‘… kita ini kan cuma ikan kecil di kolam besar’. Ucapan ini keluar dari seorang redaktur, ketika saya mempertanyakan konsistensi pemberitaan koran-nya mengenai
sebuah bank lokal. Saya mencoba
memaklumi pilihannya, meski saya juga
tahu salah seorang rekannya –entah dia tahu atau tidak-- telah berkunjung ke kantor
pusat Bank untuk membicarakan kerjasama. ’Punya ”parang” tapi tak mampu
menggunakannya dengan baik’, Kalimat
lugas seorang jurnalis mengomentari situasi itu. Dia, jenis jurnalis yang jika ditanya sikapnya
tentang posisi wartawan dalam perubahan sosial sering bilang begini: karena kita makhluk sosial, sesibuk apa pun
menjalani profesi kita, harus tetap menyediakan waktu untuk mengurusi masalah orang banyak.
Jurnalis
pastilah bukan sejenis tukang jagal nasib orang, tapi saya pun ingat petuah beberapa jurnalis senior: menjadi jurnalis itu sebuah
pilihan hidup, harus ada keterpanggilan terhadap profesi. Namun seperti juga apologi
sang redaktur, ia hanyalah pemain kecil dalam struktur yang lebih besar, kehilangan
kebebasannya dan kesetiaan terhadap profesi harus mengalah. Debat ini, meski
menegaskan lanskap pandangan yang sama bahwa pers adalah institusi sosial,
tapi sekaligus mengeluarkan warga (people,
citizen, demos) dari perbincangan. Meski sudah inward dan outward
looking, diskusi hanya berpusar pada diri si wartawan dan struktur yang
melingkupinya.
Maka perlu
ditegaskan, mengapa kebebasan pers harus
ada dan untuk siapa kebebasan pers itu hadir. Selanjutnya, jika memang pers disepakati sebagai sebuah
institusi sosial, bagaimana menghubungkannya dengan problem-problem terkini
dalam memajukan demokrasi?
***
Kebebasan pers (press
freedom) hanyalah salah satu dimensi
dari dua bentuk kebebasan yang lebih mendasar bagi setiap warga masyarakat (hak
asasi sebagai manusia), yakni hak atas informasi (right to know) yang
diperlukan dalam membentuk dan membangun secara bebas pemikiran dan
pendapatnya, dan disisi lain hak untuk
menyatakan pikiran dan pendapat (right to expression). Keduanya
telah diadopsi dalam konstitusi kita, sehingga selain merupakan hak
asasi, ia sekaligus adalah hak konstitusional kita sebagai warga negara. Kebebasan
pers menjadi salah satu prasyarat agar kedua hak ini bisa terpenuhi, dan jurnalis/media
hanyalah salah satu pelaksana bagi keduanya, disamping aktor-aktor lainnya.
Maka, sesungguhnya kebebasan pers hadir bukan untuk jurnalis
dan pengelola media. Bukan untuk kekuasaan para pemilik modal --internal maupun
eksternal—yang menopang hidup media, dan juga bukan untuk kekuasaan negara dan
kekuatan politik lainnya. Kebebasan pers
hakiki adalah milik publik. Tanpa
disertai kesadaran ini, semata kebebasan pers
hanya akan menjadi sebentuk kepalsuan baru di dunia pers, oleh kaum pemodal
dan penguasa.
Jurnalis/media pun dituntut untuk selalu memperjuangkan
dan menjaga keberadaan ruang publik yang terbuka, karena itulah yang bisa
menopang keberlangsungan eksistensinya.
Bila ruang kebebasan publik itu menyempit, maka kebebasan jurnalis untuk
menulis, dan pers sebagai forum penemuan kebenaran, juga akan ikut mengecil.
Kondisi demokratis dapat diukur dari sejauhmana kehidupan
publik berkait erat dengan sikap dan pendapat warga, atau apakah
keputusan-keputusan publik yang diambil memperhitungkan sikap dan pendapat
warga masyarakat. Di lain pihak, sangat sulit membayangkan demokrasi itu
bermakna bagi dan dapat digunakan oleh setiap warga jika ia atau mereka tidak memperoleh informasi yang
memadai dan benar mengenai urusan-urusan publik. Atau bagaimana mungkin partisipasi bisa terwujud
tanpa adanya ruang publik yang terbuka.
Maka kebebasan pers perlu dijaga, dirawat, terus diperluas lingkupnya dan diperdalam
cakupannya. Ini adalah kewajiban setiap
orang, mengingat tingkat kerusakan akibat absennya kebebasan pers menjangkau
nasib kemanusiaan dan masa depan peradaban.
Ancaman bagi kebebasan pers mewujud dalam berbagai
bentuk. Dari dalam berupa penyalahgunaan media demi kepentingan pragmatis
jurnalis dan pengelola media, dan dari
luar berbentuk kekuasaan ekonomi dan
politik untuk kepentingan mereka an sich. Meski demikian, pada kondisi demos
yang masih dalam proses menjadi, pelaksanaan kerja jurnalis/media juga sering mengalami
hambatan dari masyarakat. Karenanya, kerja menjaga dan merawat kebebasan pers,
selain bersifat mengawasi kinerja jurnalis/media tanpa harus jadi penghukum,
melindungi (to protect) jurnalis dari tekanan, mendidik warga guna
membangun daya kritis terhadap media, membangun swa-kritis di kalangan jurnalis
untuk meningkatkan standar jurnalisme, juga perlu disertai upaya terus-menerus
untuk meningkatkan penghargaan terhadap kebebasan pers itu sendiri.
***
Problem yang kita hadapi dalam mempraktekkan demokrasi
hari ini selain memperlihatkan masih belum
menguatnya demos, juga mencatat banyaknya kegagapan kita bersama dalam
menyepakati apa yang layak disebut sebagai urusan publik. Bolehkah kita
berdiskusi mengenai rencana pembangunan Islamic
Center (IC) NTB sebagai sesama publik, dan bukan atas nama kelompok
komunal tertentu? Dapatkah hubungan Ariel Peterpan-Luna Maya didudukkan sebagai
urusan privat dan bukan urusan publik?
Bila demokrasi dipandang sebagai tata kelola relasi-kuasa
yang terlembaga, masalah lainnya yang perlu ditilik adalah soal representasi
(kehadiran-keterwakilan). Kecenderungan di Tanah Air pasca orde baru ketika
praktek representasi lebih dominan melalui kelompok komunal berbasis agama dan
asosiasi bisnis domestik yang ditopang modal global, menjadikan representasi
warga dalam urusan-urusan publik menjadi terpinggirkan. Bandingkan dengan di
NTB, misalnya, apakah posisi moral yang bisa membenarkan dana CSR/dana
sosial kemasyarakatan (baca: dana publik) dari PT. NNT digunakan sepihak oleh eksekutif
untuk membangun IC NTB, tanpa mempertimbangkan pendapat publik? Situasi ini berlangsung di tengah
kekosongan/tidak berfungsinya representasi melalui institusi politik formal
(parpol dan lain-lain). Perlu cara berfikir baru, perlu desain agenda yang
berbeda.
Sambil menyadari bahwa kita tidak sedang berada dalam
ruang hampa, kiranya tak terlalu berlebihan mengharapkan jurnalis dan media
dapat mengambil peran didalamnya --bersama aktor-aktor lainnya. Untuk
mempercepat terbentuk dan menguatnya demos: sebuah masyarakat
terpolitisasi yang mengerti tentang haknya dan menduduki posisi demokratisnya. Untuk memperdalam pemahaman bersama mengenai apa
itu urusan publik. Untuk membuka
ruang yang memadai bagi proses
memperbaiki representasi warga dalam
urusan-urusan yang menyangkut hajat hidupnya.
***
Tanpa harus menjadi pahlawan –menjadi pahlawan berarti sekedar memiliki lebih banyak kemungkinan untuk
dikenang; kesaksian seorang aktivis mahasiswa--
yang berpretensi membereskan semua masalah, sebuah langkah sedang kami ambil sebagai bagian dari demos. Tak
muluk-muluk, peran yang diambil: memfasilitasi
yang lemah dalam relasi di sektor media agar bisa membantu diri mereka sendiri;
memediasi level ’bahasa’ yang berbeda
antar-pihak; dan peran resolutif atas perbedaan kepentingan. Garis penuntunnya,
peran ini hendak dilakukan tanpa
menghakimi salah satu pihak.
Atas posisi ini, upaya membangun gerakan melek media (media
literacy) di NTB selayaknya dapat diterima oleh semua pihak sebagai bagian
kecil dari ikhtiar yang lebih besar untuk memajukan demokrasi. Tabik..... Bismillah!
Pernah dimuat dalam Media Watch SKALA Edisi 02/Agustus-September
2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar