Pentingnya Membuka Beneficiary Ownership Pengadaan Barang Jasa Publik
...Sesungguhnya ada konsekwensi besar terhadap integritas
yang harus dipertaruhkan oleh para pemimpin ketika uang itu mengalir mencari
tempat yang tinggi, dalam situasi ketika tidak ada batas yang jelas mengenai
seberapa tinggi uang itu mampu naik,dan terus naik, entah setinggi apa.
Dan orang-orang lantas berspekulasi. Seperti
umumnya, spekulasi demi spekulasi berikutnya pun terus berkembang. Spekulasi
tentang integritas para pemimpin kiranya jauh lebih merusak daripada kepastian ikhwal nasib para penjahat koruptor.
Dalam sebuah pertemuan yang saya hadiri pada tengah
tahun ini, seorang jurnalis senior
mengungkap informasi penting yang ia terima mengenai maraknya “praktek
penyetoran” oleh jajaran SKPD kepada
pihak-pihak tertentu. Dari statemennya, saya memperoleh gambaran adanya oknum
tertentu yang saban minggu menyantroni sejumlah kantor pemerintah mengumpulkan
setoran, entah untuk siapa. Meski ia menyelipkan
imbuhan bahwa belum tentu informasi tersebut benar, namun jika praktek tersebut
benar-benar terjadi maka penting mendapat perhatian pemerintah. Jurnalis senior
kita menutup pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan menantang: Apakah agenda tindakan
yang mungkin mengurangi praktek penyetoran oleh birokrasi seperti itu? Karena saat itu pertanyaan tersebut
belum mendapat tanggapan kiranya kita perlu memikirkan berbagai gagasan yang
mungkin. Saya akan memulainya, dan berharap ada pihak lain yang mau berpartisipasi
dalam forum brainstorming (curah-gagasan)
ini.
Dalam
khazanah literatur korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan, Korupsi Politik (political corruption) bekerja karena adanya kekuasaan dari
otoritas politik untuk kepentingan kelompok. Ini berarti adanya penyelingkuhan
kepercayaan publik oleh institusi atau perseorangan yang diberi mandat. Sehingga
korupsi merupakan bentuk khusus dari gabungan pengaruh politik dan kesempatan
untuk menyelewengkan wewenang guna memperoleh kepentingan pribadi atau pun
kelompok (Luky D. Djani, 2003).
Sementara
dari framework yang disusun Johnston (1987) dapat dijelaskan bahwa
korupsi di satu sisi terjadi karena ketimpangan relasi antara negara dan
masyarakat (aksesibilitas pada arena politik dan independensi dari elit
politik). Di sisi lain, korupsi merupakan hubungan atau kaitan antara
penguasaan sumber daya dan kekuasaan. Model korupsi ini secara umum
terbagi dua, pertama, Model
Predatory yang sangat lazim dalam sistem kekuasaan yang terkonsolidasi
atau penguasa memiliki kekuatan monopoli produk kebijakan atau alokasi sumberdaya,
dan kedua, Model Transaktif yang berkembang dalam sistem politik multipartai
dan kekuasaan politik terfragmentasi (mencar) yang terbagi secara seimbang
serta kekuasaan yang terbatas, disisi lain kelompok bisnis belum cukup kuat untuk
mendikte dan mempengaruhi kekuasaan.
Kali pertama, praktek memberi setoran harus secara
tegas diluruskan dalam frase yang benar tanpa mengandung ambigu sebagai praktek
pemerahan sistematis. Ia adalah praktek jahat yang sangat berbahaya mengingat
dampaknya akan berpengaruh terhadap keseluruhan rangkaian tata-kelola
pemerintahan daerah. Ia bisa menurunkan semangat kerja jajaran birokrasi karena
sistem insentif dipastikan tidak bekerja; mengurangi penerimaan daerah; mencuri
manfaat yang diterima masyarakat luas akibat penurunan kuantitas dan kualitas
proyek dan kegiatan pemerintah; dan yang paling buruk, dapat menghancurkan
kepercayaan kepada pemerintahan sekaligus para pemimpin terpilih. No Tolerance for It!
Korupsi
Lapis Kedua
Saya berpandangan bahwa praktek pemerahan sistematis
sangat mungkin terjadi di tubuh pemerintah daerah. Untuk mendalaminya, kita bisa berangkat dari
dua pendekatan. Pertama, menggunakan
ilmu para investigator: Follow The Money.
Telusuri kemana saja aliran uang setoran. Layaknya air, uang juga mengalir
sampai jauh. Namun berbeda dengan cerita air yang secara alami pasti mencari
tempat yang rendah, kisah mengenai uang biasanya mengalir ke tempat yang
tinggi, menuju struktur pemilik kuasa dan wewenang yang lebih tinggi. Hemat
saya, pendekatan ini bersifat kasuistis dan pada akhirnya terbatas dari segi
dampak.
Pendekatan
Kedua, yang nampak lebih prospek, menggali dari mana sumber dana pemberian
setoran oleh jajaran birokrasi itu diperoleh. Pandangan saya, sumber dana
setoran bisa berasal dari “penghematan” beberapa pos penerimaan maupun dari
pelaksanaan belanja public berupa fee (biaya jasa ilegal) yang dikumpulkan pejabat
publik. Atas alasan praktis besarnya nominal angka yang mungkin tersangkut,
saya hanya akan meninjau yang terakhir.
Belanja pemerintah selama ini dijalankan melalui pengadaan
barang jasa public dengan mekanisme
lelang maupun non-lelang yang terbagi atas proyek dan kegiatan. Fee proyek diperoleh ketika para pejabat dan atau petugas proyek
bermain mata mengatur pemenang pengadaan dengan pengusaha penyedia. Fee inilah yang menjadi sumber setoran
kepada para pemegang kuasa dengan berbagai macam cara, termasuk melalui
pengumpul setoran yang menyantroni kantor-kantor pemerintah. Meskipun dewasa
ini pengadaan di daerah telah melalui mekanisme e-procurement, namun keluhan mengenai pengaturan tender masih jamak
terdengar. Dari perbincangan dengan kalangan kontraktor dan konsultan di beberapa
daerah, saya juga menangkap kesan umum
kalau pelaksana proyek sekarang ini cenderung menumpuk pada penyedia tertentu
meskipun menggunakan perusahaan berbeda atau dengan nama pelaksana proyek
berbeda. Bukan soal praktek “pinjam bendera”, melainkan adanya bayangan sesuatu
yang lebih sistemik saat pelaksana proyek terpusat pada segelintir pihak
tertentu. Sesuatu yang dengan teknologi
tersedia masih sulit dibuktikan!
Pengaturan tender dapat dibagi menjadi dua pola, pertama, berupa pengaturan menyangkut tender tertentu
secara parsial dengan penyedia barang jasa dalam relasi yang lepas, semacam pola
hit and run dengan penyedia bersifat
acak. Namun jauh lebih berbahaya jika pengaturan tender itu mewujud dalam pola kedua dengan relasi yang lebih mapan. Disini, penyedia barang jasa yang memiliki relasi
dengan penguasa dan kelompoknya, telah menjadi pemain utama yang memonopoli pelaksanaan proyek-proyek
pemerintah. Berdasar pengalaman di daerah tertentu, dalam pola relasi antara pengusaha
dan penguasa (dan kelompoknya) yang telah mapan karena pengusaha telah
bertindak sebagai cukong (pemodal) sejak pemilihan, praktek monopoli pengadaan
barang jasa pemerintah mengambil scope
yang luas dan jangkauannya bisa melampaui beberapa tahun anggaran (menetap).
Dari
korupsi lapis pertama berupa suap (bribery)
ketika prakarsa datang dari para pengusaha, dan pemerasan (extortion) dalam hal insiatif justru bermula dari para petugas
publik, ia bertransformasi menjadi sejenis korupsi pada lapis kedua berupa nepotisme (diantara mereka yang punya
hubungan darah dengan pejabat publik), kronisme (diantara mereka yang tidak
punya hubungan darah dengan pejabat publik), dan korupsi di lingkaran “kelas baru”
terdiri dari semua kader partai pemerintah dan keluarga mereka yang menguasai
semua pos basah, pos ideologis dan pos yuridis penting (Aditjondro, 2002).
Membuka Beneficiary Ownership Pengadaan Barang
Jasa
Saya telah memikirkan berbagai cara yang mungkin hingga
menemukan gagasan yang akan dijelaskan berikut
ini. Untuk mengurangi praktek pemerahan sistematis di tubuh birokrasi, maka
salah satu cara yang mungkin ialah dengan menutup atau mempersempit peluang
bagi tersedianya sumberdana setoran yang diserahkan itu.
Dalam kasus sumber setoran berasal dari fee proyek, gagasan yang dimajukan
adalah bagaimana menutup peluang bagi pengaturan tender yang bersifat mapan antara
pejabat public dengan pihak penyedia yang memiliki hubungan dekat dengan para
pemegang kuasa di lingkar kekuasaan daerah. Hubungan itu bisa bersifat
nepotisme, kronisme, dan mereka yang termasuk kelompok pendukung kekuasaan
berbasis hubungan keluarga atau dinasti
(misal dalam kasus Banten-Indonesia dan Thailand), kesamaan asal usul
organisasi, partai politik dan habitus
lainnya. Jadi, ketimbang memberi
perhatian pada pengaturan tender bersifat acak dan kecil, saya memilih fokus
pada pengaturan tender dengan jangkauan lebih luas dan terencana secara
sistematis.
Tindakan yang saya sarankan adalah melakukan upaya
mendorong keterbukaan yang lebih substansial mengenai para pemenang tender atau
pelaksana proyek-proyek pemerintah. Nama-nama perusahaan pemenang pengadaan harus diumumkan secara terbuka, begitupula dengan nama para pemilik perusahaan
tersebut harus mudah diakses oleh public luas. Hal ini, belakangan saya ketahui,
disebut sebagai upaya membuka beneficiary ownership, yakni membuka kepemilikan
perusahaan penerima manfaat yang sebenarnya
dari pelaksanaan proyek pemerintah. Di beberapa negara, sejalan dengan agenda
Open Government Partnership (OGP) sebuah kemitraan global puluhan
negara untuk mendorong inisiatif pemerintahan terbuka dimana AS dan Indonesia menduduki kursi kepemimpinan (co-chairman), agenda ini sedang gencar
dilaksanakan. Meskipun harus diberikan
catatan, sampai saat ini belum tersedia gambaran lugas mengenai apa persisnya
kerangka atau skema yang mereka kembangkan.
Pemerintah harus mengambil langkah untuk membuka
informasi-informasi diatas, caranya menurut saya, ialah dengan mewajibkan seluruh
perusahaan peserta pengadaan menyerahkan data kepemilikan perusahaan dan selanjutnya
menyusun katalog data yang aplikatif. Data ini dievaluasi secara periodik untuk
memperoleh tren penyebaran penerima manfaat riil proyek. Sementara publik luas didorong
melakukan pengawasan terhadap validitas informasi kepemilikan perusahaan. Pemerintah
juga mendalami dalam hal ditemukan postur penumpukan proyek yang mencurigakan,
dan mengambil tindakan yang dibimbing oleh visi antikorupsi yang tegas. Dengan
cara itu, secara berangsur akan terjadi perubahan komposisi penerima keuntungan
utama proyek.
Melalui langkah membuka benefiaciary ownership,
dalam jangka panjang monopoli pelaksanaan proyek oleh penyedia tertentu akan
berkurang dan pejabat public dipersulit
untuk mengumpulkan setoran dalam jumlah besar dan lebih terencana. Tentu
saja, praktek pengaturan tender dan pemungutan fee proyek masih akan terus berlanjut namun tidak lagi dalam jumlah
yang hebat. Praktek pengaturan tender yang terbangun atas dasar relasi atau
kedekatan bersifat nepotisme dan kronisme antara penguasa, keluarga, dan kelompok dekatnya dengan pengusaha
tertentu dengan pola relasi yang lebih mapan dapat diputus dan beralih menjadi
bentuk relasi yang lebih lepas.
Tentu saja, pihak yang pesimis sah-sah saja untuk
berpendapat bahwa jikalau praktek pengaturan tender dengan penyedia yang
ditopang pemegang kuasa sebagai pemain utama tersebut sedang berjalan,
bagaimana mungkin mengharapkan penguasa bersangkutan memberi ruang bagi agenda ini?
Saya cukup memahami maksudnya, dan harus mengatakan disinilah letak
pertaruhannya. Kita bisa mulai mendorong
agenda ini, atau membiarkan keadaan berlaku seperti biasanya namun dengan beban pemikiran yang menampakkan
dirinya dengan jelas. Sesungguhnya ada konsekwensi besar terhadap integritas
yang harus dipertaruhkan oleh para pemimpin ketika uang itu mengalir mencari
tempat yang tinggi, dalam situasi ketika tidak ada batas yang jelas mengenai
seberapa tinggi uang itu mampu naik, dan terus naik, entah setinggi apa.
Dan orang-orang lantas berspekulasi. Seperti
umumnya, spekulasi demi spekulasi berikutnya pun terus berkembang. Spekulasi
tentang integritas para pemimpin kiranya jauh lebih merusak daripada kepastian ikhwal nasib para penjahat koruptor.
Mataram-Lombok, Juli 2015
ERVYN KAFFAH
Sekretaris Jenderal FITRA NTB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar