Translate

Minggu, 21 April 2013

Implementasi Kebebasan Pers di Lingkup Lokal dan Gagasan Strategi Mendorong Perbaikan



Pointer-pointer Pemikiran




Kecenderungan Terkini terkait Implementasi Kebebasan Pers di Lingkup Lokal

  • Dari sisi pendekatan, jika dibandingkan antara  Market model (penawaran dan permintaan) vs Public-sphere model (tersedianya ruang publik). Market model lebih diminati oleh pengelola media.

  • Kuatnya kepentingan bisnis berakibat media mengalami disorientasi. Kepentingan publik hanya bisa dilaksanakan sejauh ia bisa bertemu dengan kepentingan bisnis. Jika dihadapkan kepada situasi untuk terpaksa harus memilih diantara keduanya, maka kepentingan bisnis (pemilik) medialah yang dikedepankan.

  • Umumnya, kepentingan bisnis pemilik media (melalui perangkat2 perusahaan media) menjadi lebih dominan dalam menentukan wajah media, dan pengelola media (redaksi) hanya memiliki ruang terbatas untuk bernegosiasi, karena pola dalam perusahaan adalah ”otorisasi”. Jalan keluar untuk pengelola media adalah mencari jalan aman, misalnya: ”Berita dimuat dengan syarat tidak menunjukkan bahwa media menjadi pemrakarsa/bukan liputan langsung dari media”. Hal ini berdampak serius membahayakan fungsi  watchdog media. Atau ”isu masyarakat grass-roots boleh muat asal melakukan demonstrasi, karena itu akan aman untuk media”. Aneh, bukankah seharusnya demokrasi melalui media lebih murah?

  • Di sisi lain, belum tersedia sebuah dorongan yang kuat di tingkat lokal untuk mengontrol praktek melindungi ruang publik sebagai ruang publik berdialog, memperoleh keragaman perpektif, dari telikungan kapitalisasi media. 

  • Mindset para pengelola media sendiri mengenai pentingnya mempertahankan ruang kebebasan bagi pengelola media dalam segi pemberitaan masih perlu mendapat sorotan penting. Ini seperti spiral jebakan yang berputar.

  • Tingkat ketergantungan media yang tinggi terhadap pendapatan iklan/kerjasama (ucapan, kerjasama rubrik, dan advertorial) dan kerjasama oplah,  yang notabene bersumber utama dari Pemda berakibat media sulit menjaga independensinya terhadap kekuasaan. Sementara di sisi kekuasaan, mekanisme alokasi penganggaran bantuan/kerjasama untuk sejumlah media lokal berlangsung tertutup dan menyimpan bau nepotisme (diskriminasi).

  • Praktek pengelolaan bisnis media yang buruk :  Ada indikasi dana dari hasil bisnis media diputar untuk menopang bisnis lain (diduga terjadi baik pada media menengah ke atas dan menengah ke bawah). Keuntungan yang diperoleh dari bisnis media tidak dikembalikan sebagai investasi dalam bisnis media. Di lingkup media menengah ke atas secara kasat mata seolah praktek ini tidak masalah, namun sebenarnya bisa muncul pertanyaan kritis, jika media untung mestinya perbaikan bisa dilakukan dan peran sebagai ujung tombak masyarakat bisa lebih diperkuat (misalnya memperbaiki sistem keredaksian, peningkatan kapasitas wartawan, pengembangan database, dll). Di lingkup media menengah-ke bawah, jika tidak diputar ke bisnis lain, dana keuntungan sebenarnya bisa digunakan untuk memperbaiki cash-flow bisnis sehingga perusahaan dapat memiliki posisi negosiasi (independensi) yang lebih besar kepada pemda/kekuatan politik. Bisa juga diorientasikan kepada perbaikan tingkat kesejahteraan wartawan/karyawan agar mereka tidak melulu terus ”diperah” untuk menghasilkan keuntungan bagi media dan ”menggaji” dirinya sendiri,  dan perbaikan sistem media;

  • Trend konsentrasi kepemilikan media (konsentrasi tunggal : Lombok Post Group, konsentrasi silang: SUARA NTB/Bali Post/Global FM)>> meski masih lemah,  namun perlu terus dipantau.

  • Adanya pembatasan terhadap kebebasan berorganisasi wartawan (?). Di beberapa media tertentu, berlaku perintah : ”Jika Anda masuk/masih mau eksis di media ini, maka Anda harus masuk organisasi wartawan A”.

  • Rendahnya tingkat pendapatan dan  kesejahteraan jurnalis.

  • Rendahnya profesionalisme jurnalis.

  • Komitmen Penguasa (Pemda, dll) untuk menyediakan ruang yang kondusif bagi media untuk berperan sebagai ruang publik masih minim. Kelompok pemilik power masih berorientasi untuk ”mengamankan” media sebagai salah satu jalur untuk transformasi kepentingannya semata

  • Asosiasi/Organisasi jurnalis belum memainkan peran yang optimal, baik dari segi pengembangan profesionalisme, Implementasi penerapan dan sanksi kode etik, dan pembelaan terhadap jurnalis.

  • Rakyat masih minim kesadaran tentang pentingnya keberadaan media sebagai ruang publik. Jika fungsi pers adalah menginformasikan, mendidik, menghibur dan mengawasi kebijakan publik, sejauhmana informasi yang disampaikan media telah mendidik, menghibur, dan memperhatikan kepentingan publik? Ini mengakibatkan kurangnya penghargaan terhadap kebebasan pers. Di sisi lain, hak masyarakat untuk berperan serta dalam mengontrol media telah diatur dalam UU.

  • Akses dan mekanisme yang aman untuk melakukan komplain bagi publik terhadap kerja/produk jurnalis/media belum tersedia, sekaligus belum bekerjanya mekanisme ombudsman media.

  • Kesetaraan akses untuk memperoleh informasi dari media belum merata karena media dipengaruhi oleh pertimbangan pasar (dan kemampuan ekonomi masyarakat yang lemah).

  • Kesetaraan akses untuk menggunakan media masih minim.



Gagasan  strategi Perbaikan

  • Adanya dewan pers dapat menjadi peluang bagi masyarakat. Selain membuka ruang bagi pengaduan masyarakat, juga melakukan kerja untuk meningkatkan kualitas tata-kelola perusahaan media dan meningkatkan profesionalisme jurnalis (Standar perusahaan pers, standar organisasi perusahaan pers, standar organisasi pers, standar kompetensi wartawan, Perlindungan terhadap wartawan, dan KEJ).  Perlu didorong agar NTB punya Perwakilan Dewan Pers di Provinsi.

  • Asosiasi perusahaan pers memiliki posisi penting untuk melakukan sertifikasi terhadap perusahaan pers sesuai standar perusahaan, dan dapat dibentuk di Provinsi. Jika ini dapat dimaksimalkan, maka kontrol publik ”secara tak langsung” punya ruang untuk dimaksimalkan. >> Meski demikian ada keterbatasan, diduga di NTB  perusahaan yang bisa memenuhi standar ratifikasi/sertifikasi perusahaan sangat terbatas. Sehingga orientasi ratifikasi dan sertifikasi perusahaan media, pertama kali harus ditujukan untuk perbaikan managemen perusahaan ketimbang untuk mengeliminasi perusahaan2 yang belum sesuai standar.

  • Perlu ada dukungan bagi masyarakat untuk terus-menerus melakukan up-dating data mengenai struktur bisnis media massa (minimal sekali setahun) dan melakukan analisis isi media untuk mengetahui trend tingkat profesionalisme jurnalis/media.

  • Organisasi Jurnalis perlu mendapat dukungan untuk menjalankan peran peningkatan profesionalisme, kode etik dan pembelaan terhadap wartawan (termasuk kesejahteraan dan perlindungan kerja). Untuk memperkuat posisi jurnalis, organisasi jurnalis perlu mempertimbangkan untuk membangun serikat pekerja jurnalis di internal perusahaan media, untuk melindungi hak2 pekerja jurnalis.

  • Perlu dibangun garis batas yang tegas antara ”kepentingan bisnis” dan ”kepentingan publik”, sehingga dapat menjaga para pengelola media dari tekanan pemilik/pemodal media. Di sisi lain, upaya membangun kesadaran dan  komitmen diinternal pengelola media untuk melindungi ruang publik, pers, perlu terus digalakkan. Aspek lainnya adalah bagaimana memisahkan antara ”fungsi pemberitaan” dan ”fungsi bisnis” di tubuh media (wartawan dan kompartemen pemberitaan harus dibebaskan  dari/tidak diperbolehkan melakukan fungsi bisnis). Dan terakhir, peningkatan kompetensi wartawan dan pemahaman KEJ. Keempat hal tsb, dapat didorong melalui keterlibatan dalam mendorong standarisasi, ratifikasi dan sertifikasi perusahaan pers dan kompetensi wartawan.

  • Memfasilitasi perbaikan dalam sistem dan pola kerja keredaksian media. Harus ada standar kerja di redaksi untuk menghasilkan produk informasi yang memenuhi syarat/kaidah jurnalistik. Di sisi lain, penataan sistem keredaksian tsb harus mampu menjadi ”benteng” bagi redaksi untuk membendung tekanan/pengaruh bisnis media.

  • Mendorong keterbukaan dalam tata-kelola relasi antara Pemda dengan perusahaan pers dan/atau pengelola media. Misalnya ada sistem yang lebih terbuka dalam pola kerjasama, atau ada transparansi dalam kerjasama antara media dan Pemda, dengan mempertimbangkan aspek keadilan bagi semua media. Termasuk diantaranya adalah transparansi kepemilikan saham Pemda di media.

  • Mendorong Pemda dan perusahaan2 di NTB mengalihkan ”dana2 amplop” menjadi dana peningkatan kapasitas jurnalis.

  • Mengembangkan sistem mekanisme komplain bagi masyarakat terhadap kerja jurnalis/media, disamping mendorong berfungsinya Ombudsman media lokal.

  • Peningkatan kontrol warga masyarakat terhadap kerja jurnalis/media, dengan mengembangkan literacy media dan asosiasi warga peduli media.

  • Memfasilitasi adanya kesetaraan akses memperoleh media, misalnya melalui dukungan Pemerintah atau sumbangan dari media (atau menggunakan dana CSR perusahaan media).

  • Memperbaiki pola komunikasi dan strategi pelibatan media dalam mendorong perubahan kebijakan publik dan di sisi lain mendorong pengelola media melakukan proses perbaikan dalam menyediakan kemudahan akses yang setara bagi semua pihak untuk menggunakan media.

***
Mataram-Lombok, Juni 2010






 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar