a workpaper
"Bila dikerangkakan untuk membangun sintesa yang akomodatif bagi keperluan mengembangkan dan mengkonsolidasikan gerakan masyarakat sipil (gerakan sosial) antikorupsi, maka isu korupsi dalam aplikasinya dapat diturunkan dalam beberapa konteks tergantung pada tujuan yang ingin dicapai."
I. Pengantar
Jika didekati pada ranah sosial-budaya, konsepsi
korupsi, dalam konteks Indonesia mengalami tabrakan dengan konsepsi kekuasaan
paternalistik-integralistik warisan masa lalu. Sehingga kebiasaan buruk itu
menjadi sesuatu yang dianggap wajar dari pusat ke daerah-daerah : “Pejabat
harus kelihatan kaya, punya mobil paling tidak tiga dan rumah megah tiga,
sementara rakyat tidaklah boleh terlihat
lebih kaya dari pejabat.” Inilah nilai yang tertanam dalam lingkungan kita. Ini
berarti bahwa ketika kita bicara tentang korupsi yang merupakan aprosiasi
terhadap sumber daya publik, seharusnya hal tersebut merupakan
pengkhianatan terhadap publik (sekaligus terhadap moral sosial dalam kerangka
moral modern-state), namun malah dilihat sebagai sebuah kewajaran dan memunculkan
toleransi terhadap praktek korupsi. Sesuatu yang seharusnya menjadi skandal
(sesuatu menjadi skandal jika tidak sesuai dengan nilai yang dianut publik)
malah menjadi tingkah laku yang diterima.
Pada sisi pandang diatas, maka korupsi di Indonesia juga mencakup
adanya ketidaksesuaian antara moral negara modern yang coba kita laksanakan
sejak negara ini dibentuk terhadap moral konsepsi kerajaan tradisional
(integralistik) yang masih terlihat bekasnya sampai kini.
Pada ranah sosial-politik, lebih memudahkan untuk melihat proses
pembentukan birokrasi di Indonesia, yang merupakan perkawinan antara warisan
budaya paternalistik tersebut dengan konsep birokrasi model weberian yang
diintrodusir selama masa kolonial Belanda. Perkawinan ini telah melahirkan birokrasi
patron-client yang bekasnya sampai sekarang ini terrepresentasi dalam praktek
pemerintahan yang tidak mengenal transparansi dan akuntabilitas sebagai akibat
tidak adanya pemisahan yang tegas antara ranah pribadi dan ranah publik.
Paralel dengan ide demokrasi dan kapitalisme, korupsi bukanlah
konsepsi yang lahir dari dinamika perkembangan sejarah Indonesia, melainkan
diadopsi dari tradisi Eropa Barat dan Amerika. Pada sistem demokrasi telah
dikenal adanya pemisahan antara ranah pribadi dan ranah publik sehingga
penyalahgunaan wewenang dalam jabatan
publik adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan publik (abuse of public
trust). Bila dicermati, perdebatan mengenai korupsi berkaitan dengan adanya
pemisahan antara ranah publik dan ranah privat (dalam term demokrasi) dalam
mengiringi dinamika sejarah perekonomian yang mengarah pada kapitalisme sebagai
suatu sistem ekonomi global.
Workpaper ini lahir dari kebutuhan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul baik dari berbagai pihak yang skeptis
maupun optimis terhadap potensi gerakan pemberantasan korupsi sebagai sebuah
gerakan sosial, dan lebih-lebih lagi sebagai bagian dari gerakan demokratisasi.
II. Tesa-tesa mengenai korupsi[1]
Pemahaman yang memadai terhadap faktor pemicu,
locus, dan tipologi korupsi merupakan modal yang dibutuhkan untuk membangun
perlawanan bersama terhadap korupsi.
Dalam pengertian minimalis, korupsi berarti
penggunaan sumber daya publik (public power) untuk memperoleh
kemanfaatan (material) pribadi ataupun
kemanfaatan politik.[2]
Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market centered). Dalam
kerangka ini, maka korupsi adalah “lembaga” ekstra-legal yang digunakan
individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap
kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena itu, eksistensi korupsi jelas
mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses
pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak
lain.
III. Sintesa untuk memulai Analisis Korupsi
3.1. Kerangka Analisis Korupsi Berlapis Tiga (menurut Aditjondro):
Korupsi Lapis Pertama, berupa suap (bribery) dimana
prakarsa datang dari warga yang membutuhkan bantuan pejabat tertentu dan pemerasan
(extortion) dimana prakarsa datang dari pejabat publik.
Korupsi Lapis Kedua, berupa nepotisme diantara mereka yang
punya hubungan darah dengan pejabat publik, kronisme diantara mereka
yang tidak punya hubungan darah dengan pejabat publik, dan korupsi di
lingkaran “kelas baru”, terdiri dari semua kader pemerintah dan keluarga
mereka yang menguasai semua pos basah, pos ideologis dan pos yuridis penting.
Korupsi Lapis Ketiga, berupa jejaring (chabal) yang
bisa bercakup regional, nasional, maupun internasional, yang meliputi unsur
pemerintahan, politisi, pengusaha dan aparat penegak hukum.
3.2. Kerangka analisis Korupsi Lainnya
Fenomena
korupsi terbagi dua, pertama, korupsi yang terkonsentrasi pada tingkat
elit atau korupsi akbar atau megakorupsi (grand corruption), dan kedua,
korupsi yang dilakukan secara ‘massal’ oleh aparat birokrasi (petty
corruption).
Korupsi
massal di birokrasi (petty corruption) yang terjadi di Indonesia lebih
banyak diakibatkan oleh struktur birokrasi patrimonial dengan relasi patron-client,
sebagai turunan dari perkawinan antara
konsep kekuasaan raja (integralistik) dan diperkenalkannya sistem
birokrasi modern pada era kolonialisme. Sehingga meskipun secara kerangka
sistem telah menerapkan prinsip-prinsip
birokrasi modern, namun dalam prakteknya kental dengan relasi yang
terpusat pada seorang patron (atasan) dan adanya ketergantungan client
(bawahan).
Korupsi
akbar (grand corruption) atau biasa juga disebut korupsi politik bekerja karena adanya kekuasaan dari otoritas
politik untuk kepentingan kelompok. Ini berarti adanya penyelingkuhan
kepercayaan publik oleh institusi atau perseorangan yang diberi mandat.
Sehingga korupsi merupakan bentuk khusus
dari gabungan pengaruh politik dan kesempatan untuk menyelewengkan wewenang
guna memperoleh kepentingan pribadi atau pun kelompok.
IV. Sintesa mengenai Korupsi politik, kekuasaan dan kelompok kepentingan (M. Johnston)
Korupsi akbar bekerja karena adanya kekuasaan
dari otoritas politik untuk kepentingan kelompok maka biasa juga disebut
sebagai korupsi politik (political Corruption). Korupsi politik bekerja
menyesuaikan dengan konteks politik, ekonomi dan budaya di negara tertentu.
Dari framework yang disusun Johnston (1987) dapat
dijelaskan bahwa korupsi di satu sisi terjadi karena ketimpangan relasi antara
negara dan masyarakat (aksesibilitas pada arena politik dan independensi dari
elit politik). Di sisi lain, korupsi
merupakan hubungan atau kaitan antara penguasaan sumber daya dan kekuasaan.
Hubungan Antara pengaruh kelompok kepentingan dan kekuasaan (Johnston,
1987)
POLITICAL ELITES POWER
|
|||
Interest group Influence
|
LOW
|
HIGH
|
|
LOW
|
Fragmented
Patronage
(1)
|
Corrupt Dictator
(2)
|
|
HIGH
|
Interest Group
Controlled
(3)
|
Patronage
Collaboration
(4)
|
Fragmented patronage (1)
Kekuasaan dan
pengaruh elit politik maupun elit kepentingan masih terbatas. Hal ini
disebabkan karena dalam arena politik terdapat banyak pemain dengan ‘kekuatan’
relatif sama. Kondisi ini biasa terjadi
pada masa transisi politik.
Corrupt Dictator (2)
Elit Politik telah mengkonsolidasikan kekuasan
(oligarki) sehingga memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan mempunyai
kontrol yang kuat ke dalam masyarakat. Korupsi yang terjadi menjadi sistemik
serta merajalela di semua sektor dan tingkatan tanpa mekanisme kontrol publik.
Interest Group Controlled (3)
Kelompok kepentingan mempunyai posisi tawar
yang kuat dan menggunakan sumber daya
(ekonomi) untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan. Pada model ini, elit
politik lemah dan bergantung kepada kelompok kepentingan guna membiayai
aktivitas politiknya. Kondisi ini jamak dijumpai di negara-negara yang
bercirikan demokrasi liberal.
Patronage Collaboration (4)
Batas antara negara dan sektor privat tidak jelas. Kolaborasi antara elit
politik dan sektor privat tidak jelas. Kolaborasi antara elit politik dan
kelompok kepentingan menjadikan korupsi tidak hanya sistemik tapi juga menjadi
legal.
IV. Sintesa mengenai Medan Tempur Gerakan Anti Korupsi (MM. Billah)
Terdapat dua arena bermain (medan tempur) bagi
gerakan sosial anti-korupsi, pertama pada tataran struktur
sosial-budaya dan kedua,
struktur sosial-politik. Misi yang diemban adalah melakukan perubahan pada
kedua struktur tersebut.
Dalam kaitannya dengan struktur kebudayaan,
gerakan yang dilakukan menekankan pada tujuan-tujuan perlunya perubahan
nilai-nilai dan aturan dasar (misalnya saja kejujuran dan keadilan), satu
rangkaian keyakinan (rasionalitas, aturan dalam kehidupan bersama, hak-hak
politik). Sementara pada struktur sosial, perlu ada pembaharuan lembaga dan
kelembagaan (institusional reform) yang dapat memperluas partisipasi politik,
akses terhadap sumber kehidupan, pemilahan dan pemisahan kekuasaan, dan
pemilahan antara ranah pribadi dan ranah publik.
Maka menjadi mungkin untuk memetakan dimana medan
tempur gerakan anti-korupsi :
1. Medan tempur Utama (Struktur
Kebudayaan)
a.
Yang dihadapi adalah Konsep kekuasaan Raja yang menjadi basis konsep negara
integralistik.
b.
Misi yang dilakukan adalah melakukan dekontruksi terhadap konsep kekuasaan
integralistik.
2. Struktur Sosial
(Politik)
a. Yang dihadapi adalah penyelenggara kekuasaan negara yang tidak
transparan, tidak akuntabel dan tidak bertanggungjawab; negara yang
integralistik; tatanan penyelenggaraan kekuasaan yang tidak akuntable dan tidak
transparan; kekuasaan yang tidak terpilah secara jelas; pemilahan antara ranah
pribadi dan ranah publik yang tidak tegas; masyarakat yang terhegemoni.
b. Sehingga misi yang harus dilakukan adalah kegiatan-kegiatan untuk
mendorong munculnya penyelenggara pemerintahan daerah yang bersih, akuntabel dan bertanggungjawab
kepada rakyat; mendorong penyelenggaran pemerintahan daerah yang demokratis
dimana terjadi pemilahan dan pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif; lahirnya lembaga-lembaga kontrol yang berfungsi efektif; munculnya
organisasi dan kelompok masyarakat sipil yang berdaya, tercerahkannya rakyat
dan meningkatnya daya kritis rakyat pada tingkat akar rumput.
V. Sintesa Gerakan
Anti Korupsi sebagai Gerakan Sosial-Gerakan Demokrasi (Ervyn kaffah).
Pada paparan sebelumnya,
definisi korupsi dapat diturunkan dalam
tiga titik perhatian (lihat Bagian II: Tesa-tesa mengenai Korupsi). Bagian
berikut akan mencoba menguraikan lebih lanjut tesa tersebut, guna mencari
sintesis baru untuk membangun gerakan antikorupsi sebagai gerakan sosial atau
pun gerakan demokrasi.
Untuk titik perhatian pertama,
Kantor Publik. Kategori ”publik” tidak mesti berarti ”negara/state”. Di level masyarakat grass roots, ini
akan berarti bahwa Panitia pembangunan masjid desa adalah juga pejabat
publik (bagi publik desa). Sehingga penyalahgunaan sumbangan pembangunan masjid
berupa dana maupun in-natura
seperti semen, genteng, dll dapat dikategorikan korupsi. Tentu saja, ini tak masuk dalam definisi korupsi
dalam term perundangan di Indonesia (UU 31/1999 dan perubahannya). Kasus-kasus
seperti ini pun sulit untuk diproses hukum, selain karena pertimbangan benefit jangka pendeknya(asumsi biaya
proses hukum > ketimbang pengembalian kerugian), harus diperhatikan faktor minimnya
akses masyarakat grass-roots terhadap pihak terkait seperti aparat hukum maupun
parlemen daerah. Namun yang ingin dikedepankan, dengan cara berpikir ini, apa
yang disebut dengan korupsi menjadi lebih mudah dipahami di lingkup
grass-roots.
Titik perhatian kedua, korupsi dipusatkan perhatiannya pada dampaknya bagi kepentingan
publik. Ini berarti cara pandangnya tidak melulu harus dengan
pengelompokan korupsi di pemerintahan daerah atau legislatif daerah, atau
korupsi di sektor hukum dan sektor politik. Namun korupsi dapat dikelompokkan
dalam sektor maupun isu yang berkaitan
langsung dengan kepentingan publik. Dengan menspesifikkan publik sebagai
kelompok-kelompok gerakan demokratisasi, maka pengelompokan isu dan sektor
lebih terkait dengan pengelompokan core gerakan sosial yang menjadi
langgam di Indonesia. Pengelompokannya di beberapa sektor dan isu tertentu,
seperti korupsi di sektor petani, sektor buruh, sektor kaum miskin kota, sektor
mahasiswa; korupsi di isu perempuan, isu lingkungan dan isu buruh migran. Cara
pengelompokan ini membuka peluang bagi proses internalisasi gerakan
anti-korupsi di lingkup isu dan sektor tertentu.
Pola pengelompokan lainnya yang lebih umum, ialah dengan menyandingkan kepentingan publik dengan pelayanan publik oleh pemerintah. Ini berarti bahwa korupsi dapat dikelompokkan sebagai korupsi dalam pelayanan publik di berbagai bidang, misalnya bidang pendidikan, kesehatan, dsb. Hal ini cukup relevan mengingat pelayanan publik adalah tempat terjadinya pertemuan-relasi yang intens antara warganegara dengan pemerintah. Pola pengelompokan seperti ini akan berarti bagi agenda membangun kepedulian publik pada lingkup pelayanan publik dimaksud.
Selain itu, isu antikorupsi sebaiknya diturunkan dalam isu anggaran pro-poor dan responsif gender untuk memperluas lingkup dan memperdalam cakupannya. Selain bisa memudahkan diterimanya isu antikorupsi di beberapa gerakan lintas-isu lintas sektor, isu juga menjadi lebih mudah dicerna dan ada pertemuan dengan kepentingan langsung kelompok kelas tengah dan grass-roots. Ia juga bisa mengatasi kesulitan dalam gerakan. Berangkat dari evaluasi terhadap postur gerakan di Nusantara, pilihan strategi gerakan nampaknya harus pada gerakan berbasis isu kolektif yang melibatkan semua grup lintas-isu lintas sektor, ketimbang mengandalkan gerakan berbasis sektoral yang terkadang tidak cocok dengan konteks lokal setempat, atau gerakan berbasis isu yang punya potensi ”memperparah” adanya segmentasi gerakan rakyat, atau untuk keduanya bisa menjadi ”isu kolektif bersama” sebagai solusi untuk buruknya managemen krisis antar-elit pergerakan sosial.
Kategori/titik perhatian ketiga, memusatkan perhatian pada korupsi yang terjadi pada proses politik/proses pembuatan dan pengambilan kebijakan politik. Lebih rumit lagi, karena prakteknya adalah ”melepaskan diri/penghindaran bahkan pembusukan aturan main/kebijakan”, dalam kerangka ”ekstra-legal” atau tidak tersentuh hukum, belum diatur hukum, mengatasi hukum dengan mencari peluang kelemahan hukum, dan sejenisnya.
Dari tiga titik perhatian tersebut, bila dikerangkakan untuk membangun sintesa yang akomodatif bagi keperluan mengembangkan dan mengkonsolidasikan gerakan masyarakat sipil (gerakan sosial) antikorupsi, maka isu korupsi dalam aplikasinya dapat diturunkan dalam beberapa konteks tergantung pada tujuan yang ingin dicapai, antara lain :
1) Untuk membangun konektivitas isu korupsi dengan konteks gerakan demokratisasi yang luas, gerakan sosial anti-korupsi harus diturunkan per definisi sebagai ”gerakan sosial untuk membongkar oligarki ekonomi-politik” dengan isu utama anti feodalisme-kapitalisme dan pemiskinan struktural;
2) Untuk meningkatkan cakupan dan ruang lingkup gerakan sosial anti-korupsi melalui partisipasi masyarakat luas, isu korupsi harus diterjemahkan ke dalam konteks isu pelayanan publik dan mengedepankan dampaknya terhadap kelompok minoritas, termasuk kelompok perempuan ; selain itu definisi ”kantor publik” untuk lingkup grass-roots harus diperlebar tidak sekedar sebagai hanya berkaitan dengan pemerintah, melainkan diperluas dalam arena ”urusan bersama”.
3) Untuk tujuan mengkonsolidasikan gerakan masyarakat sipil, isu korupsi harus diturunkan dalam skema lintas isu-lintas sektoral. Disini, dalam ruang lingkup ”isu”, korupsi dapat dikategorikan sebagai cross-cutting issues; dan dikategorikan sebagai ”program” dalam ruang lingkup program strategis di masing-masing isu-sektor. Dalam konteks ini, peran aktivis gerakan sosial anti korupsi dapat mengambil peran sebagai tim penghubung antara berbagai blok gerakan sosial. Dengan mengambil pilihan ini, gerakan antikorupsi bisa digolongkan sebagai ”gerakan dengan basis isu-isu yang diperluas”.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar