Adakah hubungannya struktur dan pelayanan?
(dari cerpen Cacing di Septic-tank Rezim)
Gagasan yang saya anjurkan sementara ini adalah mengembangkan cara berfikir alternative bagaimana mengkaji kembali struktur yang sekarang eksis, dan menatanya kembali (restrukturisasi) dengan orientasi baru untuk melayani warga. Alih-alih terjebak dan larut dalam arus psikologi umum untuk memperluas struktur (pemerintahan) dan mengembangkan struktur baru namun dengan memelihara cara berfikir dan orientasi status quo: stabilitas dan mobilisasi.
Gagasan yang saya anjurkan sementara ini adalah mengembangkan cara berfikir alternative bagaimana mengkaji kembali struktur yang sekarang eksis, dan menatanya kembali (restrukturisasi) dengan orientasi baru untuk melayani warga. Alih-alih terjebak dan larut dalam arus psikologi umum untuk memperluas struktur (pemerintahan) dan mengembangkan struktur baru namun dengan memelihara cara berfikir dan orientasi status quo: stabilitas dan mobilisasi.
Dalam sebuah kesempatan diskusi malam di kantor redaksi SUARA NTB, saya sempat berdebat dengan Pak BM, Wagub kita, mengenai hubungan antara struktur dan
pelayanan. Saya menyarankan kepada audiens diskusi ada baiknya berfikir alternatif
bahwa perbaikan (perluasan) layanan tidak melulu harus dibarengi dengan memperluas
struktur atau mengembangkan struktur baru. Ambil contoh, RSU provinsi menurut
saya untuk NTB kita perlu paling tidak sampai lima, seharusnya tanpa perlu
embel-embel “RS Rujukan”. Anda semua tahu belaka, sejauh ini Pemprov baru bisa
membangun satu RS Rujukan Pulau Sumbawa.
Menurut Pak
BM, tetap saja ketika ingin memperluas layanan mau tidak mau kita harus
memperluas atau mengembangkan struktur baru. Diskusi memang belum selesai. Saat
itu, saya menyebut nampaknya ada beda pemahaman (episteme) tentang apa yang saya sebut sebagai “struktur” dan
berjanji dalam kesempatan lain akan memperjelas maksud. Tulisan ini juga saya
hajatkan untuk melanjutkan keterangan lisan kepada Salman Alfarisi dan Farid
Tolomundu yang sempat ngobrol sebelum
beranjak pulang karena malam semakin larut. Untuk tujuan kontekstualisasi, saya
akan membidiknya melalui fenomena pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa.
***
Struktur dan
Kuasa: Stabilitas dan Mobilisasi
Struktur kekuasaan lama pada era tradisionalis
dibangun dan berpuncak pada penguasa,
atas nama mandat dari langit (makrokosmos). Berbeda dengannya, struktur negara
modern dibangun sejalan dengan berkembangnya paradigma negara-bangsa (nation-state). Teologi kekuasaan modern
mengandaikan adanya pemisahan antara
ruang public dan privat. Negara diharapkan bisa memerankan kekuasaan yang adil-paramartha, guna mencapai
tujuan keadilan dan kesejahteraan untuk semua. Namun meski teologi mengalami pergeseran, bangunan struktur baik dari era tradisional hingga kini
sebenarnya belum berubah. Ia ditata, masih untuk melakukan control untuk meraih
stabilitas dan melakukan mobilisasi (baik sumberdaya maupun massa), untuk
kepentingan kekuasaan pusat, meski dengan tujuan dan dalam konteks situasi yang
berbeda.
Pada era Kerajaan Mataram di Jawa misalnya, struktur
kekuasaan yang lebih tinggi (pusat) tidak dapat mengabaikan sub-struktur yang telah lama eksis, ia ditata dengan mengakomodir sub-struktur ini. Namun demikian, itu berarti eksistensi (supra)
struktur itu juga ditentukan oleh sejauhmana
dukungan dari sub-struktur yang menopangnya. Dalam cara pandang Jawa,
diterima dua unsur yakni Gusti-Kawula,
sebagai komponen yang berbeda dari masyarakat tetapi yang sama derajatnya,
dimana gusti sama seperti kawula dan yang satu memerlukan
kehadiran yang lain. Dan kerajaan dipersepsikan sebagai suatu lembaga yang
mengatur seluruh masyarakat untuk kepentingan mereka. Stabilitas dijaga dengan
sejauhmana penguasa pusat memelihara keselarasan dengan daerah-daerah
sekitarnya dalam kerangka gusti-kawula.
Karena secara geografis umumnya kerajaan pusat berada di daerah pedalaman,
struktur yang dibangun harus mampu menjamin adanya aliran (mobilisasi)
sumberdaya dari daerah pinggiran yang terletak di daerah pantai. Tergantung
penguasa pusat, apakah sumberdaya itu
akan direalokasikan kembali dari pusat ke pinggiran, atau malah ditumpuk
untuk kepentingan pusat.
Berbasis pemahaman seperti inilah, dalam
menjalankan penguasaannya atas Jawa, Belanda kolonial pada awalnya memerintah
rakyat secara tidak langsung melalui golongan penguasa. Namun secara
berangsur-angsur melakukan transformasi kekuasaan dengan menggantikan para penguasa
itu sedemikian rupa sehingga ia kemudian menjadi Gusti yang sesungguhnya bagi masyarakat Jawa. Pangreh Praja, system pemerintahan Jawa pada era Belanda, nampaknya sekedar merupakan
kelanjutan dan penggunaan kembali system tradisional meskipun telah mengalami
penguatan kelembagaan.
Dalam khazanah local, struktur untuk kepentingan
stabilitas dan mobilisasi ini menjelaskan
mengapa pola penataan kota Mataram dan Cakranegara yang dibangun
Kerajaan Mataram abad sebelumnya kini menghasilkan kantong-kantong kecil “orang Mentaram” yang sulit diorganisasi, bahkan oleh kerangka
struktur modern sekalipun (kini kelurahan sudah menjadi SKPD baru). Ia juga
menjelaskan mengapa struktur kerajaan
birokrasi tradisional Bima mengenal sistem dari dan memiliki kelembagaan resolusi konflik
(‘trio-sara’) hingga ke level kampung, dibanding situasi terkini maraknya
perkelahian antar-kampung karena pemicu sepele. Atau mengapa pola kemutar telu yang justru digunakan oleh
kerajaan-kerajaan di seputaran Sumbawa. Sementara pengaturan pola kepemilikan
tanah di Lombok sepanjang abad 19 sebagaimana diulas mendalam oleh van der
Kraan, dapat menjadi cermin bagaimana penghisapan dan penumpukan sumberdaya
dilakukan secara sistemik, bahkan menjangkau tingkat paling bawah.
Perubahan struktur secara besar-besaran sebenarnya justru terjadi ketika masa pendudukan fasis
Jepang yang hanya tiga setengah tahun, meski dalam konteks situasi yang relatif
berbeda namun kembali untuk tujuan
stabilitas dan mobilisasi. Karena sedang menghadapi perang, balatentara Jepang
melakukan mobilisasi sumberdaya (logistik) sekaligus mobilisasi rakyat untuk
memperkuat barisan militer. Disisi lain,
karena semangat emansipasi nasional di Indonesia telah berkembang luas, Jepang juga perlu melakukan control atas
masyarakat. Strategi Jepang adalah secara simultan melakukan control dan
mobilisasi hingga ke level pedesaan, melalui pembentukan struktur baru,
pengembangan organisasi-organisasi baru yang kemudian banyak diisi oleh
kelompok-kelompok elit masyarakat baru maupun yang sudah mengakar, kampanye
partisipasi dalam perang dan control
yang ketat melalui penggunaan tentara (kenpetai).
Setelah manuver negara boneka, negara serikat, percobaan
demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dst., pada era Orde Baru struktur rupanya
kembali ditata untuk menjaga stabilitas, kali ini agar bisa menjalankan agenda pembangunan ekonomi. Setelah era reformasi 1998, bahkan hingga hari ini, secara mendasar struktur
negara nasional kita belum mengalami
perubahan berarti. Ia dikonstruksi untuk memelihara stabilitas melalui control
oleh negara di pusat kekuasaan, dan (masih)
melancarkan mobilisasi penumpukan sumberdaya, dari local dihisap ke pusat.
Ironis, situasi sudah berubah banyak namun cara kita menata-kelola negara masih
belum berubah, tetap sama seperti di masa lalu.
Hemat saya, kita perlu berhati-hati. Struktur untuk kepentingan stabilitas dan
mobilisasi itu belum tentu cocok untuk paradigma baru ketika pemerintah (state) tidak lagi bisa sendirian
mengelola pemerintahan setelah konsep good
governance diadopsi dan swadaya politik rakyat menguat. Struktur itu pun
belum tentu cocok untuk melaksanakan fungsi pelayanan yang mumpuni dus realokasi sumberdaya yang lebih
efektif untuk pemerataan. Namun demikian, dalam konstalasi nasional kerangka
legal otonomi daerah bagaimana pun telah memberikan peluang berekspresi bagi
daerah meskipun dalam ruang terbatas.
Struktur
untuk Melayani
Saya kira kita di NTB cukup beruntung karena hanya
punya dua pulau besar (yang sebenarnya kecil), dibandingkan kolega saya Mbak
Lerry Mboeik dkk. di NTT yang tinggal di provinsi miniatur Nusantara, sebuah ‘negeri kepulauan’. Terbayangkankah oleh Anda
jika warga kita dari ujung Sape (Bima, Pulau Sumbawa) harus ke Mataram (Lombok)
untuk mendapat perawatan rujukan ke RSU Provinsi, menurun-melingkari jejalanan
yang mengikuti kontur bumi yang berbukit, menempuh jalan rusak berkilo-kilo,
dan menyeberangi sebuah selat selama puluhan menit. Sesampai di lokasi tujuan,
belum tentu bisa dilayani cepat, belum lagi harus mengeluarkan biaya tambahan
untuk akomodasi, konsumsi, dsb.
Bagaimana pula kejadiannya dengan orang-orang di Pulau Sumba, Flores, Solor, atau Alor di NTT?
Pengalaman bagus juga bisa ditengok di pulau
sebelah, meski dengan sebab yang berkebalikan. Bupati Jembrana di Bali memimpin
langkah re-grouping institusi
pelayanannya. Pusat kesehatan yang jumlahnya berlebih dikurangi dan kualitas
pelayanannya ditingkatkan, demikian pula dengan sekolah yang diorientasikan
untuk mempermudah akses layanan, sembari mengurangi pemborosan anggaran.
Sesungguhnya, struktur untuk melayani tidak
bergantung pada level struktur pemerintahan, melainkan berorientasi untuk
memberikan pelayanan yang terbaik, atau bergantung pada kondisi riil sebaran
masalah dan jumlah pengguna layanan yang
harus dilayani. Karena itu, tidak harus sebuah provinsi hanya mempunyai satu
RSU dengan level pelayanan setingkat RSU Provinsi, boleh punya lima kalau
kebutuhannya memang begitu. Setiap kabupaten bisa saja punya sampai tiga RSU
kabupaten jika membutuhkannya, dan tidak harus setiap kecamatan memiliki satu
pusat kesehatan, yang berarti setiap terjadi pemekaran jumlah kecamatan akan
diikuti oleh penambahan unit pusat
kesehatan dalam jumlah yang sama. Demikian pula, tidak harus sebuah kota
memiliki dua rumah sakit umum jika rumah sakit swasta dengan standar (tingkat)
pelayanan serupa sudah tersedia. Tugas pemerintah menjadi lebih mudah, sekedar
mengeluarkan regulasi agar pelayanan swasta masih bisa dijangkau untuk kelompok
pengguna layanan yang dibidik.
Dari segi ini, dengan mengesampingkan praktek moral hazard para pelaksana pembangunan,
paradigma (ideology) pembangunan yang menjadi panduan dan pola kepemimpinan
yang diterapkan akan menentukan struktur yang dipandang layak untuk
diaplikasikan. Mungkin menarik untuk direnungkan, berbeda dengan di era
industri ketika kepemilikan atas asset berarti segalanya, pada era informasi
ini tujuan bisa dicapai hanya berbekal informasi (pengetahuan) dan kontrak
(perjanjian), semata. Jika MoU antara Pemprov dan Pemkab/Pemkot untuk beasiswa
masyarakat miskin dan pola tahun jamak (multiyears)
dalam percepatan pembangunan infrastruktur jalan adalah implementasi cara
berfikir serupa bagi Pemprov, tentulah ia telah menempuh proses managemen; kita
bisa berada di suatu tempat karena memang telah merencanakannya, bukan mendadak
sampai saja.
***
Gagasan yang
saya anjurkan sementara ini adalah mengembangkan cara berfikir alternative
bagaimana mengkaji kembali struktur yang sekarang eksis, dan menatanya kembali (restrukturisasi)
dengan orientasi baru untuk melayani warga. Alih-alih terjebak dan larut dalam arus psikologi umum untuk
memperluas struktur (pemerintahan) dan mengembangkan struktur baru namun dengan
memelihara cara berfikir dan orientasi status
quo: stabilitas dan mobilisasi.
Beberapa pihak yang skeptis bisa saja berargumen gagasan
ini tak mungkin dikerjakan, karena lingkup masalahnya nasional. Hemat saya, otonomi
sebaiknya memang harus berjalan dalam praktek, bukan sekedar diatas kertas. Dalam
bahasa aktivis gerakan mahasiswa radikal-kanan, revolusi takkan pernah terjadi
jika kaum revolusioner tak juga mau berubah.
Sebagian kata kuncinya sudah senantiasa menjadi jingle salah seorang pemimpin kita,
teman diskusi malam saya, Pak BM: inovasi
dan kreativitas. Tapi saya selalu menekankan, berbisnislah secara legal tanpa
melanggar aturan main agar ia
berkelanjutan. Karena penghindaran akan melahirkan biaya tambahan baru, membuatnya
tidak fokus dan hanya memperbesar risiko investasi yang kita tanam. Jika itu
tak cukup manjur, jangan pernah lupakan kalau Gubernur Majdi dan timnya pernah
mencatat hattrick nasional dalam masa awal pemerintahannya untuk
memperoleh bagian cukai tembakau, sebuah pembuktian NTB berdayasaing. Secara
legal tentu. Lain tidak!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar