengembangkan cara berfikir alternative bagaimana mengkaji kembali struktur yang sekarang eksis, dan menatanya kembali (restrukturisasi) dengan orientasi baru untuk melayani warga. Alih-alih terjebak  dan larut dalam arus psikologi umum untuk memperluas struktur (pemerintahan) dan mengembangkan struktur baru namun dengan memelihara cara berfikir dan orientasi status quo: stabilitas dan mobilisasi.

Beberapa pihak yang skeptis bisa saja berargumen gagasan ini tak mungkin dikerjakan, karena lingkup masalahnya nasional. Hemat saya, otonomi sebaiknya memang harus berjalan dalam praktek, bukan sekedar diatas kertas. Dalam bahasa aktivis gerakan mahasiswa radikal-kanan, revolusi takkan pernah terjadi jika kaum revolusioner tak juga mau berubah.

Sebagian kata kuncinya sudah senantiasa menjadi jingle salah seorang pemimpin kita, teman diskusi malam saya, Pak BM: inovasi dan kreativitas. Tapi saya selalu menekankan, berbisnislah secara legal tanpa melanggar aturan main  agar ia berkelanjutan. Karena penghindaran akan melahirkan biaya tambahan baru, membuatnya tidak fokus dan hanya memperbesar risiko investasi yang kita tanam. Jika itu tak cukup manjur, jangan pernah lupakan kalau Gubernur Majdi  dan timnya pernah mencatat hattrick nasional dalam masa awal pemerintahannya untuk memperoleh bagian cukai tembakau, sebuah pembuktian NTB berdayasaing. Secara legal tentu. Lain tidak!
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar