Translate

Minggu, 26 Juli 2015

Kabar Rekening Siluman yang Kabur



Kadang korupsi oligarkis yang berlangsung atas dasar perselingkuhan kuasa diantara mereka yang sedang berkuasa dengan kelompok kepentingan berpengaruh  terasa jauh lebih tajam menusuk ketimbang sentralisme korupsi akibat kuasa yang terpusat. Lebih karena perasaan terpinggirkan dalam kode permainan yang telah menjadi pegangan umum, ketika  Anda (dan kelompok Anda) bukan termasuk bagian dari pihak yang ikut berbagi kenyamanan. Anda kan ribut karena tidak ikut mendapat bagian. Cukup tonton saja kami berpesta, akan tiba saatnya  giliran kelompok Anda yang berkuasa.


Saya terhenyak membaca berita di koran ini mengenai temuan rekening liar di Pemerintah Kabupaten Lombok Barat. Disebut liar lantaran keberadaannya tanpa keputusan Bupati. Rekening liar itu ditemukan pada sejumlah SKPD, seperti Dishubkominfo, RSUD Tripat Gerung, dan Dinas Kesehatan. Lombok Barat seperti tak habis-habisnya didera masalah terkait pengelolaan keuangan daerah. Mencuatnya rekening liar ini boleh jadi sekedar bagian dari  penanda komunikasi politik yang dilancarkan para politisi di Gedung Dewan  kepada Pelaksana tugas Bupati yang kini sudah memiliki kejelasan otoritas. Meski demikian, atas beberapa alasan faktual yang akan diungkapkan segera, mencuatnya temuan rekening liar ini substansial untuk ditindaklanjuti dengan sungguh-sungguh.

Membuka catatan praktek korupsi di daerah tiga tahun terakhir, Lombok Barat (Lobar) menduduki posisi penting karena beberapa sebab. Mengikuti jejak bupati sebelumnya yang dijerat KPK, Bupati sekarang ini berstatus non-aktif karena jadi terdakwa perkara tipikor dugaan pemerasan pengusaha pengembang kawasan wisata. Jika Wakil Bupati baru saja menyandang status Pelaksana tugas (Plt) Bupati sehingga berwenang mengambil keputusan strategis pemerintahan, wakil bupati sebelumnya adalah terpidana korupsi dana SPPD perjalanan dinas.  Lobar juga mencatat banyaknya pejabat yang dibui akibat menggangsir asset dan uang rakyat. Bukan saja jajaran birokrasi dari berbagai level eselon, melainkan juga anggota DPRD. Dalam beberapa kasus, pejabat birokrasi berkolusi dengan anggota dewan untuk merampok, menggelapkan asset rakyat.  Bahkan ada  kasus  yang jika  disistematisasi  menunjukkan  korupsi bekerja atas dasar kronisme, menyangkut pos-pos basah yang berkaitan dengan grup politik yang sedang berkuasa ditambah kelompok lainnya yang cukup berpengaruh.

Kadang korupsi oligarkis yang berlangsung atas dasar perselingkuhan kuasa diantara mereka yang sedang berkuasa dengan kelompok kepentingan berpengaruh  terasa jauh lebih tajam menusuk ketimbang sentralisme korupsi akibat kuasa yang terpusat. Lebih karena perasaan terpinggirkan dalam kode permainan yang telah menjadi pegangan umum, ketika  Anda (dan kelompok Anda) bukan termasuk bagian dari pihak yang ikut berbagi kenyamanan. Anda kan ribut karena tidak ikut mendapat bagian. Cukup tonton saja kami berpesta, akan tiba saatnya  giliran kelompok Anda yang berkuasa.

Munculnya kasus rekening liar penting menjadi perhatian semua pihak di daerah. Bukan soal apakah fenomena ini cukup dianggap sekedar masalah ringan yang sering dilabeli sebagai “temuan administratif” dalam bahasa pemeriksaan BPK, atau diberi bobot lebih serius sebagai praktek buruk melanggar aturan pengelolaan keuangan public.  Jauh lebih penting dari itu, publik harus membuka mata lebar-lebar terhadap petunjuk awal adanya (sejumlah) rekening ilegal yang bisa dibuat tanpa ada keputusan dari kepala daerah. Secara tegas ia mengabarkan hal ini: orang-orang bebas membuat rekening (tanpa perlu ijin dari pimpinan daerah) asal selanjutnya memberitahukannya untuk “dilegalisasi” atau sebaliknya dihapuskan. Tidak adanya sanksi untuk  para pelaku, berarti yang lain boleh ikut mengulangi. Kabar paling buruknya, hari ini rekening ilegal masih menjadi mekanisme lazim yang ditempuh di tubuh birokrasi daerah. Selugas itulah posisinya.

Keberadaan rekening liar sangat berbahaya karena bisa menjadi instrumen untuk memperlancar berlangsungnya praktek aprosiasi keuangan negara, korupsi, yang secara minimalis oleh Robert S. Leyken didefinisikan sebagai penggunaan kekuasaan publik (public power) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kemanfaatan politik.  Membiarkan rekening liar eksis dan digunakan sebagai mekanisme wajar dalam pengelolaan keuangan daerah kompatibel dengan membuka kesempatan para pejabat public terjebak korupsi.

Kabar mengenai Rekening Liar
Kabar mengenai rekening-rekening  liar di daerah memang selalu kurang jelas dan ujungnya selalu dikaburkan hingga menjadi kabur layaknya siluman. Ijinkan saya mereviewnya untuk Anda.

Tahun 2009 lalu, saya bersama kolega telah membongkar dugaan aliran dana dari PT Bank NTB yang seharusnya untuk pemberdayaan masyarakat namun justru dijatahkan bagi sejumlah kepala daerah. Dana milyaran rupiah itu dikirim ke rekening yang seolah-olah adalah rekening Pemda, namun diduga adalah rekening pribadi kepala daerah (SOMASI NTB, 2009). Meski sejumlah “bukti cetak basah” transfer dana ke akun yang disebut sebagai “rekening khusus kepala daerah” itu telah disampaikan, tidak ada kelanjutan penanganannya. Yang cukup jelas adalah bantahan-bantahan dari para kepala daerah saat itu. Meski, seorang bupati mengakui memang benar ada kiriman dana ratusan juta rupiah di rekening pribadinya, namun menyetorkannya ke kas daerah karena meragukan sumber dana tersebut.

Di Provinsi NTB, pandangan umum salah satu fraksi DPRD, memberi penegasan terang.  Pemeriksaan rekening khusus itu, ada beberapa kali penarikan dana untuk pembelian barang tertentu. Tapi apa langkah yang telah diambil? “Rekening itu rekening siluman. Jadi kita buang ke laut,” kata Gubernur NTB, TGH. M. Zainul Majdi yang baru beberapa bulan menjabat. Seperti bisa diduga, tidak ada tindak lanjut setelah rekening ditutup. Tidak jelas apakah dana-dana itu telah diupayakan pengembaliannya. Layaknya kutipan bijak para motivator: mari tinggalkan masa lalu, kita harus menatap masa depan. Bukankah memang cukup masuk akal untuk berpikir sebagai  politisi yang mengejar keuntungan politik, menjaga “martabat” para pemimpin sebelumnya ketimbang membangun bara-konflik akibat kejadian masa lalu. Singkatnya, kabar rekening siluman pun menjadi kabur. Jangan heran jika pola serupa bakal berulang di Lobar meski dengan alasan berbeda.      

Sebelum beranjak meninggalkan kasus ini, perlu ditegaskan, pada akhirnya saya sulit menolak ketika ada pihak yang mengklaim bahwa karena praktek ini terjadi dalam pengelolaan BUMD yang saham mayoritasnya milik Pemda, tak ada yang bisa menjamin praktek serupa tidak berlangsung di perusahaan milik daerah lainnya.

Keterangan gamblang mengenai keberadaan rekening liar di NTB sebelum ini pernah diungkapkan tahun 2012.  Koran lokal memberitakan temuan 140 rekening liar di Pemprov NTB.  Sementara di Lobar BPK mencatat temuan 21 rekening liar. Jika di Pemprov rekening liar itu semuanya berisi nol rupiah (Rp. 0), artinya meski sudah kosong tapi rekening itu nyata adanya, di Lobar nilai totalnya Rp. 112 Miliar.  Rekening di Lobar itu atas nama Kepala-kepala SKPD mulai dari level dinas  sampai kecamatan.

Rekening liar juga pernah mencuat di daerah lain misal temuan  155 rekening liar di Provinsi NTT atau di Jember, Jawa Timur. Di tingkat Pusat, Medio 2014 lalu Presiden SBY mengumumkan  telah menutup 9.294 rekening liar di sejumlah Kementerian/Lembaga dengan nilai tidak tanggung-tanggung  mencapai Rp. 15 Triliun. Ribuan rekening itu telah ada sejak tahun 2007 dan merupakan bagian dari 46.586 rekening yang ditertibkan oleh Kementerian Keuangan.  

Diluar rekening liar, public juga akrab dengan istilah “rekening gendut” yang kesohor terkait jajaran kepolisian dan kejaksaan, juga pada beberapa orang staf Pemda dengan level jabatan rendah. Belakangan, terungkapnya temuan rekening gendut yang mulai bergeser ke staf level lebih rendah di berbagai institusi pemerintah juga terkonfirmasi oleh peningkatan pesat transaksi mencurigakan pada pelaku pegawai negeri dengan usia jauh lebih muda, dibanding kondisi sebelumnya (PPATK, 2012).

Hemat saya pribadi, potensi rekening-rekening liar atau rekening ilegal di Pemda dapat muncul pada beberapa lokus kegiatan.  Pertama, dalam kegiatan kerjasama pengelolaan asset daerah dengan pihak ketiga, saat target penerimaan sengaja diturunkan dari potensi tersedia. Jika pembayaran kewajiban pihak ketiga sering ditunda hingga menumpuk, bisa jadi sesuatu sedang berlangsung,  rekening liar dibuat dan uang tak kunjung masuk ke kas daerah. 

Titik kedua, pada kegiatan investasi dan penyertaan modal baik pada perusahaan sendiri maupun pihak ketiga. Praktek mark-down kewajiban baik berupa royalti maupun deviden mungkin terjadi. Dalam kasus pihak penyetor tak mengerti bahwa mereka mengirimkan dana ke rekening liar, praktek moral hazard petugas negerilah yang memungkinkannya terjadi. Namun jauh lebih sulit jika praktek seperti ini telah menjadi “kode” atau standar umum yang berlaku saat berbagi peluang mengelola kekayaan daerah. Artinya semua pihak sudah tahu-sama-tahu. Jika demikian keadaannya, sangat mungkin, uang mengalir mencari tempat yang lebih tinggi.

Peluang munculnya rekening liar ketiga terkait dengan belanja daerah. Locusnya dalam pelaksanaan proyek dan kegiatan pemerintah, dan menyangkut nominal yang jauh lebih besar. Jika proyek tak juga selesai pada akhir tahun anggaran, bisa saja dilaporkan proyek itu sudah selesai dan dana proyek ditarik dahulu dan ditampung dalam sebuah rekening yang kesohor disebut “rekening tampungan”. Proyek-proyek fiktif (laporan kelar tapi tidak ada pelaksanaan kerja) juga bisa menempuh cara serupa. Karenanya pengendalian pelaksanaan kegiatan APBD perlu diperbaiki.

PPATK Perhatikan Daerah
Memangnya apa yang bisa dilakukan ketika rekening liar masih terus muncul? Sialnya, belum ditemukan solusi praktis untuk pertanyaan menantang ini. Perlu pemeriksaan mendalam untuk memetakan titik lemah dalam sub-sistem birokrasi yang rawan dan bagaimana modus penggunaan rekening. Menemu-kenali masalah akan cukup sulit, karena jika didalami oleh pihak luar melalui jalur birokrasi aksesnya dipastikan tertutup. Lebih mudah bila ada pejabat inspektur yang gigih menelisik dan berupaya memperbaiki keadaan di daerah. Bagus juga jikalau ada contoh kasus yang dibawa ke pengadilan, sehingga hasil penelusuran dan pembuktian aparat penegak hukum maupun  rekaman persidangan bisa membuka tabir mengenai apa yang sebenarnya berlangsung. Tapi rekam-jejak indikasi kerugian keuangan negara di daerah yang disampaikan BPK-RI kepada aparat penegak hukum, sesuai perintah undang-undang, selama bertahun-tahun memang meragukan. BPK memang abai soal ini!

Meski demikian, sebagai pijakan awal, PPATK (Pusat Pemantauan dan Analisis Transaksi Keuangan) penting meluaskan perhatiannya terhadap praktek transaksi dana publik di daerah yang melibatkan penggunaan rekening ilegal. Demikian pula,  perlu komitmen kuat agar semua transaksi harus dilakukan melalui perbankan (bukan cash), agar aliran dana-dana itu (yang bisa jadi bersumber dari hasil korupsi dan pencucian uang) bisa mudah dipantau. Tentu saja kita juga menunggu tindakan strategis para wakil rakyat yang bertugas mengawasi pemerintahan di Gedung Dewan Lobar mengenai temuan rekening liar ini, alih-alih sekedar sumbang komentar di koran untuk tujuan riuhnya panggung selebritas. Gairah para wartawan dan organisasi watchdog pemantau korupsi yang bersikeras membuka dan menelisiknya juga penting. Agar rekening ilegal bukannya selalu dikaburkan menjadi siluman, dan akhirnya benar-benar hilang dan tidak tercatat dalam kolom akun kekayaan publik.

ERVYN KAFFAH
Sekretaris Jenderal FITRA NTB

*Dimuat SUARA NTB Edisi 21 Juli 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar