Translate

Jumat, 19 Juni 2015

Membidik Peran Strategis Ulama dalam Pemberantasan Korupsi




“…. Maka kami menyatakan : pertama, bertekad bulat untuk secara langsung dan tidak langsung turut serta dalam gerakan pemberantasan korupsi;  kedua, akan dengan sangat sungguh-sungguh menggalang segala potensi yang memungkinkan ditegakkannya keadilan sejati demi keselamatan rakyat; ketiga, secara terus-menerus melakukan sosialisasi gerakan anti-korupsi di setiap waktu dan kesempatan; keempat, berupaya mendidik dan membina kader-kader muda yang konsisten melawan korupsi; kelima, akan memberikan bantuan moril dan materil pada semua gerakan anti-korupsi.”(dikutip dari naskah ikrar Aliansi Pondok Pesantren untuk Gerakan Anti Korupsi, APPGAK NTB, yang  dibacakan oleh TGH. Mahyuddin Azhar Lc, di Mataram pada tanggal  23 Oktober 2001).

 


Korupsi di Indonesia telah memasuki tahap sistemik. Selain telah merasuki sejumlah infrastruktur kenegaraan, korupsi pun telah menjangkiti institusi-institusi sosial masyarakat dan menjangkiti sendi-sendi kehidupan masyarakat. Lebih berat lagi, persoalan korupsi adalah persolan persepsi dan kesadaran masyarakat mengenai korupsi.[1] Menghadapi problem seperti ini, selain melakukan perbaikan di lapangan ekonomi, politik dan hukum, upaya pemberantasan korupsi haruslah meliputi upaya lainnya dalam merubah persepsi masyarakat mengenai korupsi.
Salah satu sebab mengapa masyarakat permisif terhadap korupsi adalah karena masih bertahannya sejumlah nilai-nilai yang tidak kondusif bagi upaya pemberantasan korupsi. Problem ini tentu lebih berkutat pada nilai-nilai yang membentuk perspektif masyarakat dalam memandang masalah-masalah dalam kehidupan dan terletak pada level struktur sosial-kebudayaan. Disini dapat dikatakan bahwa faktor-faktor budaya konsumerisme bisa jadi menjadi sebab mengapa korupsi dianggap sebagai sesuatu yang sah. Sebab lainnya adalah karena tekanan pada struktur sosial-politik, yang mengakibatkan orang terdorong untuk melakukan korupsi. Tekanan ekonomi, insistusi birokrasi  yang berubah menjadi institusi pemeras, pers yang dibungkam, penegakan hukum yang buruk, terjadinya pergeseran kekuasaan dan buruknya transparansi dan akuntabilitas  adalah beberapa diantara sebab-sebab struktural  yang mengakibatkan korupsi terus-menerus terjadi dan semakin akut.
Untuk mengupayakan pemberantasan korupsi,  maka keterlibatan semua pihak adalah salah satu prasyarat yang harus dimajukan. Pemberantasan korupsi tidak akan berhasil tanpa dukungan masyarakat. Salah satu komponen masyarakat yang memiliki peran strategis di dalam membangun gerakan sosial anti-korupsi adalah tokoh-tokoh agama yang dalam kehidupan masyarakat memegang peran yang cukup sentral. Keterlibatan para tokoh agama dalam upaya pemberantasan korupsi akan memberikan motivasi dan dorongan yang kuat bagi masyarakat untuk ikut serta dalam upaya pemberantasan korupsi.

Meski demikian, upaya melibatkan tokoh agama dalam upaya pemberantasan korupsi bukanlah tidak mengandung sejumlah persoalan tersendiri, yang sebenarnya meliputi berbagai faktor mulai dari aspek pemahaman (interpretasi) terhadap ajaran agama, aspek penerapan ajaran-ajaran tersebut  dalam kehidupan masyarakat maupun kondisi obyektif para tokoh agama tersebut terhadap lingkungan sosialnya.

I. ISLAM DAN PEMBERANTASAN KORUPSI

Dalam menggalakkan upaya pemberantasan korupsi di tanah air, islam sebagai ad-dien dapat berperan dalam berbagai macam bentuk, pertama, nilai-nilai moralitas yang diajarkan islam  diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap semakin menyebarnya korupsi. Untuk ini perlu dilakukan  radikalisasi interpretasi terhadap nilai-nilai moralitas yang diajarkan Islam. Dari sini diharapkan  agar persoalan korupsi mendapat pembicaraan yang memadai dalam kajian-kajian atau interpretasi nilai-nilai moralitas islam.
Sedari awal harus disadari pula bahwa terlalu mengharapkan nilai-nilai moralitas yang menjadi ajaran agama akan dapat menjadi modal untuk menghapus praktek  korupsi mungkin merupakan harapan berlebihan. Dalam realitasnya praktek keberagamaan sering lebih dipengaruhi oleh berbagai macam faktor dan realitas yang hidup dalam masyarakat. Misalnya aspek kebudayaan yang hidup di dalam masyarakat. Memiliki stempel sebagai pemeluk salah satu agama memang bukanlah menjadi ukuran bagi adanya pemahaman yang  memadai tentang nilai-nilai yang diajarkan agama. Masalah lainnya, meski pemahaman mengenai nilai-nilai agama telah cukup bagus, hal ini belum menjamin praktek keberagamaan tokoh dan para penganut agama akan serta merta sesuai dengan nilai-nilai moralitas yang diajarkan agama.
Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, praktek keberagamaan masyarakat Indonesia lebih berorientasi pada formalisme dan simbolisme keagamaan daripada substansi. Kalau pun ada penekanan pada substansi, ini lebih cenderung inward oriented, pada kesalehan personal-individual. Meski di satu sisi selama dua dasawarsa terakhir terlihat terjadi peningkatan semangat keagamaan dan kesalehan personal individual, yang juga sekaligus outward oriented menjadi kesalehan sosial yang terejawantah dalam kehidupan sosial secara luas,  namun masih terjadi disparitas yang tajam antara kedua jenis kesalehan ini. Kesalehan sosial kerap kali hanya diwujudkan dalam praktek-praktek pengeluaran zakat, infak, sedekah, dll. Bahkan lebih parah lagi terjadi pemisahan antara sikap keberagamaan di masjid atau rumah-rumah ibadah dan tingkah laku di kantor, di jalan raya dan sebagainya.[2] Tentu saja tak ada yang salah dengan agama. Agama jelas berbeda dengan keberagamaan.
Problem yang terkait dengan masalah ini sebenarnya adalah bagaimana agar nilai-nilai moralitas agama tersebut tidak hanya menjadi “ajaran yang berdiam langit” namun juga harus didukung oleh adanya  dialektika dinamis dengan faktor-faktor lainnya yang membentuk etika sosial yang berlaku di masyarakat.
 Sehingga setelah proses radikalisasi interpretasi ini dapat dilakukan, hasilnya akan bermanfaat untuk melakukan langkah kedua, yakni  agar nilai-nilai moralitas islam tersebut dapat berfungsi sebagai modal untuk membangun etika sosial baru yang memberdayakan rakyat kecil dan memandang korupsi sebagai kejahatan yang harus di lawan bersama.[3] Etika sosial baru ini dapat mendorong masyarakat untuk senantiasa menjauhkan diri dari praktek korupsi, melahirkan semangat untuk mendorong upaya pemberantasan korupsi, dengan mencegah, mengawasi, melaporkan dan jika mungkin mengintrodusir dan memperbaiki sejumlah mekanisme sanksi sosial yang hidup di masyarakat yang diberlakukan kepada setiap orang atau kelompok yang melakukan korupsi. Dalam konteks tersebut, nilai-nilai moralitas ini pun diharapkan dapat diturunkan dalam kerangka aturan-aturan hukum (fiqh) Islam mengenai korupsi, dengan definisi dan pengertian yang jelas mengenai korupsi dalam perspektif Islam sekaligus aturan mengenai sanksi-sanksi yang diberikan kepada koruptor. 
Selanjutnya, untuk memperoleh pengejawantahan yang memadai, peran ketiga yang dapat dilakukan adalah agar nilai-nilai moralitas islam dapat  diajukan sebagai salah satu sumber bagi penyusunan aturan-aturan hukum maupun suplemen kebijakan yang berpengaruh bagi kemaslahatan umat, dengan orientasi pemberdayaan masyarakat kecil dan penekanan terhadap praktek korupsi. Dengan mengambil nilai-nilai substantifnya, nilai-nilai moralitas yang diajarkan Islam dapat memberikan landasan yang baik dalam penyusunan kebijakan agar senantiasa berpihak dan berorientasi kepada kemaslahatan masyarakat kecil.

Pandangan Islam tentang Korupsi
Upaya radikalisasi interpretasi ajaran islam mengenai korupsi telah banyak coba dilakukan. Hasilnya, islam diyakini mengutuk tindakan korupsi dalam bentuk apapun.
                Korupsi dalam khazanah islam lebih dikenal dengan berbagai macam sebutan, antara lain Risywah, Ghulul, dan Ghasysy. Kajian tentang risywah pada umumnya hanya difokuskan pada kasus orang-orang yang berperkara dan yang terlibat di dalamnya adalah qadli (hakim) dan para pihak yang berperkara.[4] Kajian risywah yang hanya memfokuskan pada peradilan adalah suatu hal yang wajar dan bukannya tanpa dasar sebab di satu sisi, al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 188 dan hadis Nabi mengindikasikan suap (risywah) ke arah orang-orang yang berperkara dalam peradilan.
Salah satu hadist menyebut bahwa penyuap dan pemberi suap akan mendapat kutukan Allah Swt (hadist Bukhari Muslim). Meski dalam hadist tersebut hanya dinyatakan mengenai “kutukan Allah terhadap pemberi dan penerima suap, tetapi dalam kamus bahasa Arab modern, risywah tidak hanya berarti “penyuapan” (bribery), tetapi juga korupsi dan ketidakjujuran (dishonesty). Lebih dari itu, para ulama kontemporer menyepakati bahwa Risywah tidak hanya berarti korupsi “konvesional”, tetapi juga mencakup bentuk korupsi lainnya, yang bukannya tidak sering merupakan pencurian, bahkan perampokan.[5]
                Term al-ghulul banyak dipakai dalam pengertian mengambil harta rampasan (ghanimah) secara diam-diam sebelum diadakan pembagian. Meskipun demikian, Rasulullah dalam sejumlah hadist juga menggunakan term al-ghulul untuk tindakan kriminal yang objeknya selain harta rampasan perang. Yang termasuk kategori ghulul juga adalah seseorang yang mendapatkan tugas (menduduki jabatan) mengambil sesuatu di luar hak (upah, gaji) yang sudah ditentukan dan seseorang yang sedang melaksanakan tugas (memangku suatu jabatan) menerima hadiah yang terkait dengan tugas (jabatannya).
                Rasulullah selalu mengingatkan orang-orang yang diberi jabatan (tugas) untuk memperhatikan apa yang menjadi kewajibannya dan apa yang seharusnya diterima sebagai imbalan atas tugasnya dan menjadi haknya. Pejabat (pegawai) yang telah mengambil harta di luar ketentuan dikategorikan sebagai orang yang melakukan ghulul. Rasulullah memberikan ancaman keras  terhadap orang yang diberi amanat (kekuasaan) untuk mengurusi kepentingan publik, tetapi dia melakukan pengkhianatan (al-ghulul). Perbuatan tersebut akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. [ Dari al-Hasan, dia berkata bahwa Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma'qil bin Yasar yang sedang sakit (yang mengakibatkan kematiannya). Ma'qil bin Yasar berkata, "aku menyampaikan kepadamu hadis Rasulullah yang aku dengar sendiri darinya. Dia bersabda bahwa seorang hamba yang dimintai Allah untuk mengurus kepentingan umat, lalu dia meninggal dunia sedangkan dia adalah orang yang melakukan pengkhianatan (al-ghasysy) terhadap umat, maka Allah mengharamkan surga kepadanya].[6]   
Meskipun dalam hadist itu, Rasulullah menggunakan term al-ghasysy bukan term al-ghulul, dua term itu mempunyai arti yang sama, yakni pengkhianatan (penyalahgunaan wewenang). Dengan demikian, term al-ghasysy sama dengan term al-ghulul. Hanya saja, term yang biasa digunakan untuk makna pengkhianatan (penyalahgunaan wewenang) adalah al-ghulul.              

Korupsi sebagai al-fasad (Kerusakan di Bumi)

Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk dalam perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang amat dikutuk Allah Swt.[7]
Muhammad Ali Al-Shabuni, dalam Rawa’i’ Al-Bayan (Jilid I h. 546) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-fasad, yaitu segala perbuatan yang menyebabkan hancurnya kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat terror yang menyebabkan orang takut, membunuh, melukai, dan mengambil atau merampas harta orang lain. Oleh karena itu, berdasarkan pendapat tersebut, korupsi sama buruk dan jahatnya dengan terorisme.[8]
Pelaku korupsi dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar) yang pelakunya harus dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki  kiri atau tangan kiri dengna tangan kanan) atau diusir. [Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka (dengan menyilang) atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. QS. 5 : 33].[9]
Demikian pula jika seorang koruptor meninggal dunia, seyogyanya jenazahnya tidak perlu dishalatkan oleh kaum Muslim sebelum harta hasil korupsinya itu dijamin akan dikembalikan oleh ahli warisnya kepada negara. Hal ini dianalogikan dengan orang yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki utang, yang tidak boleh dishalatkan sebelum ada keluarga yang bersedia menjaminnya.  Jika tidak, kelak di alam kuburnya akan terombang-ambing. Dalam Sebuah Riwayat Imam Tarmidzi dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Nyawa seorang Mukmin (di alam kuburnya) diombang-ambingkan sehingga utangnya dibayarkan oleh ahli warisnya”. Meskipun demikian terdapat pula pendapat beberapa ulama yang mengharuskan menshalatkan setiap Muslim meskipun melakukan berbagai macam dosa dan kesalahan. Namun Rasulullah sendiri pernah melarang menshalatkan orang yang memiliki utang, sehingga utangnya itu dibayarkan (Fiqh Sunnah, Juz IV, h. 104-105).[10]

Peran Ulama dalam Pemberantasan Korupsi

Ketika membicarakan agama, praktis ada dua hal yang berbeda yang sedang dibicarakan, aspek pertama adalah mengenai nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam ajaran-ajaran yang disampaikan agama. Sedangkan aspek kedua, mengenai institusi sosial keagamaan sebagai penyokong berjalannya kehidupan beragama.
Untuk membangun peran islam guna menjawab problem korupsi yang makin akut di Indonesia,  peranan institusi sosial keagamaan  menjadi sangat penting sebagai pendorong. Dari segi ini, institusi sosial keagamaan mestinya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu agen dalam pemberantasan korupsi, bergandengan tangan dengan gerakan anti-korupsi dari kalangan masyarakat lainnya.
Namun seringkali ketika membahas tentang institusi sosial keagamaan, diskursus yang diperdebatkan bisa bergeser dari kejernihan. Debat seringkali berputar pada pertanyaan, cukup strategiskah institusi sosial keagamaan menjadi salah satu pilar untuk mendorong pemberantasan korupsi. Pertanyaan ini muncul, kurang lebih karena sedari awal  institusi sosial keagamaan pun dianggap tidak luput terjangkiti virus korupsi.
Kejernihan tentu harus dikedepankan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertanyaan sebaliknya  tentu dapat dilontarkan untuk menjawab pertanyaan tipikal semacam ini, misalnya, apakah  ada perbedaannya antara institusi sosial keagamaan dengan institusi-institusi lainnya yang sekarang terjangkiti korupsi. Bagaimana pun institusi sosial keagamaan pun memiliki posisi yang sama dengan institusi sosial lainnya. Bukankah  keraguan terhadap peran institusi sosial keagamaan sebenarnya sama posisinya dengan keraguan terhadap sejumlah institusi sosial lainnya yang ada dalam masyarakat. Dalam kondisi korupsi yang sudah sistemik seperti di Indonesia, tidak akan berguna untuk mengklaim diri sebagai pihak yang paling bersih berkaitan dengan praktek korupsi. Yang harus dikedepankan adalah peran strategis yang bisa dimainkan oleh masing-masing pihak, termasuk instirusi sosial keagamaan, dalam pemberantasan korupsi.
Dari sisi ini peran institusi sosial keagamaan dus peran ulama dalam pemberantasan korupsi haruslah dipertimbangkan berdasarkan kapasitas dan posisi strategisnya di dalam kehidupan masyarakat. Dalam upaya memberantas korupsi, peranan ulama  yang berhubungan secara langsung dalam melayani kebutuhan spiritual dari masyarakat luas menjadi amat fundamental. Apalagi, pada kenyataannya  dalam struktur sosial-politik Indonesia ulama mempunyai legitimasi dan pengaruh yang luas, yang jauh melampaui sekedar fungsi-fungsi spiritual. Sehingga pada sisi ini, gerakan sosial anti-korupsi yang terpusat di kalangan tokoh agama harus dimaknai sebagai sebuah gerakan moral, yang diharapkan memiliki implikasi politik.
Perhatian kalangan ulama terhadap upaya pemberantasan korupsi nampaknya mulai menunjukkan trend yang semakin memuncak. Ulama-ulama Nadlatul Ulama pada Lajnah Bahsul Masail Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Alim Ulama NU yang diselenggarakan di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, pada Tanggal 25-28 Juli 2002,  telah mengeluarkan fatwa bahwa jenazah para koruptor dilarang dishalati.
Beberapa  bulan berselang, upaya untuk mendorong peran menggalang gerakan anti-korupsi di kalangan organisasi keagamaan telah dilaksanakan oleh dua organisasi sosial keagamaan di Indonesia, yakni Nadhlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pada tanggal 15 Oktober 2003, dua organisasi besar islam Indonesia ini telah mendeklarasikan gerakan sosial pemberantasan korupsi.
Apa yang telah dilakukan oleh kedua organisasi besar berbasis komunitas islam ini tentu dapat menjadi salah satu momentum bagi upaya membangun gerakan sosial anti-korupsi di Indonesia. Namun dengan catatan bahwa upaya ini tidak sekedar berhenti pada gerakan moral an sich melainkan diharapkan dapat dituangkan dalam langkah-langkah praksis di kalangan masyarakat.
Inisiasi lainnya juga perlu diketengahkan. Dari wilayah yang jauh di bagian timur Indonesia, tepatnya di Pulau Lombok, yang termasuk sebagai bagian dari wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat, inisiasi untuk menggalang tokoh-tokoh agama dalam pemberantasan korupsi pun rupanya telah dilakukan.  Teristimewa, inisiasi semacam ini telah dimulai sejak akhir  tahun 2001 silam.

 

II. GERAK ULAMA DI PULAU LOMBOK MEMBERANTAS KORUPSI

Provinsi Nusa Tenggara Barat  yang terdiri dari dua pulau besar, yakni Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa,   meliputi 2 kota dan 6 kabupaten, masing-masing adalah Kota Mataram dan  Kota Bima, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima. Ada tiga suku yang sejak awal mendiami wilayah ini, yakni dou mbojo dan tau samawa di Pulau Sumbawa dan dengan sasak di Pulau Lombok.
Pulau Lombok yang memiliki luas sepertiga dari luas wilayah NTB sebesar 20.153,15 Km2, didiami oleh dua pertiga dari total jumlah penduduk NTB sebanyak 3,875 juta jiwa. Sementara sisanya tersebar di satu kota dan empat kabupaten di Pulau Sumbawa.
Agama dominan yang dianut penduduk di NTB adalah agama Islam yang dianut oleh 3.650.762 jiwa atau 94, 21 % dari total jumlah penduduk.[11] Sementara agama kedua adalah agama Kristen yang pemeluknya juga tersebar di seluruh wilayah NTB. Di Kota Mataram, yang terletak di Pulau Lombok, terdapat sejumlah besar warga keturunan Bali yang kedatangannya telah dimulai dari proses ekspansi Kerajaan Karang Asem di Lombok di masa lalu dan karena itu, di kota ini jumlah pemeluk agama Hindu cukup besar.
Di provinsi ini dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat kental diwarnai oleh nuansa agama (Islam). Hal ini memberi pengaruh pada tingginya kepedulian/penghargaan yang diberikan terhadap pengamalan nilai-nilai moral yang mencerminkan akhlakul karimah dalam masyarakat. Fenomena itu berdampak pada besarnya penghormatan masyarakat terhadap individu-individu yang mengamalkannya, apalagi bila sekaligus juga alim. Individu-individu seperti ini akan memperoleh predikat kehormatan dari masyarakat berupa gelar Tuan Guru (di Pulau Lombok), Kiai atau Ulama (di Pulau Sumbawa) yang menempatkannya sebagai elit agama di masyarakatnya.

Pengaruh Tuan Guru di Pulau Lombok

                Bagi umat islam di Pulau Lombok, Tuan Guru adalah individu yang dikaruniai peran sebagai pengganti kehadiran seorang nabi yang dikasihi Tuhan di tengah-tengah masyarakat. Keyakinan semacam ini menimbulkan adanya keterikatan moral masyarakat terhadap Tuan Guru, sekaligus memungkinkan Tuan Guru menanamkan pengaruhnya dalam masyarakat. Penyebaran pengaruh itu akan semakin luas sesuai keandalan Tuan Guru itu sendiri; semakin alim dan mulia akhlaknya, akan semakin luas pula pengaruhnya.[12]
                Namun diluar keyakinan semacam itu, secara historis, posisi Tuan Guru di Pulau Lombok memang terbentuk dari kuatnya peran Tuan Guru di masa lalu dalam perkembangan kehidupan masyarakat. Legitimasi historis ini diperoleh melalui dominannya peran tuan guru dalam memimpin pemberontakan (baca: perlawanan rakyat) pada masa  penguasaan Kerajaan Mataram, dan selanjutnya sejak Lombok dikuasai Belanda pada tahun 1894.[13]

·         Pengaruh pada Kehidupan Sosial Masyarakat

Dengan menyandang predikat Tuan Guru, seseorang memiliki pengaruh yang besar pada dimensi psikomotorik masyarakat di Pulau Lombok, yang mampu memotivasi mereka untuk mengambil sikap tertentu terhadap sebuah  persoalan atau pilihan.
                Hal inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh kalangan umara (pemerintah) di Nusa Tenggara Barat dalam mensukseskan program-programnya. Program yang banyak melibatkan peran para Tuan Guru umumnya adalah pada sektor kesehatan. Sebagai contoh, pada saat dilaksanakannya Program KB Nasional pada era tahun 80-an, NTB tercatat sebagai salah satu daerah yang paling berhasil dalam menggalakkan program pemerintah ini. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh tuan guru yang memang menjadi salah satu pihak yang ikut terlibat dalam mendukung program ini, dengan melakukan sosialisasi terus-menerus dalam aktivitas pengajian (dakwahnya).     Dewasa ini, selain menjadi salah satu  tangan pemerintah dalam mensukseskan program-program pembangunan, ketokohan Tuan Guru juga mulai dimanfaatkan oleh sejumlah kelompok organisasi masyarakat (LSM) untuk menyampaikan pesan-pesan pemberdayaan masyarakat. Melalui Tuan Guru sebagai ‘spoke person’. Dengan keterlibatan Tuan Guru, pesan-pesan pemberdayaan masyarakat akan lebih mudah tersampaikan dan diaplikasikan ke dalam kehidupan masyarakat.

·         Pengaruh terhadap Pilihan  Politik Masyarakat

Teristimewa pada sisi politik, pilihan politik seorang Tuan Guru akan sangat mempengaruhi pilihan politik masyarakatnya. Umumnya, pilihan politik tuan guru akan menjadi pilihan politik masyarakatnya. Itulah sebabnya, selama era kekuasaan orde baru, partai berkuasa saat itu yakni Golkar (bersama birokrasi dan militer) mencoba merangkul elit-elit agama ini sebagai instrumen penggalangan massa pemilih di Pulau Lombok.
Menurut Darmansyah, salah satu faktor penentu kemenangan Golkar di NTB  selama pelaksanaan Pemilu Orde baru sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997 adalah karena keberhasilannya merangkul elit agama yang ada di Pulau Lombok. Berbeda dengan di Pulau Sumbawa yang perolehan suaranya cenderung stabil karena kemampuannya memobilisir dukungan melalui birokrasi, selama masa pemilu tersebut perolehan suara Golkar di Pulau Lombok naik-turun sesuai kondisi hubungan pemerintah (politisi) dengan kalangan tuan guru/ulama.[14]
Proses penggalangan dukungan politik oleh Golkar melalui tuan guru/ulama umumnya ditempuh melalui pendekatan insentif material untuk kepentingan pengembangan kegiatan dakwah dan pendidikan para tuan guru, maupun adanya kontra-prestasi berupa posisi-posisi strategis di berbagai macam instansi pemerintah maupun legislatif daerah maupun nasional.[15]

Diskusi (halaqah) Ulama tentang Korupsi
Mempertanyakan apakah korupsi merupakan praktek  yang asing bagi  kalangan Tuan Guru/Ulama di Pulau Lombok adalah pekerjaan sia-sia. Tuan guru/Ulama di Pulau Seribu Masjid  ini sebenarnya bukanlah bagian masyarakat yang berjarak terhadap  wacana korupsi. Selama ini,  justru mereka menjadi korban dan merasakan betapa korupsi telah menggerogoti praktek pemerintahan, lebih-lebih lagi di sejumlah bidang kerja yang langsung bersentuhan dengan kehidupan umat.
TGH Samsul Hadi, misalnya. Pengasuh Pondok Pesantren Batunyala, Praya,, Lombok Tengah ini menceritakan pengalamannya berkaitan dengan bantuan pondok pesantren. Setiap tahun, pesantrennya menerima dana bantuan dari pemerintah sebesar Rp 10 juta, yang diturunkan dalam bentuk barang untuk kebutuhan sekolah dan madrasah. Tapi menurut Samsul, selama tiga tahun saat pesantrennya menerima bantuan tersebut, realisasi dana tersebut hanya sebesar Rp 3 juta, pasalnya, dari total dana tersebut Rp 4 juta tidak sampai ke tangan pesantren karena telah disisihkan untuk dana administrasi, sementara sisanya sebesar Rp 3 juta tidak jelas pengalokasiannya. Belakangan, sejak pemerintahan Gus Dur, terjadi perubahan pola distribusi bantuan. Bantuan dikucurkan langsung lewat perbankan. Namun justru muncul praktek korupsi baru, yang dibahasakannya sebagai praktek “negosiasi di belakang”.[16]
Cerita yang sama juga merupakan pengalaman banyak pihak yang selama ini terlibat dalam gerakan pemberdayaan umat lewat organisasi-organisasi keagamaan Islam di Pulau Lombok. Umumnya, praktek korupsi yang paling banyak mendapat sorotan dari kalangan tokoh agama ini adalah praktek korupsi yang memang secara langsugn berkaitan dengan pelaksanaan fungsinya di masyarakat. Beberapa praktek korupsi tersebut antara lain, praktek korupsi dalam proses pemberangkatan jamaah haji, kolusi dan nepotisme dalam pengangkatan pegawai pemerintah di Departemen Agama setempat, korupsi dalam pengurusan izin pembangunan gedung syiar agama, maupun praktek uang komisi dalam penmgucuran bantuan pemerintah baik berupa dana maupun natura. Meski demikian, juga terdapat Tuan Guru/Ulama  yang menyoroti praktek korupsi yang mewabah di gedung DPRD ataupun di sejumlah instansi daerah lainnya, termasuk praktek pungutan liar pada proses pengurusan SIM, STNK dan lain-lain.
Bagaimanakah Tuan Guru/Ulama persepsi  mengenai korupsi? Dalam halaqah antar-Tuan Guru/Ulama dapat diketahui, umumnya Tuan Guru/Ulama memandang korupsi  sebagai praktek yang merugikan dan karenanya pembenaran terhadap praktek korupsi tidak dapat dirolerir.
Praktek-praktek korupsi yang bersentuhan langsung dan sangat dirasakan dalam kerja-kerja yang dilakukan oleh para ulama, baik yang melakukan gerakannya melalui sejumlah pondok pesantren, di sejumlah organisasi atau kelembagaan agama, maupun pada komunitas-komunitas lepas yang terpisah, sering dianggap sebagai ganjalan dalam melakukan kerja-kerja pemberdayaan umat. Namun di sisi lain kegusaran ini  melibatkan adanya kepasrahan terhadap situasi dan kondisi yang berkembang. Umumnya, sikap  yang sering diambil oleh Tuan Guru/Ulama terbatas pada sekedar “mencari jalan selamat sendiri” agar tujuan pemberdayaan umat dapat tetap dilaksanakan.
Namun tak sedikit para ulama yang mencoba untuk memberikan penegasan-penegasan terhadap ketidaksetujuannya terhadap praktek-praktek semacam ini. Seperti dikisahkan  oleh H. Husen,  salah seorang Tokoh Muhammadiyah kelahiran Sumbawa, yang mengembangkan kegiatan dakwah di Lombok.
“Ada bantuan Pemda Rp 1 juta untuk pesantren saya, mereka meminta komisi dengan alasan dana administrasi, namun kami mencoba untuk tegas, dan mereka menjadi sadar. Sikap tegas dari masyarakat itu perlu terhadap bantuan yang seringkali ada unsur korupsinya.”[17]

Proses-proses relasi antara pihak ulama yang mewakili kelompok berbasis agama dan pihak pemerintah maupun kalangan politisi lebih banyak diwarnai oleh pola transaksi yang sifatnya menggambarkan adanya posisi subordinasi para ulama dihadapan pihak pemerintah. Di dalam subordinasi tersebut, Tuan guru/ulama mencoba untuk tetap memperjuangkan kepentingan-kepentingan pondok pesantren, khususnya dalam mengembangkan proses pendidikan di sejumlah madrasah yang dikelola pondok pesantren.

Debat Soal Korupsi : Dari Moral ke Sistem

Kelemahan  umum yang berhasil diidentifikasi sebenarnya adalah dalam aspek pemahaman mengenai akar persoalan munculnya korupsi. Faktor apasajakah yang menyebabkan korupsi? Dalam halaqah antar Tuan Guru/Ulama, faktor  moral yang buruk dan lemahnya iman seseorang dianggap sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi. Pendapat ini mewarnai sebagian besar komentar Tuan Guru/Ulama saat mengutarakan pandangannya mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi.[18]
Dari masukan awal mengenai mengenai pandangan tuan guru/ulama mengenai penyebab korupsi ini, terlihat kebutuhan pentingnya mengajak tuan guru/ulama  untuk menggali bersama  akar masalah persoalan korupsi. Agar ada pegangan awal (starting point) maka untuk memperkaya perspektif dan membangun wacana terhadap pemahaman mengenai korupsi hal ini dimulai dengan melakukan pengayaan perspektif mengenai korupsi.[19]
Setelah proses pengayaan pemahaman mengenai korupsi, dapat diketahui mulai terjadi pergeseran pemahaman tuan guru/ulama mengenai faktor-faktor penyebab korupsi. Faktor-faktor penyebab korupsi  tidak hanya berkutat pada aspek persolan moral yang buruk dan lemahnya iman seseorang. Selain moral dan keimanan yang lemah, korupsi terjadi lebih disebabkan oleh faktor sistem yang buruk, baik dalam dataran sistem politik, ekonomi maupun hukum. Di luar itu, juga diperoleh masukan bahwa di tengah masyarakat pun hidup dan berkembang sejumlah nilai yang melanggengkan terjadinya korupsi.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebab-Sebab Korupsi Menurut Pandangan Tuan Guru/Ulama

1.  Faktor  Keimanan dan Moralitas :
a.    Adanya keinginan (niat)  untuk melakukan korupsi.
b.   Ketamakan
c.    Tipisnya nilai keimanan dan Moralitas
d.   Mentalitas Pejabat rendah (buruk)

2.  Faktor Budaya
a.    Budaya konsumtif dan Latah
b.   Selalu mempertimbangkan Untung-Rugi

3.  Faktor Politik
a.    Kemauan politik dan komitmen pemerintah masih rendah
b.   Monopoli kewenangan di tangan pejabat pemerintah
c.    Lemahnya check and balance kekuasaan
d.   Minimnya partisipasi dan kontrol masyarakat
e.   Minimnya transparansi dan akuntabilitas pemerintah

4. Faktor Hukum
a.    Sistem hukum memberi peluang korupsi
b.   Undang-undang mengenai Pemberantasan Korupsi masih lemah
c.    Lemahnya law enforcement (Penegakan Hukum).
d.   Lemahnya sosialisasi hukum
e.   Lemahnya kesadaran hukum masyarakat

5.  Faktor Ekonomi
a.          Format perekonomian yang cenderung bersifat korup
b.         Faktor kebutuhan yang mendesak
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Selain itu dirumuskan pula berbagai dampak yang ditimbulkan akibat merajalelanya korupsi. Pemahaman mengenai dampak korupsi ini sangat penting untuk dipahami, karena dengan memahami dampak-dampak yang ditimbulkan oleh korupsi, maka akan semakin memperbesar motivasi untuk memberantas korupsi. Pemahaman tentang dampak korupsi ini sangatlah penting, karena beranjak dari pengalaman melakukan pengorganisasian di kalangan masyarakat, lebih mudah mengajak masyarakat untuk berpartisipasi memberantas korupsi jika menemukan bahwa dirinya menjadi korban dari praktek korupsi.


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dampak korupsi menurut pandangan tuan guru/ulama

Dampak Budaya dan Sosial
a.                               Hancurnya moralitas bangsa
b.                              Membiasakan masyarakat untuk berbuat korupsi
c.                               Memicu tindakan asosial dan asusila

Dampak Politik dan Hukum
  1. Terpeliharanya Kekuatan status quo
  2. Terbentuknya Pemerintahan yang dzalim.
  3. Penempatan pejabat yang yang tidak proporsional
  4. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah rendah
  5. Rendahnya kepercayaan terhadap aparat hukum
  6. Kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kegiatan pemerintahan
  7. Buruknya Pelayanan Publik bagi masyarakat

Dampak Ekonomi
a.       Terpuruknya ekonomi dan macetnya kegiatan pembangunan
b.      Krisis yang berkepanjangan
c.       Ketergantungan kepada luar negeri dan hilangnya kemerdekaan negara
d.      Naiknya harga barang
e.      Rendahnya kesejahteraan masyarakat (masyarakat semakin miskin)
f.        Korupsi menguntungkan sebagian kecil golongan sehingga memunculkan kesenjangan sosial
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 

Dari Halaqah (Diskusi)  ke Harakah (Gerakan)

Setelah aspek pemahaman tuan guru dan partisipan yang bergabung dalam khalaqah tentang korupsi berhasil diatasi, sejumlah tantangan lain pun muncul yang biasanya merupakan tema yang tidak asing dalam upaya membangun kesadaran anti-korupsi di kalangan masyarakat. tantangan tersebut bermuara pada munculnya keraguan mengenai sejauhmana efektif tidaknya korupsi dapat diberantas. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa korupsi di Indonesia sudah begiru mengakar, bahkan ada yang menyebutnya sudah menjadi budaya masyarakat.
 Salah satu komentar yang relevan dengan pesimisme ini   antara lain dilontarkan oleh   TGH. Mahyuddin Azhar, Lc, yang sehari-hari mengasuh Pondok Pesantren Al-Manan, Lombok Timur.

“Saya pesimis untuk mencegah dan memberantas korupsi karena begitu mengakarnya perilaku korupsi. Misalnya di Kabupaten Lombok Timur, hampir di semua instansi terjadi korupsi. Saya khawatir kegiatan ini kurang bermanfaat”.[20]

Berhadapan dengan pesimisme serupa dalam sejumlah diskusi, seminar maupun workshop yang membahas pemberantasan korupsi bukanlah hal aneh, karena menemukan pesimisme senada dalam kehidupan sehari-hari pun merupakan hal yang biasa. Banyak pihak seringkali mengatakan dengan nada yang  sangat meyakinkan, korupsi di Indonesia sudah mengakar sehingga sulit untuk diberantas. Pesimisme ini menghinggapi hampir  seluruh kalangan, termasuk di Nusa Tenggara Barat. Namun teristimewa, ucapan tersebut terlontar dari bibir seorang ulama, tokoh panutan masyarakat yang biasa dipanggil Tuan Guru, yang di Pulau Lombok  memperoleh legitimasi yang kuat dari masyarakat luas. 

Lahirnya Komitmen Bersama untuk Memberantas Korupsi
Nampaknya bagi sejumlah tuan guru/ulama yang hadir dalam halaqah korupsi, sekedar memperoleh pemahaman tentang korupsi tidaklah cukup. Panggilan terhadap fungsi yang diemban dalam masyarakat nampaknya menjadi alasan bagi para tuan guru/ulama untuk memantapkan komitmen terlibat dalam pemberantasan korupsi.
Pada  Pelatihan Anti-Korupsi untuk Tokoh Informal muncul gagasan untuk melakukan ikrar bersama untuk terlibat dalam pemberantasan korupsi. Usulan ini disetujui oleh ulama/Tuan Guru lainnya dan disepakati untuk melakukan ikrar bersama. Dalam naskah  yang dibacakan oleh TGH. Mahyudin Azhar, Lc ini memuat beberapa  pasal yang menjadi ikrar bersama sejumlah tuan guru yang hadir dalam halaqah tersebut. Intinya menegaskan komitmen bersama tuan guru/ulama untuk terlibat dan mendukung gerakan anti-korupsi.[21]

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Naskah Ikrar APPGAK NTB

 ALIANSI PONDOK PESANTREN UNTUK GERAKAN ANTI KORUPSI

NUSA TENGGARA BARAT


Bismillahirrahmanirrahiem
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT seru sekalian alam, shalawat dan salam atas junjungan Nabi Besar Muhammad Saw beserta para sahabatnya dan pengikut beliau sampai akhir zaman. Amma ba’du

Dengan berlandaskan :
1.        Firman Allah SWT
“Inna Allah ya’muru bil ‘adli wal ihsan wa iita’I zil qurba wayanha ‘anil fahsa’I walmunkar walbagyi, ya’izukum laalakum tazakkarun“ [Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. Q.S 16:90).

2.       Sabda Rasulullah saw:
  1. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpinnya.
  2. Orang-orang yang diam atas kemungkaran adalah syaitan bisu

3.       UUD 1945 yang menyatakan bahwa tanah air dan segala kekayaan milik negara harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

4.      Program pemerintah untuk menciptakan Pemerintah yang Bersih dan Berwibawa.

Maka Kami menyatakan :
1.        Bertekad bulat untuk secara langsung dan tidak langsung turut serta dalam gerakan pemberantasan korupsi;
2.       Akan dengan sungguh-sungguh menggalang segala potensi yang memungkinkan ditegakkannya keadilan sejati demi kemaslahatan rakyat;
3.       Secara terus menerus melakukan sosialisasi gerakan anti korupsi di setiap waktu dan kesempatan;
4.      Berupaya  mendidik dan membina  kader-kader muda yang konsisten melawan korupsi;
5.       Akan memberikan bantuan moril dan materiil pada semua gerakan anti korupsi;

Demikian pernyataan ini Kami buat dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Semoga Allah SWT mengampuni dosa Kami dan berkenan melimpahkan rahmah dan maghfirahnya untuk kelanjutan perjuangan Kami.

Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Mataram, 23 Oktober 2001

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 

 
Peran  Tuan Guru/Ulama dalam Pemberantasan  Korupsi

Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah peran apa  yang dapat dimainkan oleh tuan guru dalam upaya pemberantasan korupsi. Peran yang dapat dimainkan oleh tuan guru dalam mendorong pemberantasan korupsi dirumuskan dalam berbagai macam agenda aksi, antara lain[22] :


·         Membuat kajian fiqh anti korupsi
·         Membuat pengajian yang bermuatan pendidikan anti korupsi.
·         Menyusun kurikulum pendidikan anti korupsi dan memasukkannya sebagai salah satu mata pelajaran di madrasah/pondok pesantren.
·         Mengkampanyekan gerakan anti korupsi pada saat event-event keagamaan
·         Melakukan pengkajian dan pengawasan anggaran.
·         Melakukan advokasi terhadap kasus-kasus korupsi
·         Melakukan loby kepada pondok pesantren (Tuan Guru/Ulama) lainnya untuk terlibat dalam gerakan anti korupsi.
·         Melakukan halaqah (workshop) untuk menyatukan persepsi dan komitmen bersama Tuan Guru/Pimpinan Ponpes sekaligus pengorganisasian dalam wadah Aliansi Pondok Pesantren Gerakan Anti Korupsi.

Untuk merealisasikan agenda-agenda pemberantasan korupsi bagi kelompok pondok pesantren yang ada di Pulau Lombok di Lombok,  dipandang perlu dibentuknya suatu organisasi yang diharapkan dapat menjadi instrumen bersama tuan guru/ulama dalam memberantas korupsi. Sebagai langkah awal, pada Pelatihan Anti Korupsi untuk Tokoh Informal,  disepakati untuk membentuk tim formatur bagi pembentukan forum pondok pesantren anti korupsi, yang disepakati menggunakan nama Aliansi Pondok Pesantren untuk Gerakan Anti Korupsi Nusa Tenggara Barat (APPGAK NTB).[23] Selanjutnya pada Workshop Kajian Fiqh Korupsi yang dilaksanakan pada Bulan November 2002, dibentuk susunan kepengurusan APPGAK NTB. TGH. Hasanain Juaini, Lc, pengasuh Pondok Pesantren Haramain Narmada, Lombok Barat selanjutnya dipercaya untuk memimpin organisasi ini.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Susunan Pengurus
Aliansi Pondok Pesantren untuk Grakan Anti-Korupsi
APPGAK-Nusa Tenggara Barat

Penasehat :
TGH. Sofwan Hakim, TGH. Ja’far Sidiq, H.L. Husen, TG. Drs. H. Al Jazmi, TG. Drs. H. Hazmi Hamzar, TG. Drs. H. Syafi’i Akmal, MA, TGH. Fihirudin

Ketua : TGH. Hasanain Juaini, Lc
Wakil Ketua : TGH. Syamsul Hadi, Lc
Bq. Elly Mahmudah
Abdul hafidz
Sekretaris : Gatot Sulistoni
Wakil Sekretaris : Masnun, MHI
Bendahara : Suaeb Qury, SHI
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Ikhtiar-ikhtiar yang telah dilakukan tuan guru/ulama di NTB untuk mendorong upaya pemberantasan korupsi memang masih sedikit dan belum memberikan hasil yang cukup maksimal. Namun tentu saja, apa yang telah dilakukan tersebut dapat menjadi batu loncatan untuk menggalang langkah selanjutnya.

1.              Ikhtiar Awal : Merumuskan Fiqh Korupsi
Agenda untuk merumuskan fiqh korupsi dilaksanakan dalam sebuah halaqah bertajuk Workshop Kajian Fiqh Korupsi yang diselenggarakan oleh APPGAK NTB bekerja sama dengan SOMASI NTB. Pada tanggal 2-3 November 2002, 50 orang tuan guru/ulama di Pulau Lombok, yang berasal dari sejumlah pondok pesantren, organisasi sosial keagamaan islam di Pulau Lombok, dan sejumlah ulama yang selama ini banyak beraktivitas pada sejumlah lembaga formal, berkumpul untuk bersama-sama membahas dan merumuskan fiqh korupsi.
Satu bulan sebelumnya menjelang agenda ini dilaksanakan, pihak penyelenggara telah membagikan sejumlah bahan kajian yang terdiri dari beragam kitab. Dengan modal kitab-kitab ini, diharapkan sedari awal pengkajian bagi keperluan penyusunan fiqh korupsi ini telah dimulai dari komunitas ulama/tuan guru sendiri.
Melanjutkan hasil pembahasan dalam “Pelatihan Tokoh Informal” sebelumnya, Perumusan Fiqh mengenai korupsi dapat dimulai dengan mengkaji konsep keuangan negara dalam pemahaman islam. Sehingga sebagai langkah awal, perlu ada pemahaman secara seksama dan cukup merata mengenai konsepsi keuangan negara dalam islam tersebut. Hal inilah yang dielaborasi oleh Masdar Masudi dan Imam Ghazali Said. Sementara Muardi Chatib dari MUI Pusat banyak mengeksplorasi fatwa  MUI mengenai korupsi, kolusi dan nepotisme dan bagaimana  mekanisme/tata cara penyusunan fiqh. Sehingga diharapkan proses penyusunan fiqh tersebut dapat dilakukan sesuai metode yang benar dan sesuai standar. 
Gatot Sulistoni dari SOMASI NTB  mengetengahkan konsep keuangan negara yang berlaku di Indonesia dan gambaran mengenai politik penganggaran yang sekarang berlaku dan praktek korupsi yang terjadi pada keuangan daerah. Sementara Sapto Waluyo dari GeRAK Indonesia, mendapat tugas untuk menjelaskan konsep dan realitas pelayanan publik di Indonesia, dengan harapan dapat memperluas wacana mengenai perlunya tanggung jawab negara mengenai pelayanan publik yang lebih baik bagi warganya.
Dari workshop ini telah berhasil disusun sebuah fiqh korupsi, yang diharapkan dapat menjadi panduan dalam upaya pemberantasan korupsi.[24]


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
RUMUSAN FIQH KORUPSI
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Definisi Korupsi

Suatu tindakan mengambil hak orang lain secara terencana ataupun tidak, dibawah kekuasaannya, untuk memperkaya diri, orang lain dan lembaga yang berakibat pada kerusakan dan kerugian bagi pihak lain.

Definisi Korupsi diambil dari unsur-unsur :
1.   Ibnu Humaid
-  Kerusakan yang mengakar
-  Tindakan memperkaya diri

2.      Yunus/
-  Terencana
-  Permusuhan (menimbulkan permusuhan)
-  Memakan sesuatu yang tidak dibenarkan secara syara’
-  Mendapatkan sesuatu diluar haknya dari jabatannya.

3.      Ibn Mas’ud
-  Memenuhi hajat orang lain dengan adanya imbalan
-  Menyelesaikan perkara setelah mendapat imbalan
-  Pengambilan hak orang lain dan diberikan kepada orang yang punya dan menentukan jabatan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------


--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jenis Korupsi dan Hukuman bagi Koruptor

1.                Al-Ghulul / Al-Khianat (Penyalahgunaan Wewenang/Jabatan/Amanah)
Sanksinya adalah dengan sanksi administrasi peneguran, penurunan jabatan, pemecatan, penjara. Pemecatan dan penjara ditambah denda atas kerugian negara.

2.        As-Suhtu (Manipulasi perkara oleh aparat hukum/menetapkan kebijakan karena imbalan-imbalan).
Sanksinya adalah dengan pemecatan , penjara ditambah denda.

3.                Al-Risywah (Sogok-menyogok).
Sanksinya dengan dipecat/pemecatan/penjara atau potong tangan.

4.                An-Nahbu/As-Sirqoh (Pencurian)
Sanksinya dengan pemecatan, penjara, potong tangan, denda yang berat.
 
5.                Al-Ghasbu (mengambil, menggunakan hak orang lain secara paksa)
Sanksinya dengan dibunuh, salib/hukuman mati dan penyitaan aset yang dimiliki, dan makruh untuk disholat jenazahi.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

 


2.       Agenda Aksi : Mengkritisi Perubahan APBD Provinsi NTB T.A. 2002

Pada saat-saat akhir Workshop Kajian Fiqh Korupsi para Tuan Guru/Ulama pun menyepakati sebuah agenda aksi  untuk mengkritisi dan memberikan masukan kepada pihak pemerintah dan DPRD mengenai proses penyusunan anggaran (APBD) daerah. Harapannya, keterlibatan para tokoh agama ini akan memberikan kontribusi positif bagi penyusunan kebijakan penganggaran daerah, sehingga akan lebih berpihak kepada kebutuhan riil masyarakat.
Untuk merealisasikan agenda ini, maka pada tanggal APPGAK NTB menggelar diskusi untuk mengkritisi rancangan perubahan APBD NTB Tahun 2002. Acara diskusi dilaksanakan di Pondok Pesantren Nurul Haramain, Narmada Lombok Barat, yang juga menjadi Sekretariat APPGAK NTB. Proses konsolidasi selanjutnya menyepakati untuk melakukan hearing bersama ke kantor DPRD Provinsi NTB untuk mengkritisi proses penyusunan anggaran tersebut. Disepakati pula bahwa agenda hearing ini diharapkan dapat diikuti oleh seluruh elemen masyarakat yang ada di Mataram.
Untuk keperluan tersebut, aspek teknis pengkajian alokasi anggaran yang termuat di dalam naskah perubahan APBD tersebut akan difasilitasi oleh SOMASI NTB, yang sejak tahun 1999 memang sudah concern dalam melakukan pengkajian terhadap APBD. Sementara menyangkut konsolidasi untuk keperluan hearing, konsolidasi  terhadap sejumlah tuan guru akan dilakukan oleh APPGAK NTB, sementara. SOMASI NTB mendapatkan tugas untuk  melakukan konsolidasi terhadap sejumlah kelompok masyarakat sipil yang juga concern terhadap proses penganggaran  di Mataram, misalnya dari kelompok Mahasiswa, Non Government Organization (NGO)/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun pihak-pihak lainnya yang juga dapat menjadi pendukung agenda  ini, seperti kalangan pers dan akademisi.
Pada agenda hearing APPGAK NTB yang dilangsungkan pada 20 November 2002,  tercatat sejumlah elemen masyarakat di Mataram ikut berpartisipasi, antara lain : FKMK-SOBAT, FORTAL, SOLUD, SOMASI NTB, LBH APIK, FORUM KOTA SEHAT, YKPR, Perkumpulan Panca Karsa (PPK), Solidaritas Perempuan (SP) Mataram, Yayasan Koslata, Komunitas Anak Jalanan, Himpunan Nelayan (HAKAN), Aliansi Masyarakat Pesisir (AMAPI) NTB, PMII Mataram, BEM Universitas Mataram, dll.[25]
Dalam acara hearing tersebut, APPGAK NTB yang dipimpin oleh TGH Hasanain Juaini, TGH Muharrar, dan H. Husen, mengkritisi sejumlah peluang kebocoran anggaran dan minimnya alokasi anggaran untuk publik dalam naskah perubahan APBD. Hal yang paling disorot oleh masyarakat dalam acara hearing tersebut adalah kenyataan besarnya alokasi dana untuk pengeluaran gaji DPRD Provinsi NTB, yang melanggar PP 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD.
Menanggapi masukan-masukan tersebut, pihak DPRD Provinsi NTB yang diwakili oleh Ketua Panitia Anggaran DPRD Provinsi NTB, H. Mahdar dan sejumlah anggota Panggar Dewan, menegaskan bahwa masukan tersebut akan digunakan dalam penyusunan perubahan APBD yang sedang dalam proses pembahasan.

3.             Sikap APPGAK NTB terhadap Proses Pemilihan Gubernur NTB

Dari segi historis, keterlibatan ulama dalam momentum-momentum politik adalah hal yang umum ditemui. Diyakini, dukungan  tuan guru/ulama bagi kelompok politik merupakan  salah satu legitimasi yang diperlukan untuk meraih posisi-posisi strategis politik.

Menjelang Pemilihan Gubernur NTB periode 2004-2009 yang prosesnya dimulai sekitar Bulan April  2003,  kecenderungan serupa pun mulai ditunjukkan oleh kelompok-kelompok politik yang akan bertarung dalam proses pemilihan gubernur. Sejumlah calon gubernur/wakil gubernur tercatat mulai menggebar langkah dengan membangun komunikasi dan melakukan silaturrahmi ke sejumlah pondok pesantren.

Berkaitan dengan momen politik ini, APPGAK NTB nampaknya dianggap sebagai salah satu komunitas tokoh-tokoh agama yang cukup strategis, bagi kelompok-kelompok politik yang bertarung. Pada saat itu, ada upaya-upaya beberapa kelompok politik  agar kelompok Tuan Guru/Ulama yang tergabung dalam APPGAK-NTB dapat mengambil peran dalam proses pemilihan gubernur NTB.

                Bagaimana APPGAK NTB menyikapi hal ini? Pengurus APPGAK NTB memahami bahwa masih belum mungkin untuk melarang sejumlah Tuan Guru/Ulama yang tergabung dalam APPGAK NTB untuk tidak melibatkan diri dalam momen tersebut. Meski demikian, APPGAK NTB mengeluarkan himbauan agar para tuan guru tidak terlibat dalam mendukung salah satu kelompok politik dalam pemilihan Gubernur. Selanjutnya secara kelembagaan keluar keputusan bahwa APPGAK NTB tidak akan terlibat dalam permainan politik praktis, khususnya dalam proses pemilihan gubernur.

4.                  Dialog Anti Korupsi dan Sosialisasi APPGAK NTB di Pondok Pesantren

Untuk lebih menyebarkan gagasan tentang pentingnya keterlibatan institusi sosial keagamaan dalam upaya pemberantasan korupsi, sosialisasi mengenai gagasan ini terus dilakukan. Proses sosialisasi secara insidentil disepakati dilakukan oleh tuan guru/ulama dalam kegiatan pengajian maupun dakwah yang dilakukan.
Untuk lebih memantapkan agenda sosialisasi, maka dilaksanakan dialog di tiap kabupaten yang ada di Pulau Lombok, yang difasilitasi oleh sejumlah anggota APPGAK NTB yang berada pada sejumlah kabupaten. Dari kegiatan ini, selain sebagai ajang untuk melakukan sosialisasi terhadap keberadaan  APPGAK NTB di kalangan pondok pesantren dan organisasi keagamaan di sejumlah kabupaten, diharapkan sekaligus dapat menghimpun masukan mengenai agenda-agenda yang akan dibicarakan dalam Konferensi Besar (Konbes) APPGAK NTB.
Dialog dilaksanakan sebanyak tiga kali pada Bulan Februari 2003 dengan harapan akan menjangkau sejumlah ulama/tuan guru dan aktivis sosial keagamaan di empat kabupaten/kota, yakni kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram. Di Kabupaten Lombok Timur, Dialog Anti-Korupsi dan sosialisasi APPGAK NTB dilaksanakan di MAK NW Hamzanwadi, Pancor, Lombok Timur, sementara di Kabupaten Lombok Barat/Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Tengah, dialog masing-masing mengambil tempat di Pondok Pesantren Nurul Hakim, Kediri, Lombok Barat, dan Pondok Pesantren Nurussabah, Batunyale, Praya, Lombok Tengah.
Dari proses dialog ini diperoleh sejumlah masukan yang akan bermanfaat bagi upaya membangun gerakan sosial anti-korupsi berbasis organisasi sosial keagamaan di Pulau Lombok. Masukan-masukan tersebut, antara lain[26] :
1.        Gerakan Pemberantasan Korupsi berbasis Pondok Pesantren yang dipelopori oleh Tuan Guru/Ulama diharapkan menjadi gerakan bersama seluruh ulama se-Nusa Tenggara Barat dengan prinsip tetap berdasar pada kajian islam.
2.       Perlu adanya penguatan internal di tubuh organisasi APPGAK NTB.
3.       Perlunya pembentukan APPGAK di tingkat kabupaten, Kecamatan dan Desa.
4.      Perlunya memikirkan sumber dana gerakan APPGAK NTB
5.       APPGAK NTB perlu  merancang agenda strategis pemberantasan korupsi di NTB, khususnya di lingkungan pondok pesantren sendiri.
6.      APPGAK NTB dapat mengupayakan dibangunnya posko-posko anti-korupsi di sejumlah pondok pesantren.
7.       Sosialisasi Gerakan Anti-Korupsi yang dilakukan APPGAK NTB di lingkungan Pondok Pesantren harus lebih ditingkatkan dan lebih terjadwal.

5. Merumuskan Kerangka Organisasi

                Untuk memantapkan gerak langkah dan agenda-agenda strategis APPGAK NTB dalam pemberantasan korupsi, pada tanggal 27-28 Februari 2003, diselenggarakan Konferensi Besar APPGAK NTB yang berlangsung di Mataram. Acara ini diikuti oleh  57 orang peserta meliputi sejumlah kalangan dari pondok pesantren, organisasi sosial keagamaan islam di Pulau Lombok dan sejumlah ulama/tuan guru yang telah berkomitmen untuk menggabungkan diri dalam gerakan pemberantasan korupsi yang dimotori oleh APPGAK NTB.
                Konferensi Besar APPGAK NTB ini menghadirkan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, DR. Hidayat Nurwahid, MA, yang dalam acara tersebut memberikan pengayaan perspektif mengenai peran agama dalam konteks kehidupan bernegara guna membangun masyarakat yang beradab dan berkeadilan.[27]
                Konferensi Besar tersebut telah menghasilkan sejumlah rumusan kerangka strategis organisasi APPGAK NTB, yang diharapkan dapat menjadi panduan organisasi dalam mendorong pemberantasan korupsi. Rumusan-rumusan tersebut meliputi Mekanisme Organisasi APPGAK NTB; Program Kerja; dan Strategi Organisasi.

A.      Mekanisme Organisasi :
q  Dewan penasihat : diperlukan untuk memberikan nasehat-nasehat atau petunjuk-petunjuk bagi organisasi ke depan.
q  Ketua umum : menjadi corong dan pengendali organisasi, yang dibantu oleh Ketua satu; Ketua dua ; dan Ketua tiga.
q  Sekretaris Umum, yang dibantu oleh Sekretaris satu ; Sekretaris dua; dan Sekretaris tiga.
q  Bendahara, dibantu oleh wakil bendahara.
q  Departemen-Departemen : untuk membantu memperlancar kerja-kerja organisasi ke depan.
1.        Departemen Pendidikan, Sosial dan Dakwah
Fungsi : melakukan kegiatan-kegiatan sosial, melakukan proses pendidikan di masyarakat, ceramah-ceramah keagamaan yang terkait dengan masalah-masalah korupsi. Pada konsep dakwahnya aliansi ini akan terus menyuarakan amal a’ruf nahi munkar.
2.       Departemen Informasi dan Komunikasi
Fungsi : memberikan masukan-masukan pada organisasi tentang perkembangan isu-isu korupsi atau memberikan informasi-informasi tentang apa yang terjadi di DPRD tentang isu-isu korupsi ini.
3.       Departemen Penelitian dan Pengembangan
Fungsi : melakukan penelitian tentang hal-hal yang ada di legislative baik itu masalah korupsi maupun pelanggaran lainnya yang  dilakukan legislatif.
4.      Departemen Advokasi dan Perlindungan Hukum
Fungsi : untuk melakukan proses-proses perlindungan hukum yang diperlukan bagi organisasi dengan melakukan koordinasi atau kerja sama bersama LBH-LBH untuk melindungi para aktivis APPGAK.
5.       Departemen Organisasi dan Kaderisasi
Fungsi : melakukan proses kaderisasi untuk melanjutkan perjuangan bagi organisasi PPGAK dan juga memberikan wawasan yang luas kepada kader tentang  organisasi dan masalah-masalah korupsi.
6.      Departemen Pemberdayaan Perempuan
Fungsi : untuk mengakses kepentingan-kepenting yang terkait dengan masalah perempuan.

Istilah pengorganisasian dalam struktur organisasi menggunakan istilah “Lokalisasi” menurut wilayah Kabupaten/Kota, misal APPGAK Lobar, APPGAK Lotim dan untuk tingkat provinsi adalah APPGAK tingkat I. Kemudian kalau perlu akan dibangun  posko-posko yang berada di tingkat bawah, baik di desa maupun tingkat kecamatan.

B. Program Kerja
  1. Program Jangka Pendek.
a.       Sosialisasi program di setiap mesjid dan tempat-tempat publik.
b.      Pengadaan posko-posko di pondok pesantren dan kecamatan.
c.       Pembuatan kartu identitas.
d.      Pertemuan dengan lembaga-lembaga negara/daerah.
e.      Penyebaran pamflet dan spanduk-spanduk kampanye anti korupsi.
  1. Program jangka menengah.
a.       Tabligh Akbar.
b.      Membangun jaringan yang sepaham dalam anti korupsi.
c.       Membuat kurikulum tentang fiqh korupsi untuk pondok pesantren.
d.      Dialog dengan masing-masing dinas, terkait dengan alokasi anggaran.
  1. Program Jangka Panjang.
a.       Memantau rencana anggaran pembangunan yang akan direalisasikan.
b.      Penerbitan buku, buletin dan majalah.
c.       Meninjau kembali semua aturan-aturan yang berpeluang untuk menimbulkan KKN.
d.      Menyusun RAPBD tandingan.
e.      Penggalian sumber dana yang halal dan tidak mengikat.
f.        Pelatihan pengawasan proyek pembangunan.
g.      Pelatihan advokasi dan fiqh korupsi.
h.      Pengorganisasian masyarakat.
i.         Pembuatan Sekretariat


B.      Strategi Organisasi APPGAK NTB
NO
VARIABEL
SASARAN
METODE/TEKNIK
STAKE
HOLDER
1
Komponen keorganisasian
·     Penguatan struktur kelembagan secara terpadu, proposional, didasarkan pada tingkatan-tingkatan.
·     Adanya system networking yang kuat dan berkelanjutan.
·     Inventarisasi kelemahan dan kekuacan secara eksternal dan internal.
·     Peka terhadap tuan guru yang ikut dalam permainan politik praktis.
·     Posko APPGAK sesuai dengan tingkat keorganisasian
·     Perubahan perilaku
§ Pemetaan potensi SDM/infrastruktur kanggotaan
§ Membangun tim yang solid (intern)
§ Orientasi tugas (job description) pada komponen preventif, detektif dan advokasi kasus.
§ Diskusi-diskusi
§ Membuka ruang kerja sama dengan pihak yang satu visi.
§ Konsolidasi APPGAK
§ Belajar memahami situasi masyarakat
§ Pendekatan rasionalitas dalam menguatkan tim
§ Hearing dengan masyarakat dan institusi/lembaga lain.
§ Penyadaran
§ Pemahaman
§ Pelaksanaan
Masyarakat publik, Toga, Tomas, Mahasiswa, NGO/LSM di payungi tuan guru melalui pondok pesantren.
2
Pendanaan
·     Program organisasi berjalan secara berkesinambungan terarah dan terpadu
·     Lembaga dana/funding yang memiliki visi sama
·     Menggali potensi zakat
·     Mengupayakan donator tetap yang tidak mengikat
§ Menyusun program kerja dalam anggaran tahunan AAPGAK
§ Membuka ruang jaringan kerja sama
§ Kerja sama antar Ponpes dan lembaga keuangan lain yang satu visi

Disesuaikan

3
Action Plan
Mewujudkan :
·     Tujuan APPGAK
·     AD/ART APPGAK
·     Program kerja APPGAK
·     Musker APPGAK
§ Do’a masal untuk kutukan terhadap koruptor
§ Pelatihan analisa anggaran dan net working
§ Penguatan forum
§ Pembagian divisi keorganisasian sesuai dengan tingkatan korupsi yang ada
§ Kampanye anti korupsi agar solid di dalam dan di luar
§ Membangun kekompakan antar Ponpes melalui konsolidasi APPGAK
Disesuaikan



***




[1] Syafi’I Ma’arif, Radikalisasi Interpretasi Agama melawan Korupsi, dalam Anti Korupsi! Edisi #1//Novaember//2003.
[2] Azyumardi Azra, dalam Kompas 5 September 2003.
[3] Op.cit. Prof. Dr. Musa Asyarie, Peran Strategis Agama dalam Memberantas Korupsi.
[4]Hal itu dapat dilihat dari kajian risywah  yang  dimasukkan ke dalam subkajian peradilan (kitab atau bab al-qadla'), tidak dikaji tersendiri dalam bab khusus 'al-risywah'.  
[5] Azyumardi Azra, Agama dan Pemberantasan Korupsi, dalam KOMPAS 5 September 2003.
[6]Muslim, Op. Cit., h. 125.
[7] Ibid. Azyumardi Azra.. Lihat pula Didin Hafidhudin, Gerakan Menumpas Korupsi, Republika, 7 Desember 2003.
[8] dalam Didin Hafidhudin, Gerakan menumpas Korupsi, Republika, 7 Desember 2003.
[9] Ibid. Didin Hafidhudin
[10] Ibid. Didin Hafidhudin
[11] Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 1999, BPS Provinsi NTB dan Bappeda Provinsi NTB.
[12] Asumsi itu sangat beralasan karena sebagaimana hadist nabi Muhammad SAW bahwa ulama ada lah pewaris nabi. {Al ‘ulama-u warosatul anbiya}.
[13] Pada Tahun 1843, Belanda hanya mampir untuk membuat kesepakatan dengan Kerajaan Mataram (sebagai  bentuk kekuasaan Kerajaan Karang Asem, Bali, di Lombok) yang saat itu berkuasa, untuk menegaskan bahwa Lombok berada di bawah kekuasan Belanda dan dititipkan kepada Kerajaan Mataram. Jadi sebenarnya, Pada kurun waktu sejak 1843 tersebut Lombok masih dibawah penguasaan Kerajaan Mataram. Baru pada tahun 1894, Belanda benar-benar menduduki Lombok. Untuk uraian yang lebih detail mengenai hal ini dapat dilihat pada Fath. Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram, Yayasan Sumurmas Al-Hamidy, Cetakan Pertama, Desember 1998. 
[14] Darmansyah, 1997.
[15] Ibid. Darmansyah, 1997.
[16] Cerita TGH Samsul Hadi dalam Pelatihan Anti-Korupsi untuk Tokoh Informal., Mataram, 20-23 Oktober 2001.
[17] Komentar H. Husen dalam Pelatihan Anti-Korupsi untuk Tokoh Informal,SOMASI NTB,  20-23 Oktober 2001.
[18] Ini adalah pandangan umum yang diidentifikasi dalam dua kali halaqah yang diselenggarakan oleh SOMASI NTB. Umumnya, korupsi dianggap disebabkan oleh faktor-faktor internal seseorang seperti kualitas iman yang rendah dan moral yang buruk, selain adanya tekanan ekonomi (kefakiran akan menjerumuskan kepada kekafiran). Namun tercatat pula beberapa orang peserta menganggap bahwa korupsi dapat disebabkan oleh tidak adanya kontrol yang baik di organisasi pemerintah.
[19] Nara sumber/fasilitator yang ikut memberikan pengayaan perspektif dalam Pelatihan Anti-Korupsi untuk Tokoh Informal, adalah : KH. Masdar Mas’udi (P3M Jakarta/PB NU), Umaruddin Masdar (Klik Yogyakarta), Adhar Hakim (SOMASI NTB), dan Drs. Ahmad Taqiuddin Mansyur (Anggota DPRD NTB). Sementara Pada Workshop kajian Fiqh Korupsi, sejumlah nara sumber/fasilitator antara lain : KH Masdar Mas’udi (P3M Jakarta/PB NU), Prof. Muardi Chatib, MA (MUI Pusat/UIN Jakarta), KH Imam Ghazali Said (Universitas Islam Malang), Sapto Waluyo (GeRAK Indonesia) dan Gatot Sulistoni (SOMASI NTB).
[20] Komentar TGH. Mahyudin, Lc dalam Pelatihan Anti Korupsi untuk Tokoh Informal, SOMASI NTB, Oktober 2001.
[21] Ibid. SOMASI NTB, 2001
[22] Ibid. SOMASI NTB, 2001.
[23] Sebagai Ketua Tim Formatur, dipercayakan TGH. Hasanain Juaini, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haramain Narmada, Kabupaten Lombok Barat. Untuk melaksanakan tugas ini, juga ditunjuk beberapa orang yang dipandang mampu untuk mendorong proses pelembagaan yang lebih massif.
[24] Prosiding Workshop Kajian Fiqh Korupsi : Respon Fiqh terhadap korupsi di Indonesia, kerjasama APPGAK NTB dan SOMASI NTB, didukung oleh The Asia Foundation, Mataram,NTB,  2-3 November 2002.
[25] Progress Report Program Penguatan Gerakan Masyarakat Sipil Anti-Korupsi di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Periode 1 Agustus 2002-31 Januari 2003, SOMASI NTB didukung oleh The Asia Foundation, 2003.
[26] Ibid. SOMASI NTB, 2003.
[27] APPGAK NTB  pun sebenarnya telah mengundang DR. Said Agil Siradz (pemikir Islam) dan DR. AS Hikam (Peneliti LIPI) untuk dapat memberikan pengayaan dan perspektif dalam acara tersebut. Setelah beberapa kali negosiasi, hingga mendekati pelaksanaan acara kedua tokoh ini akhirnya memutuskan tidak berkesempatan hadir.



Sumber/Rujukan :
1.      Asyarie, Musa, Peran Strategis Agama dalam Memberantas Korupsi dalam Anti Korupsi! Edisi #1//November//2003.
2.    Badan Pusat Statistik Provinsi NTB dan Bappeda Provinsi NTB, Nusa Tenggara Barat dalam Angka 1999.
3.       Darmansyah, Golongan Karya dan Pemilihan Umum (Suatu Studi tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perolehan Suara Golkar pada Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 di Propinsi Nusa Tenggara Barat), Tesis Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada, 1997.
4.      Hafidhudin, Didin, Gerakan Menumpas Korupsi dalam Republika  7 Desember 2003.
5.       Syafi’i Ma’arif, Radikalisasi Interpretasi Agama melawan Korupsi, dalam Anti Korupsi! Edisi #1//November//2003.
6.      Prosiding Pelatihan Anti-Korupsi untuk Tokoh Informal, diselenggarakan oleh SOMASI NTB didukung oleh The Asia Foundation, Mataram, NTB, 20-23 Oktober 2001.
7. Prosiding Workshop Kajian Fiqh Korupsi, diselenggarakan oleh APPGAK NTB bekerjasama dengan SOMASI NTB, didukung oleh The Asia Foundation, Mataram, NTB, 2-3 November  2002.
8.     Prosiding Konferensi Besar APPGAK NTB, diselenggarakan oleh APPGAK NTB didukung oleh The Asia Foundation, Mataram, NTB, 26-27 Februari 2003.
9.      Progress Report Program Penguatan Gerakan Masyarakat Sipil Anti-Korupsi di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Periode 1 Agustus 2002 – 31 Januari 2003, SOMASI NTB didukung oleh The Asia Foundation, 31 Januari 2003.


Penulis: Ervyn Kaffah, Desember 2003.

 
Catatan :
Naskah ini telah dimuat dalam Buku : Ervyn Kaffah dan Moh. Asyiq Amrulloh (eds.), FIQH KORUPSI: Amanah vs Kekuasaan, SOMASI NTB, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar