Mengulang-ulang
penjelasan yang sama bisa diterjemahkan publik sekedar sebagai apologi, sementara business
process berjalan sebagaimana biasanya. Sejauh dipahami, publik awam tak membutuhkan berbagai alasan
teknis terkait SDM ataupun sistem yang belum normal. Yang diharapkan adalah
percepatan atau paling minimal publik memperoleh gambaran bahwa pemerintah
sedang bekerja menyelesaikan masalah, alih-alih
melulu bicara masalah dan alasan penundaan.
TAHUN 2014 LALU Pemerintah Provinsi NTB mengagendakan
pengendalian dan penyerapan anggaran lebih efektif. Tapi paradoks menyertai
karena SiLPA tahun itu mencatat angka
prestisius, penyerapan anggaran sangat rendah, dan ada beberapa proyek besar
tidak rampung sampai batas tempo, termasuk dua gedung di komplek RSUP (baru). Seperti
biasanya, pimpinan daerah mengekspresikan keprihatinannya atas kinerja
birokrasi. Pejabat-pejabat penting lantas memberi penjelasan yang cenderung
mengulang-ulang alasan tahun lalu. Saat
pengendalian anggaran dilaksanakan setengah hati maka kendali cuma berjalan
setengah-setengah, dan tindakan-tindakan substansial tak segera dijalankan. Menimbang
bahwa pasti sungguh patut disayangkan jikalau peristiwa serupa kembali terulang
tahun ini, penting menekankan sejumlah faktor yang diduga ikut berpengaruh terhadap
pelaksanaan kegiatan APBD dan penyerapan anggaran daerah.
Secara umum aktivitas pengendalian anggaran Pemprov
NTB sudah mulai berjalan dengan pola baru pada beberapa sisi. Seperti pada realisasi keuangan dan fisik tiap
SKPD, serta pengendalian kemajuan pada seluruh tahapan tender. Tahun ini pemerintah
juga menjelaskan telah mulai mengefektifkan pengendalian lapangan sejumlah
proyek strategis, meski belum ada informasi progress
tersaji. Ke depan, diharapkan secara
bertahap ada pengembangan lingkup dan cakupan pengendalian pada beberapa sisi
penting lainnya.
Kabar baiknya, sekarang jangan harap ada ruang bagi
jajaran SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) untuk melaporkan perkembangan
pekerjaan dalam tanggungjawabnya: Sedikit
lagi Bos; Hampir selesai Pak; atau Alhamdulillah
lancar meski ada sedikit masalah. Kini kinerja SKPD menjadi lebih terukur dan
ditandai dalam zona kinerja. Atasan menjadi terbantu dan lebih mudah menilai
kinerja bawahan sekaligus dipermudah mendeteksi masalah. Media massa dan
kelompok masyarakat juga bisa memantau kinerja anggaran melalui website pemerintah. Namun mengingat
inisiatif ini masih terhitung baru, patut dimaklumi jika belum semuanya berjalan efektif.
Efektivitas
Pengendalian
Belum efektifnya pengendalian anggaran Pemprov NTB ditunjukkan
oleh sejumlah indikasi. Indikator pertama, pola belanja Pemprov NTB masih
menumpuk pada akhir tahun. Ini berarti sejak awal sampai tengah tahun realisasi
keuangan didominasi Belanja Tidak langsung (BTL) dengan komponen utama Belanja
Pegawai dan belanja rutin lainnya. Sementara Belanja Modal dan Belanja Barang Jasa
berorientasi public dalam Belanja Langsung (BL) umumnya dikucurkan setelah
Bulan Juni. Sebagai gambaran, akhir Juni 2014, realisasi BTL telah mencapai 42
persen padahal realisasi BL hanya 17 persen. Selanjutnya, pada September atau akhir
Triwulan III, realisasi BL baru menginjak titik 40 persen namun BTL telah
mencapai 72 persen.
Demikian pula, angka-angka menunjukkan bahwa pelaksanaan
proyek dan kegiatan Pemda dilaksanakan jor-joran
pada triwulan akhir. Lonjakan luar biasa realisasi BL nampak jelas pada tiga
bulan terakhir tahun anggaran, dari sebelumnya hanya 40,42 persen pada akhir
September, naik dan ditutup pada titik 85,37 persen pada Bulan Desember, atau
kenaikan luar biasa tajam sekitar 45 persen dalam waktu tiga bulan. Dalam
bahasa lain, dalam kurun waktu tersedia dua belas bulan, Pemprov mengebut
belanja dan menghabiskan 45 persen nominal belanja dalam tiga bulan terakhir.
Sumber: Budget
Resources Centre(BRC) FITRA NTB, 2014
Situasi tersebut kompatibel dengan besarnya Sisa
Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) tahun 2014 yang mencapai Rp 149 milyar. SilPA
yang “luar biasa” besar, karena tren tahunan berkisar pada angka Rp 17 milyar. Meski pejabat Pemprov berkelit
bahwa SILPA sebagian besar berasal dari penghematan pos rutin dan pengadaan, penghematan
yang terencana mestinya langsung dikembalikan untuk pengeluaran lainnya, bukan
disisakan dalam kas daerah. Sebagai bahan refleksi, akhir Triwulan III, FITRA
NTB telah memberi peringatan awal bahwa SiLPA tahun 2014 akan menjadi yang
terburuk dalam tiga tahun terakhir. Realisasi keuangan hanya sekitar 85 persen tahun itu berarti banyak
anggaran publik tidak terserap atau tidak terealisasi.
Indikator kedua,
kinerja belanja SKPD umumnya masih dominan di zona kuning dan merah, dibanding
zona hijau. Komposisi ideal kelompok kinerja SKPD jika pengendalian berjalan
bagus adalah 60 hijau: 30 kuning: 10 merah. Sementara trend umum di Pemprov NTB
dari total 44 SKPD setiap triwulan pada tahun 2014 sebarannya masih dominan
pada zona merah dan kuning sekitar 70-85 persen. Kondisi lebih tak terkendali bahkan ditemui terkait kinerja pengadaan
barang jasa melalui proses lelang yang tersebar pada 31 SKPD.
Terakhir,
belum efektifnya pelaksanaan forum Rapat Pimpinan (Rapim). Rapim yang dipimpin
oleh kepala daerah mestinya menjadi forum evaluasi umum kinerja SKPD, memberi
catatan terhadap kelemahan dan tren kemajuan, serta penugasan terkait sisi
khusus yang penting. Ini dilakukan setelah evaluasi teknis dilaksanakan dan pimpinan
telah menerima hasilnya, sehingga saat menghadiri Rapim, pimpinan telah menyiapkan
keputusan mengenai arah penting yang harus dilaksanakan sejumlah pejabat
terkait. Namun sejauh ini forum Rapim
nampak lebih berfungsi sebagai forum untuk membuka capaian kinerja SKPD dan
pengarahan umum dari pimpinan.
Alasan Belum
Efektifnya Pengendalian
Hingga pertengahan 2015, percepatan penyerapan
anggaran mulai terlihat namun dengan laju yang lambat. Umumnya para pengamat
cenderung mengambil kesimpulan mudah bahwa lambatnya realisasi keuangan dan
fisik disebabkan buruknya kinerja kepala SKPD, dan sebagai konsekwensinya
mereka yang “lelet” disarankan untuk diganti. Nada serupa juga dilontarkan
terkait lambannya proses lelang proyek dan kegiatan yang melibatkan pihak
penyedia, ditambah pandangan bahwa perencanaan buruk.
Disisi lain, sejumlah alasan bersifat teknis sering
dilontarkan jajaran birokrasi untuk menjelaskan keterlambatan pelaksanaan
belanja dus pengadaan barang jasa. Pertama, tidak tersedianya dana
pelaksanaan kegiatan dan proyek karena belum ditransfer oleh pemerintah pusat,
atau realisasi anggaran menunggu perubahan APBN. Umumnya yang sering disebutkan terlambat adalah
DAK (Dana Alokasi Khusus). Setiap proyek dan kegiatan telah ditetapkan sumber pendanaannya,
apakah dari PAD, DAK, dlsb. Bila transfer terlambat, biasanya pemerintah
terpaksa menunggu sampai dana itu tersedia.
Kedua, adanya proyek yang perencanaannya
berbarengan dengan pekerjaan fisik dalam tahun berjalan, sehingga lelang proyek
fisik harus ditunda, hingga pada triwulan III. Dua alasan diatas terus diutarakan setiap tahun dan belum
diketahui adanya skema kebijakan untuk mengantisipasinya.
Alasan ketiga,
terbatasnya jumlah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bersertifikat. Sebabnya, para
pejabat enggan bertugas sebagai PPK karena khawatir tersangkut perkara korupsi dan
berurusan dengan aparat penegak hukum, selain syarat mendapat sertifikat
dianggap berat karena mengutamakan aspek integritas. Alasan ini pertama kali
saya dengar tahun 2012 dan sudah ada rencana tindakan sejak akhir 2013 untuk
mengatasinya. Belum diketahui bagaimana hasil tindakan itu, apakah jumlah PPK
sudah meningkat dan tersebar proporsional ke sejumlah SKPD.
Keempat,
Surat Keputusan (SK) pengangkatan PPK diterbitkan untuk masa tugas satu tahun,
sehingga pada tahun berkutnya harus menunggu terbitnya SK baru. Akibatnya penyiapan
dokumen lelang yang seharusnya rampung awal tahun terhambat. Hal ini mengherankan
karena sejak terbitnya Perpres 70/2012, PPK tidak lagi terikat tahun anggaran. Sekali
dibuat SK pengangkatannya maka berlaku seterusnya sepanjang tidak ada SK
pemberhentian/pengunduran diri. Alasan ini pertama kali saya dengar pada tahun
2014, namun pertengahan tahun ini kembali dilontarkan pejabat terkait untuk
menjelaskan keterlambatan pengajuan lelang dari SKPD kepada ULP (Unit Layanan
Pengadaan).
Alasan kelima,
adanya perubahan rencana program dan kegiatan akibat pergantian kepala SKPD. Hal
ini terliput dalam kasus proyek Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang mencuat
baru-baru ini. Patut menjadi perhatian sejauhmana perubahan perencanaan itu
memang layak dan dapat dipertanggungjawabkan, mengingat matriks program dan
kegiatan sebelumnya pastilah telah menempuh managemen perencanaan. Alasan terakhir atau keenam, SKPD memang sengaja menjadwalkan
belanja kegiatan dan proyek menjelang akhir tahun karena merupakan prioritas
rendah dengan nilai proyek kecil (bahkan walaupun jumlah paket proyeknya
banyak).
Alasan-alasan serupa dengan tahun lalu umumnya
masih dilontarkan pejabat terkait untuk menjelaskan keterlambatan penyerapan
anggaran tahun ini. Sejauhmana tingkat validitasnya sulit dibuktikan tanpa pemeriksaan
mendalam, apalagi untuk membantu mencari solusi. Tentu saja ada penjelasan yang
cukup dapat diterima karena begitulah adanya (as it is), namun sebagian lainnya terasa hambar. Mengulang-ulang
penjelasan yang sama bisa diterjemahkan publik sekedar sebagai apologi, sementara business
process berjalan sebagaimana biasanya. Sejauh dipahami, publik awam tak membutuhkan berbagai alasan
teknis terkait SDM ataupun sistem yang belum normal. Yang diharapkan adalah
percepatan atau paling minimal publik memperoleh gambaran bahwa pemerintah
sedang bekerja menyelesaikan masalah, alih-alih
melulu bicara masalah dan alasan penundaan. (Bersambung)…
Mataram, Juli 2015
ERVYN KAFFAH
Sekretaris Jenderal FITRA NTB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar