“…. Maka kami menyatakan : pertama,
bertekad bulat untuk secara langsung dan tidak langsung turut serta dalam
gerakan pemberantasan korupsi; kedua,
akan dengan sangat sungguh-sungguh menggalang segala potensi yang memungkinkan
ditegakkannya keadilan sejati demi keselamatan rakyat; ketiga, secara
terus-menerus melakukan sosialisasi gerakan anti-korupsi di setiap waktu dan
kesempatan; keempat, berupaya mendidik dan membina kader-kader muda yang
konsisten melawan korupsi; kelima, akan memberikan bantuan moril dan
materil pada semua gerakan anti-korupsi.”(dikutip dari naskah ikrar Aliansi
Pondok Pesantren untuk Gerakan Anti Korupsi, APPGAK NTB, yang dibacakan oleh TGH. Mahyuddin Azhar Lc, di
Mataram pada tanggal 23 Oktober 2001).
Korupsi di Indonesia telah memasuki tahap
sistemik. Selain telah merasuki sejumlah infrastruktur kenegaraan, korupsi pun
telah menjangkiti institusi-institusi sosial masyarakat dan menjangkiti
sendi-sendi kehidupan masyarakat. Lebih berat lagi, persoalan korupsi adalah
persolan persepsi dan kesadaran masyarakat mengenai korupsi.[1] Menghadapi problem seperti ini, selain
melakukan perbaikan di lapangan ekonomi, politik dan hukum, upaya pemberantasan
korupsi haruslah meliputi upaya lainnya dalam merubah persepsi masyarakat
mengenai korupsi.
Salah satu
sebab mengapa masyarakat permisif terhadap korupsi adalah karena masih
bertahannya sejumlah nilai-nilai yang tidak kondusif bagi upaya pemberantasan
korupsi. Problem ini tentu lebih berkutat pada nilai-nilai yang membentuk
perspektif masyarakat dalam memandang masalah-masalah dalam kehidupan dan
terletak pada level struktur sosial-kebudayaan. Disini dapat dikatakan bahwa
faktor-faktor budaya konsumerisme bisa jadi menjadi sebab mengapa korupsi
dianggap sebagai sesuatu yang sah. Sebab lainnya adalah karena tekanan pada
struktur sosial-politik, yang mengakibatkan orang terdorong untuk melakukan
korupsi. Tekanan ekonomi, insistusi birokrasi
yang berubah menjadi institusi pemeras, pers yang dibungkam, penegakan
hukum yang buruk, terjadinya pergeseran kekuasaan dan buruknya transparansi dan
akuntabilitas adalah beberapa diantara
sebab-sebab struktural yang
mengakibatkan korupsi terus-menerus terjadi dan semakin akut.
Untuk
mengupayakan pemberantasan korupsi, maka
keterlibatan semua pihak adalah salah satu prasyarat yang harus dimajukan.
Pemberantasan korupsi tidak akan berhasil tanpa dukungan masyarakat. Salah satu
komponen masyarakat yang memiliki peran strategis di dalam membangun gerakan
sosial anti-korupsi adalah tokoh-tokoh agama yang dalam kehidupan masyarakat
memegang peran yang cukup sentral. Keterlibatan para tokoh agama dalam upaya
pemberantasan korupsi akan memberikan motivasi dan dorongan yang kuat bagi
masyarakat untuk ikut serta dalam upaya pemberantasan korupsi.
Meski demikian,
upaya melibatkan tokoh agama dalam upaya pemberantasan korupsi bukanlah tidak
mengandung sejumlah persoalan tersendiri, yang sebenarnya meliputi berbagai
faktor mulai dari aspek pemahaman (interpretasi) terhadap ajaran agama, aspek
penerapan ajaran-ajaran tersebut dalam
kehidupan masyarakat maupun kondisi obyektif para tokoh agama tersebut terhadap
lingkungan sosialnya.
I. ISLAM DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
Dalam menggalakkan upaya pemberantasan korupsi
di tanah air, islam sebagai ad-dien dapat berperan dalam berbagai macam
bentuk, pertama, nilai-nilai moralitas yang diajarkan islam diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap
semakin menyebarnya korupsi. Untuk ini perlu dilakukan radikalisasi interpretasi terhadap
nilai-nilai moralitas yang diajarkan Islam. Dari sini diharapkan agar persoalan korupsi mendapat pembicaraan
yang memadai dalam kajian-kajian atau interpretasi nilai-nilai moralitas islam.
Sedari awal harus disadari pula
bahwa terlalu mengharapkan nilai-nilai moralitas yang menjadi ajaran agama akan
dapat menjadi modal untuk menghapus praktek
korupsi mungkin merupakan harapan berlebihan. Dalam realitasnya praktek
keberagamaan sering lebih dipengaruhi oleh berbagai macam faktor dan realitas
yang hidup dalam masyarakat. Misalnya aspek kebudayaan yang hidup di dalam
masyarakat. Memiliki stempel sebagai pemeluk salah satu agama memang bukanlah
menjadi ukuran bagi adanya pemahaman yang
memadai tentang nilai-nilai yang diajarkan agama. Masalah lainnya, meski
pemahaman mengenai nilai-nilai agama telah cukup bagus, hal ini belum menjamin
praktek keberagamaan tokoh dan para penganut agama akan serta merta sesuai
dengan nilai-nilai moralitas yang diajarkan agama.
Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, praktek
keberagamaan masyarakat Indonesia lebih berorientasi pada formalisme dan
simbolisme keagamaan daripada substansi. Kalau pun ada penekanan pada
substansi, ini lebih cenderung inward oriented, pada kesalehan
personal-individual. Meski di satu sisi selama dua dasawarsa terakhir terlihat
terjadi peningkatan semangat keagamaan dan kesalehan personal individual, yang
juga sekaligus outward oriented menjadi kesalehan sosial yang
terejawantah dalam kehidupan sosial secara luas, namun masih terjadi disparitas yang tajam
antara kedua jenis kesalehan ini. Kesalehan sosial kerap kali hanya diwujudkan
dalam praktek-praktek pengeluaran zakat, infak, sedekah, dll. Bahkan lebih
parah lagi terjadi pemisahan antara sikap keberagamaan di masjid atau
rumah-rumah ibadah dan tingkah laku di kantor, di jalan raya dan sebagainya.[2]
Tentu saja tak ada yang salah dengan agama. Agama jelas berbeda dengan
keberagamaan.
Problem
yang terkait dengan masalah ini sebenarnya adalah bagaimana agar nilai-nilai
moralitas agama tersebut tidak hanya menjadi “ajaran yang berdiam langit” namun
juga harus didukung oleh adanya
dialektika dinamis dengan faktor-faktor lainnya yang membentuk etika
sosial yang berlaku di masyarakat.
Sehingga setelah proses
radikalisasi interpretasi ini dapat dilakukan, hasilnya akan bermanfaat untuk melakukan
langkah kedua, yakni agar
nilai-nilai moralitas islam tersebut dapat berfungsi sebagai modal untuk
membangun etika sosial baru yang memberdayakan rakyat kecil dan memandang
korupsi sebagai kejahatan yang harus di lawan bersama.[3]
Etika sosial baru ini dapat mendorong masyarakat untuk senantiasa menjauhkan
diri dari praktek korupsi, melahirkan semangat untuk mendorong upaya
pemberantasan korupsi, dengan mencegah, mengawasi, melaporkan dan jika mungkin
mengintrodusir dan memperbaiki sejumlah mekanisme sanksi sosial yang hidup di
masyarakat yang diberlakukan kepada setiap orang atau kelompok yang melakukan
korupsi. Dalam konteks tersebut, nilai-nilai moralitas ini pun diharapkan dapat
diturunkan dalam kerangka aturan-aturan hukum (fiqh) Islam mengenai korupsi,
dengan definisi dan pengertian yang jelas mengenai korupsi dalam perspektif
Islam sekaligus aturan mengenai sanksi-sanksi yang diberikan kepada koruptor.
Selanjutnya, untuk memperoleh pengejawantahan yang memadai, peran ketiga
yang dapat dilakukan adalah agar nilai-nilai moralitas islam dapat diajukan sebagai salah satu sumber bagi
penyusunan aturan-aturan hukum maupun suplemen kebijakan yang berpengaruh bagi
kemaslahatan umat, dengan orientasi pemberdayaan masyarakat kecil dan penekanan
terhadap praktek korupsi. Dengan mengambil nilai-nilai substantifnya,
nilai-nilai moralitas yang diajarkan Islam dapat memberikan landasan yang baik
dalam penyusunan kebijakan agar senantiasa berpihak dan berorientasi kepada
kemaslahatan masyarakat kecil.
Pandangan Islam
tentang Korupsi
Upaya
radikalisasi interpretasi ajaran islam mengenai korupsi telah banyak coba
dilakukan. Hasilnya, islam diyakini mengutuk tindakan korupsi dalam bentuk
apapun.
Korupsi
dalam khazanah islam lebih dikenal dengan berbagai macam sebutan, antara lain Risywah,
Ghulul, dan Ghasysy. Kajian tentang risywah pada umumnya
hanya difokuskan pada kasus orang-orang yang berperkara dan yang terlibat di
dalamnya adalah qadli (hakim) dan para pihak yang berperkara.[4]
Kajian risywah yang hanya memfokuskan pada peradilan adalah suatu hal
yang wajar dan bukannya tanpa dasar sebab di satu sisi, al-Qur'an surat
al-Baqarah ayat 188 dan hadis Nabi mengindikasikan suap (risywah) ke
arah orang-orang yang berperkara dalam peradilan.
Salah
satu hadist menyebut bahwa penyuap dan pemberi suap akan mendapat kutukan Allah
Swt (hadist Bukhari Muslim). Meski dalam hadist tersebut hanya dinyatakan
mengenai “kutukan Allah terhadap pemberi dan penerima suap, tetapi dalam kamus
bahasa Arab modern, risywah tidak hanya berarti “penyuapan” (bribery),
tetapi juga korupsi dan ketidakjujuran (dishonesty). Lebih dari itu,
para ulama kontemporer menyepakati bahwa Risywah tidak hanya berarti korupsi
“konvesional”, tetapi juga mencakup bentuk korupsi lainnya, yang bukannya tidak
sering merupakan pencurian, bahkan perampokan.[5]
Term al-ghulul banyak
dipakai dalam pengertian mengambil harta rampasan (ghanimah) secara
diam-diam sebelum diadakan pembagian. Meskipun demikian, Rasulullah dalam
sejumlah hadist juga menggunakan term al-ghulul untuk tindakan kriminal
yang objeknya selain harta rampasan perang. Yang termasuk kategori ghulul juga
adalah seseorang yang mendapatkan tugas (menduduki jabatan) mengambil sesuatu
di luar hak (upah, gaji) yang sudah ditentukan dan seseorang yang sedang
melaksanakan tugas (memangku suatu jabatan) menerima hadiah yang terkait dengan
tugas (jabatannya).
Rasulullah selalu mengingatkan
orang-orang yang diberi jabatan (tugas) untuk memperhatikan apa yang menjadi
kewajibannya dan apa yang seharusnya diterima sebagai imbalan atas tugasnya dan
menjadi haknya. Pejabat (pegawai) yang telah mengambil harta di luar ketentuan
dikategorikan sebagai orang yang melakukan ghulul. Rasulullah memberikan
ancaman keras terhadap orang yang diberi
amanat (kekuasaan) untuk mengurusi kepentingan publik, tetapi dia melakukan
pengkhianatan (al-ghulul). Perbuatan tersebut akan dimintai
pertanggungjawaban di akhirat. [ Dari al-Hasan, dia berkata bahwa Ubaidillah
bin Ziyad menjenguk Ma'qil bin Yasar yang sedang sakit (yang mengakibatkan
kematiannya). Ma'qil bin Yasar berkata, "aku menyampaikan kepadamu hadis
Rasulullah yang aku dengar sendiri darinya. Dia bersabda bahwa seorang hamba
yang dimintai Allah untuk mengurus kepentingan umat, lalu dia meninggal dunia
sedangkan dia adalah orang yang melakukan pengkhianatan (al-ghasysy) terhadap
umat, maka Allah mengharamkan surga kepadanya].[6]
Meskipun dalam hadist itu, Rasulullah menggunakan term al-ghasysy
bukan term al-ghulul, dua term itu mempunyai arti yang sama, yakni
pengkhianatan (penyalahgunaan wewenang). Dengan demikian, term al-ghasysy sama
dengan term al-ghulul. Hanya saja, term yang biasa digunakan untuk makna
pengkhianatan (penyalahgunaan wewenang) adalah al-ghulul.
Korupsi
sebagai al-fasad (Kerusakan di Bumi)
Dalam
konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang
bertentangan dengan prinsip keadilan (al-adalah), akuntabilitas (al-amanah),
dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan
berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan
termasuk dalam perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang amat dikutuk
Allah Swt.[7]
Muhammad
Ali Al-Shabuni, dalam Rawa’i’ Al-Bayan (Jilid I h. 546) menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan al-fasad, yaitu segala perbuatan yang menyebabkan
hancurnya kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat terror yang
menyebabkan orang takut, membunuh, melukai, dan mengambil atau merampas harta
orang lain. Oleh karena itu, berdasarkan pendapat tersebut, korupsi sama buruk
dan jahatnya dengan terorisme.[8]
Pelaku
korupsi dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar) yang
pelakunya harus dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka
dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki
kiri atau tangan kiri dengna tangan kanan) atau diusir. [Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka (dengan menyilang) atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia,
dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. QS. 5 : 33].[9]
Demikian
pula jika seorang koruptor meninggal dunia, seyogyanya jenazahnya tidak perlu
dishalatkan oleh kaum Muslim sebelum harta hasil korupsinya itu dijamin akan
dikembalikan oleh ahli warisnya kepada negara. Hal ini dianalogikan dengan
orang yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki utang, yang tidak boleh
dishalatkan sebelum ada keluarga yang bersedia menjaminnya. Jika tidak, kelak di alam kuburnya akan
terombang-ambing. Dalam Sebuah Riwayat Imam Tarmidzi dari Abu Hurairah,
Rasulullah bersabda, “Nyawa seorang Mukmin (di alam kuburnya)
diombang-ambingkan sehingga utangnya dibayarkan oleh ahli warisnya”. Meskipun
demikian terdapat pula pendapat beberapa ulama yang mengharuskan menshalatkan
setiap Muslim meskipun melakukan berbagai macam dosa dan kesalahan. Namun
Rasulullah sendiri pernah melarang menshalatkan orang yang memiliki utang,
sehingga utangnya itu dibayarkan (Fiqh Sunnah, Juz IV, h. 104-105).[10]
Peran Ulama dalam Pemberantasan Korupsi
Ketika membicarakan agama, praktis ada dua hal yang berbeda yang
sedang dibicarakan, aspek pertama adalah mengenai nilai-nilai moralitas yang
terkandung dalam ajaran-ajaran yang disampaikan agama. Sedangkan aspek kedua,
mengenai institusi sosial keagamaan sebagai penyokong berjalannya kehidupan
beragama.
Untuk membangun peran islam guna menjawab problem korupsi yang makin
akut di Indonesia, peranan institusi sosial
keagamaan menjadi sangat penting sebagai
pendorong. Dari segi ini, institusi sosial keagamaan mestinya dapat
dipertimbangkan sebagai salah satu agen dalam pemberantasan korupsi,
bergandengan tangan dengan gerakan anti-korupsi dari kalangan masyarakat
lainnya.
Namun seringkali ketika membahas tentang institusi sosial keagamaan,
diskursus yang diperdebatkan bisa bergeser dari kejernihan. Debat seringkali
berputar pada pertanyaan, cukup strategiskah institusi sosial keagamaan menjadi
salah satu pilar untuk mendorong pemberantasan korupsi. Pertanyaan ini muncul,
kurang lebih karena sedari awal
institusi sosial keagamaan pun dianggap tidak luput terjangkiti virus
korupsi.
Kejernihan tentu harus dikedepankan untuk menjawab pertanyaan ini.
Pertanyaan sebaliknya tentu dapat
dilontarkan untuk menjawab pertanyaan tipikal semacam ini, misalnya,
apakah ada perbedaannya antara institusi
sosial keagamaan dengan institusi-institusi lainnya yang sekarang terjangkiti
korupsi. Bagaimana pun institusi sosial keagamaan pun memiliki posisi yang sama
dengan institusi sosial lainnya. Bukankah
keraguan terhadap peran institusi sosial keagamaan sebenarnya sama
posisinya dengan keraguan terhadap sejumlah institusi sosial lainnya yang ada
dalam masyarakat. Dalam kondisi korupsi yang sudah sistemik seperti di
Indonesia, tidak akan berguna untuk mengklaim diri sebagai pihak yang paling
bersih berkaitan dengan praktek korupsi. Yang harus dikedepankan adalah peran
strategis yang bisa dimainkan oleh masing-masing pihak, termasuk instirusi
sosial keagamaan, dalam pemberantasan korupsi.
Dari sisi ini peran institusi sosial keagamaan dus peran ulama
dalam pemberantasan korupsi haruslah dipertimbangkan berdasarkan kapasitas dan
posisi strategisnya di dalam kehidupan masyarakat. Dalam upaya memberantas
korupsi, peranan ulama yang berhubungan
secara langsung dalam melayani kebutuhan spiritual dari masyarakat luas menjadi
amat fundamental. Apalagi, pada kenyataannya
dalam struktur sosial-politik Indonesia ulama mempunyai legitimasi dan pengaruh
yang luas, yang jauh melampaui sekedar fungsi-fungsi spiritual. Sehingga pada
sisi ini, gerakan sosial anti-korupsi yang terpusat di kalangan tokoh agama
harus dimaknai sebagai sebuah gerakan moral, yang diharapkan memiliki implikasi
politik.
Perhatian kalangan ulama terhadap upaya pemberantasan korupsi
nampaknya mulai menunjukkan trend yang semakin memuncak. Ulama-ulama Nadlatul
Ulama pada Lajnah Bahsul Masail Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Alim
Ulama NU yang diselenggarakan di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, pada
Tanggal 25-28 Juli 2002, telah
mengeluarkan fatwa bahwa jenazah para koruptor dilarang dishalati.
Beberapa bulan berselang,
upaya untuk mendorong peran menggalang gerakan anti-korupsi di kalangan
organisasi keagamaan telah dilaksanakan oleh dua organisasi sosial keagamaan di
Indonesia, yakni Nadhlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pada tanggal 15 Oktober
2003, dua organisasi besar islam Indonesia ini telah mendeklarasikan gerakan
sosial pemberantasan korupsi.
Apa yang telah dilakukan oleh kedua organisasi besar berbasis
komunitas islam ini tentu dapat menjadi salah satu momentum bagi upaya
membangun gerakan sosial anti-korupsi di Indonesia. Namun dengan catatan bahwa
upaya ini tidak sekedar berhenti pada gerakan moral an sich melainkan
diharapkan dapat dituangkan dalam langkah-langkah praksis di kalangan
masyarakat.
Inisiasi lainnya juga perlu diketengahkan. Dari wilayah yang jauh di
bagian timur Indonesia, tepatnya di Pulau Lombok, yang termasuk sebagai bagian
dari wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat, inisiasi untuk menggalang
tokoh-tokoh agama dalam pemberantasan korupsi pun rupanya telah dilakukan. Teristimewa, inisiasi semacam ini telah
dimulai sejak akhir tahun 2001 silam.
II. GERAK ULAMA DI PULAU LOMBOK MEMBERANTAS KORUPSI
Provinsi Nusa
Tenggara Barat yang terdiri dari dua
pulau besar, yakni Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, meliputi 2 kota dan 6 kabupaten,
masing-masing adalah Kota Mataram dan
Kota Bima, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten
Lombok Timur, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Dompu dan
Kabupaten Bima. Ada tiga suku yang sejak awal mendiami wilayah ini, yakni dou
mbojo dan tau samawa di Pulau Sumbawa dan dengan sasak di
Pulau Lombok.
Pulau
Lombok yang memiliki luas sepertiga dari luas wilayah NTB sebesar 20.153,15
Km2, didiami oleh dua pertiga dari total jumlah penduduk NTB sebanyak 3,875
juta jiwa. Sementara sisanya tersebar di satu kota dan empat kabupaten di Pulau
Sumbawa.
Agama dominan yang
dianut penduduk di NTB adalah agama Islam yang dianut oleh 3.650.762 jiwa atau
94, 21 % dari total jumlah penduduk.[11]
Sementara agama kedua adalah agama Kristen yang pemeluknya juga tersebar di
seluruh wilayah NTB. Di Kota Mataram, yang terletak di Pulau Lombok, terdapat
sejumlah besar warga keturunan Bali yang kedatangannya telah dimulai dari
proses ekspansi Kerajaan Karang Asem di Lombok di masa lalu dan karena itu, di
kota ini jumlah pemeluk agama Hindu cukup besar.
Di
provinsi ini dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat kental diwarnai oleh
nuansa agama (Islam). Hal ini memberi pengaruh pada tingginya kepedulian/penghargaan
yang diberikan terhadap pengamalan nilai-nilai moral yang mencerminkan akhlakul
karimah dalam masyarakat. Fenomena itu berdampak pada besarnya penghormatan
masyarakat terhadap individu-individu yang mengamalkannya, apalagi bila
sekaligus juga alim. Individu-individu seperti ini akan memperoleh predikat
kehormatan dari masyarakat berupa gelar Tuan Guru (di Pulau Lombok), Kiai atau
Ulama (di Pulau Sumbawa) yang menempatkannya sebagai elit agama di
masyarakatnya.
Pengaruh Tuan Guru di Pulau Lombok
Bagi
umat islam di Pulau Lombok, Tuan Guru adalah individu yang dikaruniai peran
sebagai pengganti kehadiran seorang nabi yang dikasihi Tuhan di tengah-tengah
masyarakat. Keyakinan semacam ini menimbulkan adanya keterikatan moral
masyarakat terhadap Tuan Guru, sekaligus memungkinkan Tuan Guru menanamkan
pengaruhnya dalam masyarakat. Penyebaran pengaruh itu akan semakin luas sesuai
keandalan Tuan Guru itu sendiri; semakin alim dan mulia akhlaknya, akan semakin
luas pula pengaruhnya.[12]
Namun
diluar keyakinan semacam itu, secara historis, posisi Tuan Guru di Pulau Lombok
memang terbentuk dari kuatnya peran Tuan Guru di masa lalu dalam perkembangan
kehidupan masyarakat. Legitimasi historis ini diperoleh melalui dominannya
peran tuan guru dalam memimpin pemberontakan (baca: perlawanan rakyat) pada
masa penguasaan Kerajaan Mataram, dan
selanjutnya sejak Lombok dikuasai Belanda pada tahun 1894.[13]
· Pengaruh pada Kehidupan Sosial Masyarakat
Dengan menyandang
predikat Tuan Guru, seseorang memiliki pengaruh yang besar pada dimensi
psikomotorik masyarakat di Pulau Lombok, yang mampu memotivasi mereka untuk
mengambil sikap tertentu terhadap sebuah
persoalan atau pilihan.
Hal
inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh kalangan umara (pemerintah) di
Nusa Tenggara Barat dalam mensukseskan program-programnya. Program yang banyak
melibatkan peran para Tuan Guru umumnya adalah pada sektor kesehatan. Sebagai
contoh, pada saat dilaksanakannya Program KB Nasional pada era tahun 80-an, NTB
tercatat sebagai salah satu daerah yang paling berhasil dalam menggalakkan
program pemerintah ini. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh tuan guru yang
memang menjadi salah satu pihak yang ikut terlibat dalam mendukung program ini,
dengan melakukan sosialisasi terus-menerus dalam aktivitas pengajian
(dakwahnya). Dewasa ini, selain
menjadi salah satu tangan pemerintah
dalam mensukseskan program-program pembangunan, ketokohan Tuan Guru juga mulai
dimanfaatkan oleh sejumlah kelompok organisasi masyarakat (LSM) untuk
menyampaikan pesan-pesan pemberdayaan masyarakat. Melalui Tuan Guru sebagai ‘spoke
person’. Dengan keterlibatan Tuan Guru, pesan-pesan pemberdayaan masyarakat
akan lebih mudah tersampaikan dan diaplikasikan ke dalam kehidupan masyarakat.
· Pengaruh terhadap Pilihan Politik Masyarakat
Teristimewa pada
sisi politik, pilihan politik seorang Tuan Guru akan sangat mempengaruhi
pilihan politik masyarakatnya. Umumnya, pilihan politik tuan guru akan menjadi
pilihan politik masyarakatnya. Itulah sebabnya, selama era kekuasaan orde baru,
partai berkuasa saat itu yakni Golkar (bersama birokrasi dan militer) mencoba
merangkul elit-elit agama ini sebagai instrumen penggalangan massa pemilih di
Pulau Lombok.
Menurut Darmansyah,
salah satu faktor penentu kemenangan Golkar di NTB selama pelaksanaan Pemilu Orde baru sejak
Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997 adalah karena keberhasilannya merangkul elit
agama yang ada di Pulau Lombok. Berbeda dengan di Pulau Sumbawa yang perolehan
suaranya cenderung stabil karena kemampuannya memobilisir dukungan melalui
birokrasi, selama masa pemilu tersebut perolehan suara Golkar di Pulau Lombok
naik-turun sesuai kondisi hubungan pemerintah (politisi) dengan kalangan tuan
guru/ulama.[14]
Proses penggalangan
dukungan politik oleh Golkar melalui tuan guru/ulama umumnya ditempuh melalui
pendekatan insentif material untuk kepentingan pengembangan kegiatan dakwah dan
pendidikan para tuan guru, maupun adanya kontra-prestasi berupa posisi-posisi
strategis di berbagai macam instansi pemerintah maupun legislatif daerah maupun
nasional.[15]
Diskusi (halaqah) Ulama tentang Korupsi
Mempertanyakan apakah korupsi merupakan praktek yang asing bagi kalangan Tuan Guru/Ulama di Pulau Lombok
adalah pekerjaan sia-sia. Tuan guru/Ulama di Pulau Seribu Masjid ini sebenarnya bukanlah bagian masyarakat
yang berjarak terhadap wacana korupsi.
Selama ini, justru mereka menjadi korban
dan merasakan betapa korupsi telah menggerogoti praktek pemerintahan,
lebih-lebih lagi di sejumlah bidang kerja yang langsung bersentuhan dengan
kehidupan umat.
TGH Samsul Hadi, misalnya. Pengasuh Pondok Pesantren Batunyala,
Praya,, Lombok Tengah ini menceritakan pengalamannya berkaitan dengan bantuan pondok
pesantren. Setiap tahun, pesantrennya menerima dana bantuan dari pemerintah
sebesar Rp 10 juta, yang diturunkan dalam bentuk barang untuk kebutuhan sekolah
dan madrasah. Tapi menurut Samsul, selama tiga tahun saat pesantrennya menerima
bantuan tersebut, realisasi dana tersebut hanya sebesar Rp 3 juta, pasalnya,
dari total dana tersebut Rp 4 juta tidak sampai ke tangan pesantren karena
telah disisihkan untuk dana administrasi, sementara sisanya sebesar Rp 3 juta
tidak jelas pengalokasiannya. Belakangan, sejak pemerintahan Gus Dur, terjadi
perubahan pola distribusi bantuan. Bantuan dikucurkan langsung lewat perbankan.
Namun justru muncul praktek korupsi baru, yang dibahasakannya sebagai praktek
“negosiasi di belakang”.[16]
Cerita yang sama juga merupakan pengalaman banyak pihak yang selama
ini terlibat dalam gerakan pemberdayaan umat lewat organisasi-organisasi
keagamaan Islam di Pulau Lombok. Umumnya, praktek korupsi yang paling banyak
mendapat sorotan dari kalangan tokoh agama ini adalah praktek korupsi yang
memang secara langsugn berkaitan dengan pelaksanaan fungsinya di masyarakat.
Beberapa praktek korupsi tersebut antara lain, praktek korupsi dalam proses
pemberangkatan jamaah haji, kolusi dan nepotisme dalam pengangkatan pegawai
pemerintah di Departemen Agama setempat, korupsi dalam pengurusan izin
pembangunan gedung syiar agama, maupun praktek uang komisi dalam penmgucuran
bantuan pemerintah baik berupa dana maupun natura. Meski demikian, juga
terdapat Tuan Guru/Ulama yang menyoroti
praktek korupsi yang mewabah di gedung DPRD ataupun di sejumlah instansi daerah
lainnya, termasuk praktek pungutan liar pada proses pengurusan SIM, STNK dan
lain-lain.
Bagaimanakah Tuan
Guru/Ulama persepsi mengenai korupsi?
Dalam halaqah antar-Tuan Guru/Ulama dapat diketahui, umumnya Tuan
Guru/Ulama memandang korupsi sebagai
praktek yang merugikan dan karenanya pembenaran terhadap praktek korupsi tidak
dapat dirolerir.
Praktek-praktek korupsi yang bersentuhan langsung dan sangat
dirasakan dalam kerja-kerja yang dilakukan oleh para ulama, baik yang melakukan
gerakannya melalui sejumlah pondok pesantren, di sejumlah organisasi atau
kelembagaan agama, maupun pada komunitas-komunitas lepas yang terpisah, sering
dianggap sebagai ganjalan dalam melakukan kerja-kerja pemberdayaan umat. Namun
di sisi lain kegusaran ini melibatkan
adanya kepasrahan terhadap situasi dan kondisi yang berkembang. Umumnya,
sikap yang sering diambil oleh Tuan
Guru/Ulama terbatas pada sekedar “mencari jalan selamat sendiri” agar tujuan
pemberdayaan umat dapat tetap dilaksanakan.
Namun tak sedikit para ulama yang mencoba untuk memberikan
penegasan-penegasan terhadap ketidaksetujuannya terhadap praktek-praktek
semacam ini. Seperti dikisahkan oleh H.
Husen, salah seorang Tokoh Muhammadiyah
kelahiran Sumbawa, yang mengembangkan kegiatan dakwah di Lombok.
“Ada bantuan Pemda Rp 1 juta untuk pesantren saya, mereka meminta
komisi dengan alasan dana administrasi, namun kami mencoba untuk tegas, dan
mereka menjadi sadar. Sikap tegas dari masyarakat itu perlu terhadap bantuan
yang seringkali ada unsur korupsinya.”[17]
Proses-proses relasi antara pihak ulama yang mewakili kelompok
berbasis agama dan pihak pemerintah maupun kalangan politisi lebih banyak
diwarnai oleh pola transaksi yang sifatnya menggambarkan adanya posisi
subordinasi para ulama dihadapan pihak pemerintah. Di dalam subordinasi
tersebut, Tuan guru/ulama mencoba untuk tetap memperjuangkan
kepentingan-kepentingan pondok pesantren, khususnya dalam mengembangkan proses
pendidikan di sejumlah madrasah yang dikelola pondok pesantren.
Debat Soal Korupsi : Dari Moral ke Sistem
Kelemahan umum yang berhasil
diidentifikasi sebenarnya adalah dalam aspek pemahaman mengenai akar persoalan
munculnya korupsi. Faktor
apasajakah yang menyebabkan korupsi? Dalam halaqah antar Tuan Guru/Ulama,
faktor moral yang buruk dan lemahnya
iman seseorang dianggap sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi.
Pendapat ini mewarnai sebagian besar komentar Tuan Guru/Ulama saat mengutarakan
pandangannya mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi.[18]
Dari masukan awal
mengenai mengenai pandangan tuan guru/ulama mengenai penyebab korupsi ini,
terlihat kebutuhan pentingnya mengajak tuan guru/ulama untuk menggali bersama akar masalah persoalan korupsi. Agar ada
pegangan awal (starting point) maka untuk memperkaya perspektif dan
membangun wacana terhadap pemahaman mengenai korupsi hal ini dimulai dengan
melakukan pengayaan perspektif mengenai korupsi.[19]
Setelah proses pengayaan pemahaman mengenai korupsi, dapat diketahui
mulai terjadi pergeseran pemahaman tuan guru/ulama mengenai faktor-faktor
penyebab korupsi. Faktor-faktor penyebab korupsi tidak hanya berkutat pada aspek persolan
moral yang buruk dan lemahnya iman seseorang. Selain moral dan keimanan yang
lemah, korupsi terjadi lebih disebabkan oleh faktor sistem yang buruk, baik
dalam dataran sistem politik, ekonomi maupun hukum. Di luar itu, juga diperoleh
masukan bahwa di tengah masyarakat pun hidup dan berkembang sejumlah nilai yang
melanggengkan terjadinya korupsi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebab-Sebab Korupsi Menurut
Pandangan Tuan Guru/Ulama
1. Faktor
Keimanan dan Moralitas :
a. Adanya keinginan (niat)
untuk melakukan korupsi.
b. Ketamakan
c. Tipisnya nilai keimanan dan Moralitas
d. Mentalitas Pejabat rendah (buruk)
2. Faktor Budaya
a. Budaya konsumtif dan Latah
b. Selalu mempertimbangkan Untung-Rugi
3. Faktor Politik
a. Kemauan politik dan komitmen pemerintah masih rendah
b. Monopoli kewenangan di tangan pejabat pemerintah
c. Lemahnya check and balance kekuasaan
d. Minimnya partisipasi dan kontrol masyarakat
e. Minimnya transparansi dan akuntabilitas pemerintah
4.
Faktor Hukum
a. Sistem hukum memberi peluang korupsi
b. Undang-undang mengenai Pemberantasan Korupsi masih lemah
c. Lemahnya law enforcement (Penegakan Hukum).
d. Lemahnya sosialisasi hukum
e. Lemahnya kesadaran hukum masyarakat
5. Faktor Ekonomi
a.
Format perekonomian yang cenderung bersifat
korup
b.
Faktor kebutuhan yang mendesak
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selain itu dirumuskan pula berbagai dampak yang ditimbulkan akibat
merajalelanya korupsi. Pemahaman mengenai dampak korupsi ini sangat penting
untuk dipahami, karena dengan memahami dampak-dampak yang ditimbulkan oleh
korupsi, maka akan semakin memperbesar motivasi untuk memberantas korupsi.
Pemahaman tentang dampak korupsi ini sangatlah penting, karena beranjak dari
pengalaman melakukan pengorganisasian di kalangan masyarakat, lebih mudah
mengajak masyarakat untuk berpartisipasi memberantas korupsi jika menemukan
bahwa dirinya menjadi korban dari praktek korupsi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dampak korupsi
menurut pandangan tuan guru/ulama
Dampak Budaya dan
Sosial
a.
Hancurnya moralitas bangsa
b.
Membiasakan masyarakat untuk berbuat
korupsi
c.
Memicu tindakan asosial dan asusila
Dampak Politik dan
Hukum
- Terpeliharanya Kekuatan status quo
- Terbentuknya Pemerintahan yang dzalim.
- Penempatan pejabat yang yang tidak proporsional
- Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah rendah
- Rendahnya kepercayaan terhadap aparat hukum
- Kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kegiatan pemerintahan
- Buruknya Pelayanan Publik bagi masyarakat
Dampak Ekonomi
a.
Terpuruknya ekonomi dan macetnya kegiatan
pembangunan
b.
Krisis yang berkepanjangan
c.
Ketergantungan kepada luar negeri dan
hilangnya kemerdekaan negara
d.
Naiknya harga barang
e.
Rendahnya kesejahteraan masyarakat
(masyarakat semakin miskin)
f.
Korupsi menguntungkan sebagian kecil
golongan sehingga memunculkan kesenjangan sosial
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dari Halaqah (Diskusi) ke Harakah (Gerakan)
Setelah aspek pemahaman tuan guru dan partisipan yang bergabung dalam
khalaqah tentang korupsi berhasil diatasi, sejumlah tantangan lain pun muncul
yang biasanya merupakan tema yang tidak asing dalam upaya membangun kesadaran
anti-korupsi di kalangan masyarakat. tantangan tersebut bermuara pada munculnya
keraguan mengenai sejauhmana efektif tidaknya korupsi dapat diberantas. Hal ini
didasarkan atas asumsi bahwa korupsi di Indonesia sudah begiru mengakar, bahkan
ada yang menyebutnya sudah menjadi budaya masyarakat.
Salah
satu komentar yang relevan dengan pesimisme ini antara lain dilontarkan oleh TGH. Mahyuddin Azhar, Lc, yang sehari-hari
mengasuh Pondok Pesantren Al-Manan, Lombok Timur.
“Saya pesimis untuk mencegah dan memberantas
korupsi karena begitu mengakarnya perilaku korupsi. Misalnya di Kabupaten
Lombok Timur, hampir di semua instansi terjadi korupsi. Saya khawatir kegiatan
ini kurang bermanfaat”.[20]
Berhadapan dengan pesimisme serupa
dalam sejumlah diskusi, seminar maupun workshop yang membahas pemberantasan
korupsi bukanlah hal aneh, karena menemukan pesimisme senada dalam kehidupan
sehari-hari pun merupakan hal yang biasa. Banyak pihak seringkali mengatakan
dengan nada yang sangat meyakinkan,
korupsi di Indonesia sudah mengakar sehingga sulit untuk diberantas. Pesimisme
ini menghinggapi hampir seluruh
kalangan, termasuk di Nusa Tenggara Barat. Namun teristimewa, ucapan tersebut
terlontar dari bibir seorang ulama, tokoh panutan masyarakat yang biasa
dipanggil Tuan Guru, yang di Pulau Lombok
memperoleh legitimasi yang kuat dari masyarakat luas.
Lahirnya Komitmen Bersama untuk Memberantas Korupsi
Nampaknya
bagi sejumlah tuan guru/ulama yang hadir dalam halaqah korupsi, sekedar
memperoleh pemahaman tentang korupsi tidaklah cukup. Panggilan terhadap fungsi
yang diemban dalam masyarakat nampaknya menjadi alasan bagi para tuan
guru/ulama untuk memantapkan komitmen terlibat dalam pemberantasan korupsi.
Pada Pelatihan Anti-Korupsi untuk Tokoh Informal
muncul gagasan untuk melakukan ikrar bersama untuk terlibat dalam pemberantasan
korupsi. Usulan ini disetujui oleh ulama/Tuan Guru lainnya dan disepakati untuk
melakukan ikrar bersama. Dalam naskah yang
dibacakan oleh TGH. Mahyudin Azhar, Lc ini memuat beberapa pasal yang menjadi ikrar bersama sejumlah
tuan guru yang hadir dalam halaqah tersebut. Intinya menegaskan komitmen
bersama tuan guru/ulama untuk terlibat dan mendukung gerakan anti-korupsi.[21]
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Naskah Ikrar APPGAK NTB
ALIANSI PONDOK PESANTREN UNTUK GERAKAN ANTI KORUPSI
NUSA TENGGARA BARAT
Bismillahirrahmanirrahiem
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Segala
puji bagi Allah SWT seru sekalian alam, shalawat dan salam atas junjungan Nabi
Besar Muhammad Saw beserta para sahabatnya dan pengikut beliau sampai akhir
zaman. Amma ba’du
Dengan berlandaskan :
1.
Firman Allah SWT
“Inna Allah ya’muru bil ‘adli wal ihsan wa iita’I zil qurba
wayanha ‘anil fahsa’I walmunkar walbagyi, ya’izukum laalakum tazakkarun“ [Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran. Q.S 16:90).
2. Sabda Rasulullah saw:
- Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpinnya.
- Orang-orang yang diam atas kemungkaran adalah syaitan bisu
3. UUD 1945 yang menyatakan bahwa tanah air dan segala kekayaan
milik negara harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
4. Program pemerintah untuk menciptakan Pemerintah yang Bersih dan
Berwibawa.
Maka Kami menyatakan :
1.
Bertekad bulat untuk secara langsung dan
tidak langsung turut serta dalam gerakan pemberantasan korupsi;
2. Akan dengan sungguh-sungguh menggalang segala potensi yang
memungkinkan ditegakkannya keadilan sejati demi kemaslahatan rakyat;
3. Secara terus menerus melakukan sosialisasi gerakan anti korupsi
di setiap waktu dan kesempatan;
4. Berupaya mendidik dan
membina kader-kader muda yang konsisten
melawan korupsi;
5. Akan memberikan bantuan moril dan materiil pada semua gerakan
anti korupsi;
Demikian pernyataan ini Kami buat dengan ikhlas dan
sungguh-sungguh. Semoga Allah SWT mengampuni dosa Kami dan berkenan melimpahkan
rahmah dan maghfirahnya untuk kelanjutan perjuangan Kami.
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Mataram, 23 Oktober 2001
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Peran Tuan Guru/Ulama dalam Pemberantasan Korupsi
Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah peran apa yang dapat dimainkan oleh tuan guru dalam upaya pemberantasan korupsi. Peran yang dapat dimainkan oleh tuan guru dalam mendorong pemberantasan korupsi dirumuskan dalam berbagai macam agenda aksi, antara lain[22] :
·
Membuat kajian fiqh anti korupsi
·
Membuat pengajian yang bermuatan pendidikan anti
korupsi.
·
Menyusun kurikulum pendidikan anti korupsi dan
memasukkannya sebagai salah satu mata pelajaran di madrasah/pondok pesantren.
·
Mengkampanyekan gerakan anti korupsi pada saat
event-event keagamaan
·
Melakukan pengkajian dan pengawasan anggaran.
·
Melakukan advokasi terhadap kasus-kasus korupsi
·
Melakukan loby kepada pondok pesantren (Tuan
Guru/Ulama) lainnya untuk terlibat dalam gerakan anti korupsi.
·
Melakukan halaqah (workshop) untuk menyatukan
persepsi dan komitmen bersama Tuan Guru/Pimpinan Ponpes sekaligus
pengorganisasian dalam wadah Aliansi Pondok Pesantren Gerakan Anti Korupsi.
Untuk merealisasikan agenda-agenda pemberantasan korupsi bagi
kelompok pondok pesantren yang ada di Pulau Lombok di Lombok, dipandang perlu dibentuknya suatu organisasi
yang diharapkan dapat menjadi instrumen bersama tuan guru/ulama dalam
memberantas korupsi. Sebagai langkah awal, pada Pelatihan Anti Korupsi untuk
Tokoh Informal, disepakati untuk
membentuk tim formatur bagi pembentukan forum pondok pesantren anti korupsi,
yang disepakati menggunakan nama Aliansi Pondok Pesantren untuk Gerakan Anti
Korupsi Nusa Tenggara Barat (APPGAK NTB).[23]
Selanjutnya pada Workshop Kajian Fiqh Korupsi yang dilaksanakan pada Bulan
November 2002, dibentuk susunan kepengurusan APPGAK NTB. TGH. Hasanain Juaini,
Lc, pengasuh Pondok Pesantren Haramain Narmada, Lombok Barat selanjutnya
dipercaya untuk memimpin organisasi ini.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Susunan Pengurus
Aliansi Pondok
Pesantren untuk Grakan Anti-Korupsi
APPGAK-Nusa
Tenggara Barat
Penasehat :
TGH. Sofwan Hakim,
TGH. Ja’far Sidiq, H.L. Husen, TG. Drs. H. Al Jazmi, TG. Drs. H. Hazmi Hamzar,
TG. Drs. H. Syafi’i Akmal, MA, TGH. Fihirudin
Ketua : TGH. Hasanain Juaini, Lc
Wakil Ketua : TGH.
Syamsul Hadi, Lc
Bq. Elly Mahmudah
Abdul hafidz
Sekretaris : Gatot
Sulistoni
Wakil Sekretaris :
Masnun, MHI
Bendahara : Suaeb
Qury, SHI
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ikhtiar-ikhtiar
yang telah dilakukan tuan guru/ulama di NTB untuk mendorong upaya pemberantasan
korupsi memang masih sedikit dan belum memberikan hasil yang cukup maksimal.
Namun tentu saja, apa yang telah dilakukan tersebut dapat menjadi batu loncatan
untuk menggalang langkah selanjutnya.
1. Ikhtiar Awal : Merumuskan Fiqh Korupsi
Agenda untuk merumuskan fiqh korupsi dilaksanakan dalam sebuah
halaqah bertajuk Workshop Kajian Fiqh Korupsi yang diselenggarakan oleh APPGAK
NTB bekerja sama dengan SOMASI NTB. Pada tanggal 2-3 November 2002, 50 orang
tuan guru/ulama di Pulau Lombok, yang berasal dari sejumlah pondok pesantren,
organisasi sosial keagamaan islam di Pulau Lombok, dan sejumlah ulama yang
selama ini banyak beraktivitas pada sejumlah lembaga formal, berkumpul untuk
bersama-sama membahas dan merumuskan fiqh korupsi.
Satu bulan sebelumnya menjelang agenda ini dilaksanakan, pihak
penyelenggara telah membagikan sejumlah bahan kajian yang terdiri dari beragam
kitab. Dengan modal kitab-kitab ini, diharapkan sedari awal pengkajian bagi
keperluan penyusunan fiqh korupsi ini telah dimulai dari komunitas ulama/tuan
guru sendiri.
Melanjutkan hasil pembahasan dalam “Pelatihan Tokoh Informal”
sebelumnya, Perumusan Fiqh mengenai korupsi dapat dimulai dengan mengkaji
konsep keuangan negara dalam pemahaman islam. Sehingga sebagai langkah awal,
perlu ada pemahaman secara seksama dan cukup merata mengenai konsepsi keuangan
negara dalam islam tersebut. Hal inilah yang dielaborasi oleh Masdar Masudi dan
Imam Ghazali Said. Sementara Muardi Chatib dari MUI Pusat banyak mengeksplorasi
fatwa MUI mengenai korupsi, kolusi dan
nepotisme dan bagaimana mekanisme/tata
cara penyusunan fiqh. Sehingga diharapkan proses penyusunan fiqh tersebut dapat
dilakukan sesuai metode yang benar dan sesuai standar.
Gatot Sulistoni dari SOMASI NTB
mengetengahkan konsep keuangan negara yang berlaku di Indonesia dan
gambaran mengenai politik penganggaran yang sekarang berlaku dan praktek
korupsi yang terjadi pada keuangan daerah. Sementara Sapto Waluyo dari GeRAK
Indonesia, mendapat tugas untuk menjelaskan konsep dan realitas pelayanan
publik di Indonesia, dengan harapan dapat memperluas wacana mengenai perlunya
tanggung jawab negara mengenai pelayanan publik yang lebih baik bagi warganya.
Dari workshop ini telah berhasil disusun sebuah fiqh korupsi, yang
diharapkan dapat menjadi panduan dalam upaya pemberantasan korupsi.[24]
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
RUMUSAN FIQH KORUPSI
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Definisi Korupsi
Suatu tindakan mengambil hak orang lain
secara terencana ataupun tidak, dibawah kekuasaannya, untuk memperkaya diri,
orang lain dan lembaga yang berakibat pada kerusakan dan kerugian bagi pihak
lain.
Definisi
Korupsi diambil dari unsur-unsur :
1.
Ibnu Humaid
- Kerusakan
yang mengakar
- Tindakan
memperkaya diri
2. Yunus/
- Terencana
- Permusuhan
(menimbulkan permusuhan)
- Memakan
sesuatu yang tidak dibenarkan secara syara’
- Mendapatkan
sesuatu diluar haknya dari jabatannya.
3. Ibn
Mas’ud
- Memenuhi
hajat orang lain dengan adanya imbalan
- Menyelesaikan
perkara setelah mendapat imbalan
- Pengambilan
hak orang lain dan diberikan kepada orang yang punya dan menentukan jabatan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jenis Korupsi dan Hukuman bagi Koruptor
1.
Al-Ghulul / Al-Khianat (Penyalahgunaan
Wewenang/Jabatan/Amanah)
Sanksinya adalah dengan sanksi
administrasi peneguran, penurunan jabatan, pemecatan, penjara. Pemecatan dan
penjara ditambah denda atas kerugian negara.
2.
As-Suhtu (Manipulasi perkara oleh aparat
hukum/menetapkan kebijakan karena imbalan-imbalan).
Sanksinya
adalah dengan pemecatan , penjara ditambah denda.
3.
Al-Risywah (Sogok-menyogok).
Sanksinya
dengan dipecat/pemecatan/penjara atau potong tangan.
4.
An-Nahbu/As-Sirqoh (Pencurian)
Sanksinya
dengan pemecatan, penjara, potong tangan, denda yang berat.
5.
Al-Ghasbu (mengambil, menggunakan hak orang lain
secara paksa)
Sanksinya dengan dibunuh,
salib/hukuman mati dan penyitaan aset yang dimiliki, dan makruh untuk disholat
jenazahi.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
2. Agenda Aksi : Mengkritisi Perubahan APBD Provinsi NTB T.A. 2002
Pada saat-saat akhir Workshop Kajian
Fiqh Korupsi para Tuan Guru/Ulama pun menyepakati sebuah agenda aksi untuk mengkritisi dan memberikan masukan
kepada pihak pemerintah dan DPRD mengenai proses penyusunan anggaran (APBD)
daerah. Harapannya, keterlibatan para tokoh agama ini akan memberikan
kontribusi positif bagi penyusunan kebijakan penganggaran daerah, sehingga akan
lebih berpihak kepada kebutuhan riil masyarakat.
Untuk
merealisasikan agenda ini, maka pada tanggal APPGAK NTB menggelar diskusi untuk
mengkritisi rancangan perubahan APBD NTB Tahun 2002. Acara diskusi dilaksanakan
di Pondok Pesantren Nurul Haramain, Narmada Lombok Barat, yang juga menjadi
Sekretariat APPGAK NTB. Proses konsolidasi selanjutnya menyepakati untuk
melakukan hearing bersama ke kantor DPRD Provinsi NTB untuk mengkritisi proses
penyusunan anggaran tersebut. Disepakati pula bahwa agenda hearing ini
diharapkan dapat diikuti oleh seluruh elemen masyarakat yang ada di Mataram.
Untuk keperluan
tersebut, aspek teknis pengkajian alokasi anggaran yang termuat di dalam naskah
perubahan APBD tersebut akan difasilitasi oleh SOMASI NTB, yang sejak tahun
1999 memang sudah concern dalam melakukan pengkajian terhadap APBD. Sementara menyangkut
konsolidasi untuk keperluan hearing, konsolidasi terhadap sejumlah tuan guru akan dilakukan
oleh APPGAK NTB, sementara. SOMASI NTB mendapatkan tugas untuk melakukan konsolidasi terhadap sejumlah
kelompok masyarakat sipil yang juga concern terhadap proses penganggaran di Mataram, misalnya dari kelompok Mahasiswa,
Non Government Organization (NGO)/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun
pihak-pihak lainnya yang juga dapat menjadi pendukung agenda ini, seperti kalangan pers dan akademisi.
Pada agenda hearing
APPGAK NTB yang dilangsungkan pada 20 November 2002, tercatat sejumlah elemen masyarakat di
Mataram ikut berpartisipasi, antara lain : FKMK-SOBAT, FORTAL, SOLUD, SOMASI
NTB, LBH APIK, FORUM KOTA SEHAT, YKPR, Perkumpulan Panca Karsa (PPK), Solidaritas
Perempuan (SP) Mataram, Yayasan Koslata, Komunitas Anak Jalanan, Himpunan
Nelayan (HAKAN), Aliansi Masyarakat Pesisir (AMAPI) NTB, PMII Mataram, BEM
Universitas Mataram, dll.[25]
Dalam acara hearing
tersebut, APPGAK NTB yang dipimpin oleh TGH Hasanain Juaini, TGH Muharrar, dan
H. Husen, mengkritisi sejumlah peluang kebocoran anggaran dan minimnya alokasi
anggaran untuk publik dalam naskah perubahan APBD. Hal yang paling disorot oleh
masyarakat dalam acara hearing tersebut adalah kenyataan besarnya alokasi dana
untuk pengeluaran gaji DPRD Provinsi NTB, yang melanggar PP 110 Tahun 2000
tentang Kedudukan Keuangan DPRD.
Menanggapi
masukan-masukan tersebut, pihak DPRD Provinsi NTB yang diwakili oleh Ketua
Panitia Anggaran DPRD Provinsi NTB, H. Mahdar dan sejumlah anggota Panggar
Dewan, menegaskan bahwa masukan tersebut akan digunakan dalam penyusunan
perubahan APBD yang sedang dalam proses pembahasan.
3.
Sikap APPGAK NTB terhadap Proses Pemilihan Gubernur NTB
Dari segi historis, keterlibatan ulama dalam momentum-momentum politik adalah hal yang umum ditemui. Diyakini, dukungan tuan guru/ulama bagi kelompok politik merupakan salah satu legitimasi yang diperlukan untuk meraih posisi-posisi strategis politik.
Menjelang Pemilihan Gubernur NTB periode 2004-2009 yang prosesnya dimulai sekitar Bulan April 2003, kecenderungan serupa pun mulai ditunjukkan oleh kelompok-kelompok politik yang akan bertarung dalam proses pemilihan gubernur. Sejumlah calon gubernur/wakil gubernur tercatat mulai menggebar langkah dengan membangun komunikasi dan melakukan silaturrahmi ke sejumlah pondok pesantren.
Berkaitan dengan momen politik ini, APPGAK NTB nampaknya dianggap sebagai salah satu komunitas tokoh-tokoh agama yang cukup strategis, bagi kelompok-kelompok politik yang bertarung. Pada saat itu, ada upaya-upaya beberapa kelompok politik agar kelompok Tuan Guru/Ulama yang tergabung dalam APPGAK-NTB dapat mengambil peran dalam proses pemilihan gubernur NTB.
Bagaimana APPGAK NTB menyikapi
hal ini? Pengurus APPGAK NTB memahami bahwa masih belum mungkin untuk melarang
sejumlah Tuan Guru/Ulama yang tergabung dalam APPGAK NTB untuk tidak melibatkan
diri dalam momen tersebut. Meski demikian, APPGAK NTB mengeluarkan himbauan
agar para tuan guru tidak terlibat dalam mendukung salah satu kelompok politik
dalam pemilihan Gubernur. Selanjutnya secara kelembagaan keluar keputusan bahwa
APPGAK NTB tidak akan terlibat dalam permainan politik praktis, khususnya dalam
proses pemilihan gubernur.
4. Dialog Anti Korupsi dan Sosialisasi APPGAK NTB di Pondok Pesantren
Untuk lebih
menyebarkan gagasan tentang pentingnya keterlibatan institusi sosial keagamaan
dalam upaya pemberantasan korupsi, sosialisasi mengenai gagasan ini terus
dilakukan. Proses sosialisasi secara insidentil disepakati dilakukan oleh tuan
guru/ulama dalam kegiatan pengajian maupun dakwah yang dilakukan.
Untuk lebih
memantapkan agenda sosialisasi, maka dilaksanakan dialog di tiap kabupaten yang
ada di Pulau Lombok, yang difasilitasi oleh sejumlah anggota APPGAK NTB yang
berada pada sejumlah kabupaten. Dari kegiatan ini, selain sebagai ajang untuk
melakukan sosialisasi terhadap keberadaan
APPGAK NTB di kalangan pondok pesantren dan organisasi keagamaan di
sejumlah kabupaten, diharapkan sekaligus dapat menghimpun masukan mengenai
agenda-agenda yang akan dibicarakan dalam Konferensi Besar (Konbes) APPGAK NTB.
Dialog dilaksanakan
sebanyak tiga kali pada Bulan Februari 2003 dengan harapan akan menjangkau
sejumlah ulama/tuan guru dan aktivis sosial keagamaan di empat kabupaten/kota,
yakni kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Barat
dan Kota Mataram. Di Kabupaten Lombok Timur, Dialog Anti-Korupsi dan
sosialisasi APPGAK NTB dilaksanakan di MAK NW Hamzanwadi, Pancor, Lombok Timur,
sementara di Kabupaten Lombok Barat/Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Tengah,
dialog masing-masing mengambil tempat di Pondok Pesantren Nurul Hakim, Kediri,
Lombok Barat, dan Pondok Pesantren Nurussabah, Batunyale, Praya, Lombok Tengah.
Dari proses dialog ini diperoleh
sejumlah masukan yang akan bermanfaat bagi upaya membangun gerakan sosial
anti-korupsi berbasis organisasi sosial keagamaan di Pulau Lombok.
Masukan-masukan tersebut, antara lain[26]
:
1.
Gerakan
Pemberantasan Korupsi berbasis Pondok Pesantren yang dipelopori oleh Tuan Guru/Ulama
diharapkan menjadi gerakan bersama seluruh ulama se-Nusa Tenggara Barat dengan
prinsip tetap berdasar pada kajian islam.
2. Perlu adanya
penguatan internal di tubuh organisasi APPGAK NTB.
3. Perlunya
pembentukan APPGAK di tingkat kabupaten, Kecamatan dan Desa.
4. Perlunya memikirkan
sumber dana gerakan APPGAK NTB
5. APPGAK NTB
perlu merancang agenda strategis
pemberantasan korupsi di NTB, khususnya di lingkungan pondok pesantren sendiri.
6. APPGAK NTB dapat
mengupayakan dibangunnya posko-posko anti-korupsi di sejumlah pondok pesantren.
7. Sosialisasi Gerakan
Anti-Korupsi yang dilakukan APPGAK NTB di lingkungan Pondok Pesantren harus
lebih ditingkatkan dan lebih terjadwal.
5. Merumuskan Kerangka Organisasi
Untuk memantapkan gerak langkah
dan agenda-agenda strategis APPGAK NTB dalam pemberantasan korupsi, pada
tanggal 27-28 Februari 2003, diselenggarakan Konferensi Besar APPGAK NTB yang
berlangsung di Mataram. Acara ini diikuti oleh
57 orang peserta meliputi sejumlah kalangan dari pondok pesantren,
organisasi sosial keagamaan islam di Pulau Lombok dan sejumlah ulama/tuan guru
yang telah berkomitmen untuk menggabungkan diri dalam gerakan pemberantasan
korupsi yang dimotori oleh APPGAK NTB.
Konferensi Besar APPGAK NTB ini
menghadirkan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, DR. Hidayat
Nurwahid, MA, yang dalam acara tersebut memberikan pengayaan perspektif
mengenai peran agama dalam konteks kehidupan bernegara guna membangun
masyarakat yang beradab dan berkeadilan.[27]
Konferensi Besar tersebut telah
menghasilkan sejumlah rumusan kerangka strategis organisasi APPGAK NTB, yang
diharapkan dapat menjadi panduan organisasi dalam mendorong pemberantasan
korupsi.
Rumusan-rumusan tersebut meliputi Mekanisme Organisasi APPGAK NTB; Program
Kerja; dan Strategi Organisasi.
A. Mekanisme Organisasi :
q Dewan penasihat : diperlukan untuk memberikan nasehat-nasehat atau
petunjuk-petunjuk bagi organisasi ke depan.
q Ketua umum : menjadi corong dan pengendali organisasi, yang dibantu
oleh Ketua satu; Ketua dua ; dan Ketua tiga.
q Sekretaris Umum, yang dibantu oleh Sekretaris satu ; Sekretaris dua;
dan Sekretaris tiga.
q Bendahara, dibantu oleh wakil bendahara.
q Departemen-Departemen : untuk membantu memperlancar kerja-kerja
organisasi ke depan.
1.
Departemen Pendidikan, Sosial dan Dakwah
Fungsi : melakukan kegiatan-kegiatan sosial, melakukan proses
pendidikan di masyarakat, ceramah-ceramah keagamaan yang terkait dengan
masalah-masalah korupsi. Pada konsep dakwahnya aliansi ini akan terus
menyuarakan amal a’ruf nahi munkar.
2. Departemen Informasi dan Komunikasi
Fungsi : memberikan masukan-masukan pada organisasi tentang
perkembangan isu-isu korupsi atau memberikan informasi-informasi tentang apa
yang terjadi di DPRD tentang isu-isu korupsi ini.
3. Departemen Penelitian dan Pengembangan
Fungsi : melakukan penelitian tentang hal-hal yang ada di legislative
baik itu masalah korupsi maupun pelanggaran lainnya yang dilakukan legislatif.
4. Departemen Advokasi dan Perlindungan Hukum
Fungsi : untuk melakukan proses-proses perlindungan hukum yang
diperlukan bagi organisasi dengan melakukan koordinasi atau kerja sama bersama
LBH-LBH untuk melindungi para aktivis APPGAK.
5. Departemen Organisasi dan Kaderisasi
Fungsi : melakukan proses kaderisasi untuk melanjutkan perjuangan
bagi organisasi PPGAK dan juga memberikan wawasan yang luas kepada kader
tentang organisasi dan masalah-masalah
korupsi.
6. Departemen Pemberdayaan Perempuan
Fungsi : untuk mengakses kepentingan-kepenting yang terkait dengan
masalah perempuan.
Istilah pengorganisasian dalam struktur organisasi menggunakan
istilah “Lokalisasi” menurut wilayah Kabupaten/Kota, misal APPGAK Lobar, APPGAK
Lotim dan untuk tingkat provinsi adalah APPGAK tingkat I. Kemudian kalau perlu
akan dibangun posko-posko yang berada di
tingkat bawah, baik di desa maupun tingkat kecamatan.
B. Program
Kerja
- Program Jangka Pendek.
a. Sosialisasi program di setiap mesjid dan tempat-tempat publik.
b. Pengadaan posko-posko di pondok pesantren dan kecamatan.
c. Pembuatan kartu identitas.
d. Pertemuan dengan lembaga-lembaga negara/daerah.
e. Penyebaran pamflet dan spanduk-spanduk kampanye anti korupsi.
- Program jangka menengah.
a. Tabligh Akbar.
b. Membangun jaringan yang sepaham dalam anti korupsi.
c. Membuat kurikulum tentang fiqh korupsi untuk pondok pesantren.
d. Dialog dengan masing-masing dinas, terkait dengan alokasi anggaran.
- Program Jangka Panjang.
a. Memantau rencana anggaran pembangunan yang akan direalisasikan.
b. Penerbitan buku, buletin dan majalah.
c. Meninjau kembali semua aturan-aturan yang berpeluang untuk
menimbulkan KKN.
d. Menyusun RAPBD tandingan.
e. Penggalian sumber dana yang halal dan tidak mengikat.
f.
Pelatihan pengawasan proyek pembangunan.
g. Pelatihan advokasi dan fiqh korupsi.
h. Pengorganisasian masyarakat.
i.
Pembuatan Sekretariat
B. Strategi Organisasi APPGAK NTB
NO
|
VARIABEL
|
SASARAN
|
METODE/TEKNIK
|
STAKE
HOLDER
|
1
|
Komponen keorganisasian
|
·
Penguatan struktur
kelembagan secara terpadu, proposional, didasarkan pada tingkatan-tingkatan.
·
Adanya system
networking yang kuat dan berkelanjutan.
·
Inventarisasi kelemahan
dan kekuacan secara eksternal dan internal.
·
Peka terhadap tuan guru
yang ikut dalam permainan politik praktis.
·
Posko APPGAK sesuai
dengan tingkat keorganisasian
·
Perubahan perilaku
|
§
Pemetaan potensi
SDM/infrastruktur kanggotaan
§
Membangun tim yang
solid (intern)
§
Orientasi tugas (job
description) pada komponen preventif, detektif dan advokasi kasus.
§
Diskusi-diskusi
§
Membuka ruang kerja
sama dengan pihak yang satu visi.
§
Konsolidasi APPGAK
§
Belajar memahami
situasi masyarakat
§
Pendekatan rasionalitas
dalam menguatkan tim
§
Hearing dengan
masyarakat dan institusi/lembaga lain.
§
Penyadaran
§
Pemahaman
§
Pelaksanaan
|
Masyarakat publik, Toga, Tomas, Mahasiswa,
NGO/LSM di payungi tuan guru melalui pondok pesantren.
|
2
|
Pendanaan
|
·
Program organisasi
berjalan secara berkesinambungan terarah dan terpadu
·
Lembaga dana/funding
yang memiliki visi sama
·
Menggali potensi zakat
·
Mengupayakan donator
tetap yang tidak mengikat
|
§
Menyusun program kerja
dalam anggaran tahunan AAPGAK
§
Membuka ruang jaringan
kerja sama
§
Kerja sama antar Ponpes
dan lembaga keuangan lain yang satu visi
|
Disesuaikan
|
3
|
Action Plan
|
Mewujudkan :
·
Tujuan APPGAK
·
AD/ART APPGAK
·
Program kerja APPGAK
·
Musker APPGAK
|
§
Do’a masal untuk
kutukan terhadap koruptor
§
Pelatihan analisa
anggaran dan net working
§
Penguatan forum
§
Pembagian divisi
keorganisasian sesuai dengan tingkatan korupsi yang ada
§
Kampanye anti korupsi
agar solid di dalam dan di luar
§
Membangun kekompakan
antar Ponpes melalui konsolidasi APPGAK
|
Disesuaikan
|
***
[1]
Syafi’I Ma’arif, Radikalisasi Interpretasi Agama melawan Korupsi, dalam Anti
Korupsi! Edisi #1//Novaember//2003.
[2]
Azyumardi Azra, dalam Kompas 5 September 2003.
[3]
Op.cit. Prof. Dr. Musa Asyarie, Peran Strategis Agama dalam Memberantas
Korupsi.
[4]Hal
itu dapat dilihat dari kajian risywah
yang dimasukkan ke dalam
subkajian peradilan (kitab atau bab al-qadla'), tidak dikaji tersendiri dalam
bab khusus 'al-risywah'.
[5]
Azyumardi Azra, Agama dan Pemberantasan Korupsi, dalam KOMPAS 5 September 2003.
[6]Muslim,
Op. Cit., h. 125.
[7]
Ibid. Azyumardi Azra.. Lihat pula Didin Hafidhudin, Gerakan Menumpas Korupsi,
Republika, 7 Desember 2003.
[8]
dalam Didin Hafidhudin, Gerakan menumpas Korupsi, Republika, 7 Desember 2003.
[9]
Ibid. Didin Hafidhudin
[10]
Ibid. Didin Hafidhudin
[11]
Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 1999, BPS Provinsi NTB dan Bappeda Provinsi
NTB.
[12]
Asumsi itu sangat beralasan karena sebagaimana hadist nabi Muhammad SAW bahwa
ulama ada lah pewaris nabi. {Al ‘ulama-u warosatul anbiya}.
[13]
Pada Tahun 1843, Belanda hanya mampir untuk membuat kesepakatan dengan Kerajaan
Mataram (sebagai bentuk kekuasaan
Kerajaan Karang Asem, Bali, di Lombok) yang saat itu berkuasa, untuk menegaskan
bahwa Lombok berada di bawah kekuasan Belanda dan dititipkan kepada Kerajaan
Mataram. Jadi sebenarnya, Pada kurun waktu sejak 1843 tersebut Lombok masih
dibawah penguasaan Kerajaan Mataram. Baru pada tahun 1894, Belanda benar-benar
menduduki Lombok. Untuk uraian yang lebih detail mengenai hal ini dapat dilihat
pada Fath. Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram, Yayasan Sumurmas Al-Hamidy,
Cetakan Pertama, Desember 1998.
[14]
Darmansyah, 1997.
[15]
Ibid. Darmansyah, 1997.
[16]
Cerita TGH Samsul Hadi dalam Pelatihan Anti-Korupsi untuk Tokoh Informal.,
Mataram, 20-23 Oktober 2001.
[17] Komentar
H. Husen dalam Pelatihan Anti-Korupsi untuk Tokoh Informal,SOMASI NTB, 20-23 Oktober 2001.
[18] Ini
adalah pandangan umum yang diidentifikasi dalam dua kali halaqah yang diselenggarakan
oleh SOMASI NTB. Umumnya, korupsi dianggap disebabkan oleh faktor-faktor
internal seseorang seperti kualitas iman yang rendah dan moral yang buruk,
selain adanya tekanan ekonomi (kefakiran akan menjerumuskan kepada kekafiran).
Namun tercatat pula beberapa orang peserta menganggap bahwa korupsi dapat
disebabkan oleh tidak adanya kontrol yang baik di organisasi pemerintah.
[19]
Nara sumber/fasilitator yang ikut memberikan pengayaan perspektif dalam
Pelatihan Anti-Korupsi untuk Tokoh Informal, adalah : KH. Masdar Mas’udi (P3M
Jakarta/PB NU), Umaruddin Masdar (Klik Yogyakarta), Adhar Hakim (SOMASI NTB),
dan Drs. Ahmad Taqiuddin Mansyur (Anggota DPRD NTB). Sementara Pada Workshop
kajian Fiqh Korupsi, sejumlah nara sumber/fasilitator antara lain : KH Masdar
Mas’udi (P3M Jakarta/PB NU), Prof. Muardi Chatib, MA (MUI Pusat/UIN Jakarta),
KH Imam Ghazali Said (Universitas Islam Malang), Sapto Waluyo (GeRAK Indonesia)
dan Gatot Sulistoni (SOMASI NTB).
[20]
Komentar TGH. Mahyudin, Lc dalam Pelatihan Anti Korupsi untuk Tokoh Informal,
SOMASI NTB, Oktober 2001.
[21]
Ibid. SOMASI NTB, 2001
[22]
Ibid. SOMASI NTB, 2001.
[23] Sebagai
Ketua Tim Formatur, dipercayakan TGH. Hasanain Juaini, pengasuh Pondok
Pesantren Nurul Haramain Narmada, Kabupaten Lombok Barat. Untuk melaksanakan tugas
ini, juga ditunjuk beberapa orang yang dipandang mampu untuk mendorong proses
pelembagaan yang lebih massif.
[24]
Prosiding Workshop Kajian Fiqh Korupsi : Respon Fiqh terhadap korupsi di
Indonesia, kerjasama APPGAK NTB dan SOMASI NTB, didukung oleh The Asia
Foundation, Mataram,NTB, 2-3 November
2002.
[25]
Progress Report Program Penguatan Gerakan Masyarakat Sipil Anti-Korupsi di
Provinsi Nusa Tenggara Barat, Periode 1 Agustus 2002-31 Januari 2003, SOMASI
NTB didukung oleh The Asia Foundation, 2003.
[26]
Ibid. SOMASI NTB, 2003.
[27]
APPGAK NTB pun sebenarnya telah
mengundang DR. Said Agil Siradz (pemikir Islam) dan DR. AS Hikam (Peneliti
LIPI) untuk dapat memberikan pengayaan dan perspektif dalam acara tersebut.
Setelah beberapa kali negosiasi, hingga mendekati pelaksanaan acara kedua tokoh
ini akhirnya memutuskan tidak berkesempatan hadir.
Sumber/Rujukan :
1. Asyarie,
Musa, Peran Strategis Agama dalam Memberantas Korupsi dalam Anti Korupsi! Edisi
#1//November//2003.
2. Badan Pusat
Statistik Provinsi NTB dan Bappeda Provinsi NTB, Nusa Tenggara Barat dalam
Angka 1999.
3. Darmansyah,
Golongan Karya dan Pemilihan Umum (Suatu Studi tentang Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Perolehan Suara Golkar pada Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
1997 di Propinsi Nusa Tenggara Barat), Tesis Program Pasca Sarjana, Universitas
Gajah Mada, 1997.
4. Hafidhudin, Didin,
Gerakan Menumpas Korupsi dalam Republika
7 Desember 2003.
5. Syafi’i Ma’arif,
Radikalisasi Interpretasi Agama melawan Korupsi, dalam Anti Korupsi! Edisi
#1//November//2003.
6. Prosiding Pelatihan
Anti-Korupsi untuk Tokoh Informal, diselenggarakan oleh SOMASI NTB didukung
oleh The Asia Foundation, Mataram, NTB, 20-23 Oktober 2001.
7. Prosiding Workshop
Kajian Fiqh Korupsi, diselenggarakan oleh APPGAK NTB bekerjasama dengan SOMASI
NTB, didukung oleh The Asia Foundation, Mataram, NTB, 2-3 November 2002.
8. Prosiding
Konferensi Besar APPGAK NTB, diselenggarakan oleh APPGAK NTB didukung oleh The
Asia Foundation, Mataram, NTB, 26-27 Februari 2003.
9. Progress Report
Program Penguatan Gerakan Masyarakat Sipil Anti-Korupsi di Provinsi Nusa
Tenggara Barat, Periode 1 Agustus 2002 – 31 Januari 2003, SOMASI NTB didukung
oleh The Asia Foundation, 31 Januari 2003.
Penulis: Ervyn Kaffah, Desember 2003.
Catatan :
Naskah ini
telah dimuat dalam Buku : Ervyn Kaffah dan Moh. Asyiq Amrulloh (eds.), FIQH KORUPSI: Amanah vs Kekuasaan,
SOMASI NTB, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar