Kadang korupsi oligarkis yang berlangsung atas
dasar perselingkuhan kuasa diantara mereka yang sedang berkuasa dengan kelompok
kepentingan berpengaruh terasa jauh
lebih tajam menusuk ketimbang sentralisme korupsi akibat kuasa yang terpusat.
Lebih karena perasaan terpinggirkan dalam kode permainan yang telah menjadi
pegangan umum, ketika Anda (dan kelompok
Anda) bukan termasuk bagian dari pihak yang ikut berbagi kenyamanan. Anda kan ribut karena tidak ikut mendapat
bagian. Cukup tonton saja kami berpesta, akan tiba saatnya giliran kelompok Anda yang berkuasa.
Saya terhenyak membaca berita di koran ini mengenai
temuan rekening liar di Pemerintah Kabupaten Lombok Barat. Disebut liar
lantaran keberadaannya tanpa keputusan Bupati. Rekening liar itu ditemukan pada
sejumlah SKPD, seperti Dishubkominfo, RSUD Tripat Gerung, dan Dinas Kesehatan. Lombok
Barat seperti tak habis-habisnya didera masalah terkait pengelolaan keuangan
daerah. Mencuatnya rekening liar ini boleh jadi sekedar bagian dari penanda komunikasi politik yang dilancarkan
para politisi di Gedung Dewan kepada
Pelaksana tugas Bupati yang kini sudah memiliki kejelasan otoritas. Meski
demikian, atas beberapa alasan faktual yang akan diungkapkan segera, mencuatnya
temuan rekening liar ini substansial untuk ditindaklanjuti dengan
sungguh-sungguh.
Membuka catatan praktek korupsi di daerah tiga
tahun terakhir, Lombok Barat (Lobar) menduduki posisi penting karena beberapa sebab.
Mengikuti jejak bupati sebelumnya yang dijerat KPK, Bupati sekarang ini
berstatus non-aktif karena jadi terdakwa perkara tipikor dugaan pemerasan
pengusaha pengembang kawasan wisata. Jika Wakil Bupati baru saja menyandang
status Pelaksana tugas (Plt) Bupati sehingga berwenang mengambil keputusan
strategis pemerintahan, wakil bupati sebelumnya adalah terpidana korupsi dana
SPPD perjalanan dinas. Lobar juga
mencatat banyaknya pejabat yang dibui akibat menggangsir asset dan uang rakyat.
Bukan saja jajaran birokrasi dari berbagai level eselon, melainkan juga anggota
DPRD. Dalam beberapa kasus, pejabat birokrasi berkolusi dengan anggota dewan
untuk merampok, menggelapkan asset rakyat.
Bahkan ada kasus yang jika
disistematisasi menunjukkan korupsi bekerja atas dasar kronisme,
menyangkut pos-pos basah yang berkaitan dengan grup politik yang sedang
berkuasa ditambah kelompok lainnya yang cukup berpengaruh.
Kadang korupsi oligarkis yang berlangsung atas
dasar perselingkuhan kuasa diantara mereka yang sedang berkuasa dengan kelompok
kepentingan berpengaruh terasa jauh
lebih tajam menusuk ketimbang sentralisme korupsi akibat kuasa yang terpusat.
Lebih karena perasaan terpinggirkan dalam kode permainan yang telah menjadi
pegangan umum, ketika Anda (dan kelompok
Anda) bukan termasuk bagian dari pihak yang ikut berbagi kenyamanan. Anda kan ribut karena tidak ikut mendapat
bagian. Cukup tonton saja kami berpesta, akan tiba saatnya giliran kelompok Anda yang berkuasa.
Munculnya kasus rekening liar penting menjadi
perhatian semua pihak di daerah. Bukan soal apakah fenomena ini cukup dianggap
sekedar masalah ringan yang sering dilabeli sebagai “temuan administratif”
dalam bahasa pemeriksaan BPK, atau diberi bobot lebih serius sebagai praktek
buruk melanggar aturan pengelolaan keuangan public. Jauh lebih penting dari itu, publik harus
membuka mata lebar-lebar terhadap petunjuk awal adanya (sejumlah) rekening ilegal
yang bisa dibuat tanpa ada keputusan dari kepala daerah. Secara tegas ia
mengabarkan hal ini: orang-orang bebas membuat rekening (tanpa perlu ijin dari
pimpinan daerah) asal selanjutnya memberitahukannya untuk “dilegalisasi” atau
sebaliknya dihapuskan. Tidak adanya sanksi untuk para pelaku, berarti yang lain boleh ikut
mengulangi. Kabar paling buruknya, hari ini rekening ilegal masih menjadi
mekanisme lazim yang ditempuh di tubuh birokrasi daerah. Selugas itulah
posisinya.
Keberadaan
rekening liar sangat berbahaya karena bisa menjadi instrumen untuk memperlancar
berlangsungnya praktek aprosiasi keuangan negara, korupsi, yang secara minimalis
oleh Robert S. Leyken didefinisikan sebagai penggunaan kekuasaan publik (public power) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kemanfaatan politik. Membiarkan rekening liar eksis dan digunakan
sebagai mekanisme wajar dalam pengelolaan keuangan daerah kompatibel dengan
membuka kesempatan para pejabat public terjebak korupsi.
Kabar mengenai
Rekening Liar
Kabar mengenai rekening-rekening liar di daerah memang selalu kurang jelas dan
ujungnya selalu dikaburkan hingga menjadi kabur layaknya siluman. Ijinkan saya
mereviewnya untuk Anda.
Tahun 2009 lalu, saya bersama kolega telah
membongkar dugaan aliran dana dari PT Bank NTB yang seharusnya untuk
pemberdayaan masyarakat namun justru dijatahkan bagi sejumlah kepala daerah.
Dana milyaran rupiah itu dikirim ke rekening yang seolah-olah adalah rekening
Pemda, namun diduga adalah rekening pribadi kepala daerah (SOMASI NTB, 2009).
Meski sejumlah “bukti cetak basah” transfer dana ke akun yang disebut sebagai “rekening
khusus kepala daerah” itu telah disampaikan, tidak ada kelanjutan penanganannya.
Yang cukup jelas adalah bantahan-bantahan dari para kepala daerah saat itu. Meski,
seorang bupati mengakui memang benar ada kiriman dana ratusan juta rupiah di
rekening pribadinya, namun menyetorkannya ke kas daerah karena meragukan sumber
dana tersebut.
Di Provinsi NTB, pandangan umum salah satu fraksi
DPRD, memberi penegasan terang. Pemeriksaan
rekening khusus itu, ada beberapa kali penarikan dana untuk pembelian barang
tertentu. Tapi apa langkah yang telah diambil? “Rekening itu rekening siluman. Jadi kita buang ke laut,” kata
Gubernur NTB, TGH. M. Zainul Majdi yang baru beberapa bulan menjabat. Seperti
bisa diduga, tidak ada tindak lanjut setelah rekening ditutup. Tidak jelas
apakah dana-dana itu telah diupayakan pengembaliannya. Layaknya kutipan bijak
para motivator: mari tinggalkan masa
lalu, kita harus menatap masa depan. Bukankah memang cukup masuk akal untuk
berpikir sebagai politisi yang mengejar
keuntungan politik, menjaga “martabat” para pemimpin sebelumnya ketimbang
membangun bara-konflik akibat kejadian masa lalu. Singkatnya, kabar rekening
siluman pun menjadi kabur. Jangan heran jika pola serupa bakal berulang di Lobar
meski dengan alasan berbeda.
Sebelum beranjak meninggalkan kasus ini, perlu
ditegaskan, pada akhirnya saya sulit menolak ketika ada pihak yang mengklaim
bahwa karena praktek ini terjadi dalam pengelolaan BUMD yang saham mayoritasnya
milik Pemda, tak ada yang bisa menjamin praktek serupa tidak berlangsung di
perusahaan milik daerah lainnya.
Keterangan gamblang mengenai keberadaan rekening liar
di NTB sebelum ini pernah diungkapkan tahun 2012. Koran lokal memberitakan temuan 140 rekening liar
di Pemprov NTB. Sementara di Lobar BPK
mencatat temuan 21 rekening liar. Jika di Pemprov rekening liar itu semuanya
berisi nol rupiah (Rp. 0), artinya meski sudah kosong tapi rekening itu nyata
adanya, di Lobar nilai totalnya Rp. 112 Miliar. Rekening di Lobar itu atas nama Kepala-kepala
SKPD mulai dari level dinas sampai
kecamatan.
Rekening liar juga pernah mencuat di daerah lain misal
temuan 155 rekening liar di Provinsi NTT
atau di Jember, Jawa Timur. Di tingkat Pusat, Medio 2014 lalu Presiden SBY
mengumumkan telah menutup 9.294 rekening
liar di sejumlah Kementerian/Lembaga dengan nilai tidak tanggung-tanggung mencapai Rp. 15 Triliun. Ribuan rekening itu
telah ada sejak tahun 2007 dan merupakan bagian dari 46.586 rekening yang
ditertibkan oleh Kementerian Keuangan.
Diluar rekening liar, public juga akrab dengan
istilah “rekening gendut” yang kesohor terkait jajaran kepolisian dan kejaksaan,
juga pada beberapa orang staf Pemda dengan level jabatan rendah. Belakangan,
terungkapnya temuan rekening gendut yang mulai bergeser ke staf level lebih
rendah di berbagai institusi pemerintah juga terkonfirmasi oleh peningkatan
pesat transaksi mencurigakan pada pelaku pegawai negeri dengan usia jauh lebih
muda, dibanding kondisi sebelumnya (PPATK, 2012).
Hemat saya pribadi, potensi rekening-rekening liar
atau rekening ilegal di Pemda dapat muncul pada beberapa lokus kegiatan. Pertama,
dalam kegiatan kerjasama pengelolaan asset daerah dengan pihak ketiga, saat
target penerimaan sengaja diturunkan dari potensi tersedia. Jika pembayaran
kewajiban pihak ketiga sering ditunda hingga menumpuk, bisa jadi sesuatu sedang
berlangsung, rekening liar dibuat dan
uang tak kunjung masuk ke kas daerah.
Titik kedua,
pada kegiatan investasi dan penyertaan modal baik pada perusahaan sendiri
maupun pihak ketiga. Praktek mark-down
kewajiban baik berupa royalti maupun deviden mungkin terjadi. Dalam kasus pihak
penyetor tak mengerti bahwa mereka mengirimkan dana ke rekening liar, praktek moral hazard petugas negerilah yang
memungkinkannya terjadi. Namun jauh lebih sulit jika praktek seperti ini telah
menjadi “kode” atau standar umum yang berlaku saat berbagi peluang mengelola
kekayaan daerah. Artinya semua pihak sudah tahu-sama-tahu. Jika demikian
keadaannya, sangat mungkin, uang mengalir mencari tempat yang lebih tinggi.
Peluang munculnya rekening liar ketiga terkait dengan belanja daerah. Locusnya
dalam pelaksanaan proyek dan kegiatan pemerintah, dan menyangkut nominal yang jauh
lebih besar. Jika proyek tak juga selesai pada akhir tahun anggaran, bisa saja
dilaporkan proyek itu sudah selesai dan dana proyek ditarik dahulu dan
ditampung dalam sebuah rekening yang kesohor disebut “rekening tampungan”. Proyek-proyek
fiktif (laporan kelar tapi tidak ada pelaksanaan kerja) juga bisa menempuh cara
serupa. Karenanya pengendalian pelaksanaan kegiatan APBD perlu diperbaiki.
PPATK
Perhatikan Daerah
Memangnya apa yang bisa dilakukan ketika rekening liar
masih terus muncul? Sialnya, belum ditemukan solusi praktis untuk pertanyaan
menantang ini. Perlu pemeriksaan mendalam untuk memetakan titik lemah dalam
sub-sistem birokrasi yang rawan dan bagaimana modus penggunaan rekening.
Menemu-kenali masalah akan cukup sulit, karena jika didalami oleh pihak luar melalui
jalur birokrasi aksesnya dipastikan tertutup. Lebih mudah bila ada pejabat
inspektur yang gigih menelisik dan berupaya memperbaiki keadaan di daerah. Bagus
juga jikalau ada contoh kasus yang dibawa ke pengadilan, sehingga hasil
penelusuran dan pembuktian aparat penegak hukum maupun rekaman persidangan bisa membuka tabir
mengenai apa yang sebenarnya berlangsung. Tapi rekam-jejak indikasi kerugian
keuangan negara di daerah yang disampaikan BPK-RI kepada aparat penegak hukum,
sesuai perintah undang-undang, selama bertahun-tahun memang meragukan. BPK
memang abai soal ini!
Meski demikian, sebagai pijakan awal, PPATK (Pusat
Pemantauan dan Analisis Transaksi Keuangan) penting meluaskan perhatiannya
terhadap praktek transaksi dana publik di daerah yang melibatkan penggunaan
rekening ilegal. Demikian pula, perlu komitmen
kuat agar semua transaksi harus dilakukan melalui perbankan (bukan cash), agar aliran dana-dana itu (yang
bisa jadi bersumber dari hasil korupsi dan pencucian uang) bisa mudah dipantau.
Tentu saja kita juga menunggu tindakan strategis para wakil rakyat yang
bertugas mengawasi pemerintahan di Gedung Dewan Lobar mengenai temuan rekening liar
ini, alih-alih sekedar sumbang komentar di koran untuk tujuan riuhnya panggung
selebritas. Gairah para wartawan dan organisasi watchdog pemantau korupsi yang bersikeras membuka dan menelisiknya
juga penting. Agar rekening ilegal bukannya selalu dikaburkan menjadi siluman,
dan akhirnya benar-benar hilang dan tidak tercatat dalam kolom akun kekayaan publik.
ERVYN KAFFAH
Sekretaris Jenderal FITRA NTB
*Dimuat SUARA NTB Edisi 21 Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar