Translate

Minggu, 31 Maret 2013

Kebebasan Pers & Agenda Demokratisasi



‘… kita ini  kan cuma ikan kecil di kolam besar’. Ucapan ini keluar dari seorang redaktur, ketika saya mempertanyakan  konsistensi pemberitaan koran-nya mengenai sebuah bank lokal.  Saya mencoba memaklumi  pilihannya, meski saya juga tahu salah seorang rekannya –entah dia tahu atau tidak-- telah berkunjung ke kantor pusat Bank untuk membicarakan kerjasama. ’Punya ”parang” tapi tak mampu menggunakannya dengan baik’,  Kalimat lugas seorang jurnalis mengomentari situasi itu.  Dia, jenis jurnalis yang jika ditanya sikapnya tentang posisi wartawan dalam perubahan sosial sering bilang begini:  karena kita makhluk sosial, sesibuk apa pun menjalani profesi kita, harus tetap menyediakan  waktu untuk mengurusi masalah orang banyak.

Jurnalis pastilah bukan sejenis tukang jagal nasib orang, tapi saya pun ingat petuah beberapa  jurnalis senior: menjadi jurnalis itu sebuah pilihan hidup, harus ada keterpanggilan terhadap profesi. Namun seperti juga apologi sang redaktur, ia hanyalah pemain kecil dalam struktur yang lebih besar, kehilangan kebebasannya dan kesetiaan terhadap profesi harus mengalah. Debat ini, meski menegaskan lanskap pandangan yang sama bahwa pers adalah institusi sosial, tapi  sekaligus mengeluarkan warga (people, citizen, demos) dari perbincangan. Meski sudah inward dan outward looking, diskusi hanya berpusar pada diri si wartawan dan struktur yang melingkupinya.

Maka perlu ditegaskan, mengapa kebebasan pers  harus ada dan untuk siapa kebebasan pers itu hadir. Selanjutnya, jika memang pers disepakati sebagai sebuah institusi sosial, bagaimana menghubungkannya dengan problem-problem terkini dalam memajukan demokrasi?
***

Kebebasan pers (press freedom) hanyalah salah satu dimensi dari dua bentuk kebebasan yang lebih mendasar bagi setiap warga masyarakat (hak asasi sebagai manusia), yakni hak atas informasi (right to know) yang diperlukan dalam membentuk dan membangun secara bebas pemikiran dan pendapatnya,  dan disisi lain hak untuk menyatakan pikiran dan pendapat (right to expression).  Keduanya  telah diadopsi dalam konstitusi kita, sehingga selain merupakan hak asasi, ia sekaligus adalah hak konstitusional kita sebagai warga negara. Kebebasan pers menjadi salah satu prasyarat agar kedua hak  ini bisa terpenuhi, dan jurnalis/media hanyalah salah satu pelaksana bagi keduanya, disamping aktor-aktor lainnya.   

Maka, sesungguhnya kebebasan pers hadir bukan untuk jurnalis dan pengelola media. Bukan untuk kekuasaan para pemilik modal --internal maupun eksternal—yang menopang hidup media, dan juga bukan untuk kekuasaan negara dan kekuatan politik lainnya.  Kebebasan pers hakiki  adalah milik publik. Tanpa disertai kesadaran ini, semata kebebasan pers  hanya akan menjadi sebentuk kepalsuan baru di dunia pers, oleh kaum pemodal dan penguasa. 

Jurnalis/media pun dituntut untuk selalu memperjuangkan dan menjaga keberadaan ruang publik yang terbuka, karena itulah yang bisa menopang keberlangsungan eksistensinya.  Bila ruang kebebasan publik itu menyempit, maka kebebasan jurnalis untuk menulis, dan pers sebagai forum penemuan kebenaran,  juga akan ikut mengecil.

Kondisi demokratis dapat diukur dari sejauhmana kehidupan publik berkait erat dengan sikap dan pendapat warga, atau apakah keputusan-keputusan publik yang diambil memperhitungkan sikap dan pendapat warga masyarakat. Di lain pihak, sangat sulit membayangkan demokrasi itu bermakna bagi dan dapat digunakan oleh setiap warga jika ia  atau mereka tidak memperoleh informasi yang memadai dan benar mengenai urusan-urusan publik. Atau bagaimana mungkin partisipasi bisa terwujud tanpa adanya ruang publik yang terbuka.

Maka kebebasan pers perlu dijaga, dirawat, terus  diperluas lingkupnya dan diperdalam cakupannya. Ini adalah kewajiban  setiap orang, mengingat tingkat kerusakan akibat absennya kebebasan pers menjangkau nasib kemanusiaan dan masa depan peradaban.

Ancaman bagi kebebasan pers mewujud dalam berbagai bentuk. Dari dalam berupa penyalahgunaan media demi kepentingan pragmatis jurnalis dan pengelola media, dan  dari luar berbentuk  kekuasaan ekonomi dan politik untuk kepentingan mereka an sich. Meski demikian, pada kondisi demos yang masih dalam proses menjadi, pelaksanaan kerja jurnalis/media juga sering mengalami hambatan dari masyarakat. Karenanya, kerja menjaga dan merawat kebebasan pers, selain bersifat mengawasi kinerja jurnalis/media tanpa harus jadi penghukum, melindungi (to protect) jurnalis dari tekanan, mendidik warga guna membangun daya kritis terhadap media, membangun swa-kritis di kalangan jurnalis untuk meningkatkan standar jurnalisme, juga perlu disertai upaya terus-menerus untuk meningkatkan penghargaan terhadap kebebasan pers itu sendiri.
***

Problem yang kita hadapi dalam mempraktekkan demokrasi hari ini selain memperlihatkan  masih belum menguatnya demos, juga mencatat banyaknya kegagapan kita bersama dalam menyepakati apa yang layak disebut sebagai urusan publik. Bolehkah kita berdiskusi mengenai  rencana pembangunan Islamic Center  (IC) NTB sebagai sesama publik, dan bukan atas nama kelompok komunal tertentu? Dapatkah hubungan Ariel Peterpan-Luna Maya didudukkan sebagai urusan privat dan bukan urusan publik?

Bila demokrasi dipandang sebagai tata kelola relasi-kuasa yang terlembaga, masalah lainnya yang perlu ditilik adalah soal representasi (kehadiran-keterwakilan). Kecenderungan di Tanah Air pasca orde baru ketika praktek representasi lebih dominan melalui kelompok komunal berbasis agama dan asosiasi bisnis domestik yang ditopang modal global, menjadikan representasi warga dalam urusan-urusan publik menjadi terpinggirkan. Bandingkan dengan di NTB, misalnya, apakah posisi moral yang bisa membenarkan dana CSR/dana sosial kemasyarakatan (baca: dana publik) dari PT. NNT digunakan sepihak oleh eksekutif untuk membangun IC NTB, tanpa mempertimbangkan pendapat publik? Situasi ini berlangsung di tengah kekosongan/tidak berfungsinya representasi melalui institusi politik formal (parpol dan lain-lain). Perlu cara berfikir baru, perlu desain agenda yang berbeda.

Sambil menyadari bahwa kita tidak sedang berada dalam ruang hampa, kiranya tak terlalu berlebihan mengharapkan jurnalis dan media dapat mengambil peran didalamnya --bersama aktor-aktor lainnya. Untuk mempercepat terbentuk dan menguatnya demos: sebuah masyarakat terpolitisasi yang mengerti tentang haknya dan menduduki posisi demokratisnya. Untuk memperdalam pemahaman bersama mengenai apa itu urusan publik. Untuk membuka ruang  yang memadai bagi proses memperbaiki representasi warga dalam urusan-urusan yang menyangkut hajat hidupnya.  
***

Tanpa harus menjadi pahlawan –menjadi pahlawan berarti  sekedar memiliki lebih banyak kemungkinan untuk dikenang; kesaksian seorang aktivis mahasiswa--  yang berpretensi membereskan semua masalah, sebuah langkah  sedang kami ambil  sebagai bagian dari demos. Tak muluk-muluk, peran yang diambil:  memfasilitasi yang lemah dalam relasi di sektor media agar bisa membantu diri mereka sendiri; memediasi  level ’bahasa’ yang berbeda antar-pihak; dan peran resolutif atas perbedaan kepentingan. Garis penuntunnya, peran ini hendak dilakukan tanpa  menghakimi salah satu pihak.

Atas posisi ini, upaya membangun gerakan melek media (media literacy) di NTB selayaknya dapat diterima oleh semua pihak sebagai bagian kecil dari ikhtiar  yang lebih besar  untuk memajukan demokrasi. Tabik..... Bismillah!

Pernah dimuat dalam  Media Watch SKALA Edisi 02/Agustus-September 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar