Studi Kasus
Pengembangan Kawasan Wisata Terpadu Pantai Kute Putri Nyale atau Kawasan Mandalika,
Lombok Tengah.
Naskah berikut ini mencoba menguraikan gambaran korupsi di Nusa Tenggara
Barat pada Era Orde Baru, khususnya di Pulau Lombok. Di dalamnya mengkaji
postur korupsi yang terjadi dalam pengembangan Kawasan Wisata Terpadu Pantai
Kute Putri Nyale (juga dikenal sebagai Kawasan Mandalika), yang saat
itu berada dibawah pengelolaan perusahaan managemen PT. LTDC. Pendek cerita,
pola pengelolaan pariwisata saat itu menyebabkan lahan strategis kawasan wisata
ini menjadi agunan bank oleh pengusaha PT. Rajawali guna memperoleh kredit sindikasi perbankan. Saat kredit pengusaha macet, masuk dalam pengawasan
BPPN, lahan kemudian dikonversi dengan hutang pengusaha. Apa boleh
buat, dana bank telah terkuras, sementara pengembangan kepariwisataan
terbengkalai. Lahan kemudian berada dalam penguasaan pemerintah pusat.
Belakangan ini, Presiden Joko Widodo menyatakan tertarik mengembangkan kawasan wisata Mandalika. Bahkan akan dikucurkan dana sebesar Rp. 1,8 Trilyun untuk modal awal pengembangan kawasan ini (Posisi Mei 2015). Sebelumnya, pengelolaan kawasan ini telah diserahkan kepada PT. BTDC (Bali Tourism Development Corporation). BTDC sendiri, konon situasinya sedang megap-megap, karena memiliki kewajiban hutang sekitar Rp. 1,5 Trilyun.
Naskah ini merupakan bagian dari naskah lebih lengkap yang saya susun sebelumnya, berjudul ”POLITIK KORUPSI DI NUSA TENGGARA BARAT”, mengupas mengenai postur korupsi di NTB sejak Era Orde Baru, Era Reformasi sampai masa-masa awal ketika Era Otonomi Daerah mulai berjalan. Naskah lengkap dapat dibaca dalam buku: FIQH KORUPSI; Amanah vs Kekuasaan. Ervyn Kaffah & Moh. Asyiq Amrulloh (Eds.), SOMASI NTB, 2013.
Jejak-jejak Bisnis Keluarga Cendana dan Kroni di NTB
Sistem politik yang terpusat menyebabkan rantai-rantai bisnis keluarga
Soeharto beserta pengusaha yang menjadi kroninya tersebar dan menjangkau sampai
ke daerah-daerah. Ada cukup banyak data untuk menegaskan bahwa pada era orde
baru bisnis Keluarga Cendana telah
menjangkau sampai ke NTB.
Hasil penelusuran Kanwil Badan Pertanahan Nasional NTB hingga Oktober 1998,
Keluarga Soeharto diketahui menguasai 923 ha tanah di NTB. Masing-masing atas
nama PT Pengembangan Pariwisata Lombok
atau PT PPL (893 ha), PT Istana Putri Mandalika (2 ha)
dan PT Pecatu Indah Brick (27,5 ha). Dua perusahaan pertama terkait dengan nama
Siti Hardijanti Rukmana, atau Mbak Tutut.
PT. PPL mayoritas sahamnya
dikuasai PT Rajawali Corp milik Tutut Soeharto, Indra Rukmana dan Peter
Sondakh, sementara PT Istana Putri Mandalika 80 persen sahamnya dikuasai oleh
PT Rajawali Corp.[1]
PT. Pecatu Indah Brick yang mengusahakan pabrik bata dan bahan galian serta gudang pabrik yang dikembangkan di atas tanah seluas 27 ha di Desa Batu Nampar, Kecamatan Keruak, Lombok Timur, tak lain adalah milik Tommy Soeharto, putra Jenderal Soeharto. Bukan hanya itu, karena di Kecamatan yang sama, tepatnya di Dusun Pemongkong, PT. Nusamba milik Soeharto dan Bob Hasan juga menguasai lahan seluas 302 ha, yang rencananya akan dijadikan lokasi kilang minyak.
Di luar itu patut dicatat pula adanya dugaan bahwa lahan di kawasan wisata Pulau Moyo Kabupaten Sumbawa pun dimiliki oleh Keluarga Soeharto. Telah lama memang terdengar tanah tersebut adalah milik Tutut dan Probosutedjo. Tutut pun menurut laporan masyarakat diduga memiliki lahan bawang putih seluas 126 ha di Desa Sembalun, Kabupaten Lombok Timur.
Itu belum
semuanya, Tutut juga dikabarkan memiliki sebuah hotel di kawasan wisata Lakey,
Hu’u, Kabupaten Dompu.[2] Sementara itu, Group Rajawali pun masih memiliki
bisnis lain, misalnya sebuah hotel di kawasan wisata Senggigi, Kabupaten Lombok
Barat, bernama Hotel Sheraton Senggigi.[3]
Pada beberapa praktek bisnis yang dilakukan, keterlibatan penguasa di daerah yang nota bene adalah jajaran militer dalam banyak kasus kerap kali merupakan tiang pendukung berlangsungnya praktek bisnis ini. Hal ini terlihat jelas dalam kegiatan pengembangan kepariwisataan NTB.
Pengembangan Pariwisata Berbuah Penggusuran
Selama awal tahun 1990-an postur kebijakan
pembangunan yang cukup mendapatkan
prioritas pemerintah daerah adalah maraknya pengembangan kawasan pariwisata,
yang merupakan bagian dari strategi pemerintahan pada masa pemerintahan
gubernur NTB ke tiga, Warsito. Namun praktek pengembangan kepariwisataan NTB
bagaimanapun tidak dapat disempitkan hanya dalam kacamata program utama yang digalakkan
oleh Warsito pada masa pemerintahannya, bahkan bisa disebut bahwa kegiatan
pengembangan kepariwisataan ini merupakan bagian dari strategi nasional
berkaitan dengan kebijakan pemerintah RI
untuk membuka diri bagi investasi
luar negeri.
Sejarah awal kepariwisataan NTB dimulai pada
tahun 1967, lewat SK Gubernur Kdh Tk I NTB No. 256/Sek.1/3/1967 tertanggal 28 Mei 1967, saat Pemda membentuk Badan Pembimbing
Pariwisata Daerah untuk merencanakan pengembangan industri pariwisata NTB yang
pada saat itu dipusatkan di Lombok, terutama Lombok Barat.[4]
Sementara pengembangan industri pariwisata NTB dimulai dari sebuah
study perencanaan pengembangan pariwisata yang disponsori oleh United
Nations Development Programme (UNDP) dan World Trade Organization
(WTO) tahun 1987.[5]
Pada tahun 1987 disusun Rencana Induk Pengembangan
Pariwisata Pulau Lombok. Hasil penelitian, analisis dan perencanaan WTO/JPC
dengan biaya dari pemerintah pusat dan UNDP merekomendasikan beberapa lokasi
yang layak menjadi daerah pengembangan pariwisata di Lombok Barat dan Lombok
Tengah. Hal ini yang kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Daerah
Nomor 9 tahun 1989 yang menetapkan 16 lokasi sebagai titik pariwisata di NTB.
Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 10 Juli 1990 Pemerintah Daerah Tingkat I
Nusa Tenggara Barat kemudian menetapkan Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 1990
tentang Usaha Kawasan Pariwisata.
Secara garis besar tipologi industri pariwisata di NTB terbagi menjadi tiga, Pertama, pengembangan industri pariwisata yang berbentuk persaingan pasar (competitive market), Kedua, Pengembangan industri pariwisata yang diserahkan kepada badan otorita atau perseroan terbatas (PT), dan ketiga, pengembangan industri pariwisata atas inisiatif masyarakat lokal (pariwisata kerakyatan).[6]
Pada tipe pertama, tipologi perkembangan didasarkan pada persaingan antar investor untuk menanamkan modal pada sebuah kawasan pariwisata. Demikian pula dengan transaksi jual beli tanah, mereka langsung berhubungan dengan pemilik tanah. Tipologi seperti ini dapat dijumpai di Kawasan Wisata Senggigi. Sementara pada pengembangan pariwisata tipe kedua, Pemerintah Daerah memberi konsesi lahan dengan luas tertentu kepada sebuah badan otorita (corporation). Di sini campur tangan pemerintah cukup besar, terutama dalam penyediaan lahan kawasan pariwisata yang tidak jarang dilakukan dengan cara “paksa”. Dari berbagai kasus, tipologi industri pariwisata ini tidak banyak memberi akses bagi masyarakat lokal menikmati hasil industri pariwisata. Selama ini, tipologi industri pariwisata ini menggusur masyarakat lokal. Setelah melakukan “pembebasan tanah”, tidak sedikit investor (baca : PT) yang menelantarkan tanahnya.
Dari aspek pengelolaan, kedua badan ini memiliki perbedaan. Badan otorita menguasai sebuah kawasan pariwisata yang kemudian dapat mengundang investor untuk menanamkan modalnya. Sebagai contoh misalnya, Lombok Tourism Develompment Corporation (LTDC) atau PT. Pengembangan Pariwisata Lombok (PT PPL) di Kuta. Sedangkan PT yang bukan badan otorita menguasai sebuah kawasan industri pariwisata dengan inisiatif sendiri membangun sarana dan prasarana pariwisata pada kawasan yang dikuasainya. Bentuk badan ini misalnya, PT Gili Trawangan Indah, PT. Pengembangan Pariwisata Sire, PT . Sinar Rowok Indah, PT. Moyo Safari Abadi dan lain-lain.
Sementara itu, untuk tipe ketiga, masyarakat lokal mengembangkan industri pariwisata berskala kecil dengan fasilitas sarana pariwisata sederhana. Namun dalam perjalanannya, sebagian mereka dapat mengembangkan fasilitas pariwisata dengan skala menengah. Umumnya bentuk industri pariwisata kerakyatan inilah yang mengawali industri pariwisata di NTB. Tipologi industri pariwisata semacam ini dapat dijumpai di Gili Trawangan, Gili Meno, Gili Air, Tete Batu, dll.
Dan sebagaimana bisa disaksikan, pada perkembangan selanjutnya
proses pengembangan berbagai kawasan wisata yang telah diancangkan itu malah memunculkan sejumlah persoalan,
khususnya berkaitan dengan proses penyediaan kawasan wisata yang dilakukan dengan
penggusuran tanah rakyat. Penggusuran ini terjadi dan menyebar di sejumlah
daerah wisata, diantaranya Gili
Trawangan, Kuta, Sekotong, Mekaki, Rowok, Selong Blanak, Mawun, Sire, Gerupuk,
dan berbagai wilayah lainnya. Praktek penggusuran juga terjadi dalam penyediaan
infrastruktur pendukung pariwisata. Misalnya, rencana pembangunan Bandara udara Internasional Penujak, Lombok Tengah untuk mendukung
Kawasan Wisata Kuta, telah menggusur ratusan keluarga petani dari tiga desa,
yakni Penujak, Tanak Awu dan Ketare. Yang juga memprihatinkan banyak kawasan
yang sudah dibebaskan kemudian ditelantarkan oleh investor.
Di Kawasan Senggigi, Lombok Barat, sebagai titik awal pengembangan
kawasan pariwisata NTB yang dimulai sejak 1989, proses pembelian tanah
berlangsung tertutup karena pemilik tanah tidak mengetahui tanahnya akan dikembangkan sebagai areal pariwisata.
Pada saat itu, harga tanah hanya berkisar Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu per are,
sangat murah untuk ukuran kawasan
pariwisata. Sebagian dari mereka ramai-ramai menjual tanah, apalagi ada pembeli
(calo) yang sanggup membeli dengan harga dua kali lipat. Tanah itu kemudian
dijual lagi oleh pembeli (calo) kepada para pengusaha dengan harga mencapai
ratusan ribu per are. Apabila pemilik tanah menolak menjual, pihak pengusaha atau calo menggunakan oknum
pemerintah untuk memaksa mereka menjual tanah atau menekan harga dengan dalih
pembangunan dan kepentingan umum.[7]
Sementara itu di Kawasan Gili Trawangan, sebuah pulau di tengah laut di Kabupaten Lombok Barat yang mulai ramai dikunjungi wisatawan sejak tahun 1980-an, nampak jelas bagaimana pemerintah sangat berpihak kepada para investor dalam pengembangan kawasan. Awalnya, pariwisata kerakyatan terlihat berkembang cukup baik dan warga mendirikan bungalow dan restoran bagi para wisatawan. Mimpi buruk itu datang ketika Pemda Lombok Barat melakukan penggusuran pada 1992, 1993 dan 1995. Dengan gergaji mesin (chainsaw), puluhan rumah penduduk, restoran dan bungalow dirobohkan secara paksa. Aksi penggusuran terakhir melibatkan puluhan aparat militer dan kepolisian serta ratusan warga yang sengaja didatangkan dari Pulau Lombok oleh Pemda. Pemda berdalih bahwa penduduk tidak berhak menguasai lahan HGU yang ditelantarkan. Tahun 1995, Pemda melakukan kontrak produksi dengan PT Gili Trawangan Indah (PT GTI) di atas bekas HGU yang sebelumnya banyak berdiri sarana akomodasi dan restoran penduduk. Ketimbang memberikan akses kepada masyarakat untuk mengembangkan pariwisata, pemerintah lebih memilih untuk memberi hak kelola kepada PT GTI, padahal sejak tahun 1983 sebenarnya penduduk sudah mengajukan permohonan hak kepemilikan kepada Pemda.[8]
Kasus lainnya terjadi di Rowok, Desa Selong Belanak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah. Setelah proses pembebasan tanah melalui penipuan, masyarakat diperintahkan untuk mengosongkan Dusun Rowok. Namun masyarakat tidak bergeming dari tanahnya. Sialnya, saat masyarakat menunggu hasil penyelesaian secara musyawarah dengan pihak pemerintah, Pemda Lombok Tengah malah mengeluarkan surat perintah pengosongan Kawasan Rowok. Pada tanggal 18 Juni 1994 Bupati Lombok Tengah melakukan eksekusi secara paksa dengan membentuk tim gabungan sebagai eksekutor yang terdiri dari satu truk pasukan angkatan darat yang dipimpin langsung oleh Dandim Lombok Tengah, satu truk hansip dan beberapa jenis mobil dinas lainnya dengan jumlah personil diperkirakan lebih kurang 90 orang. Rowok memang berhasil dikosongkan. Penduduk yang semula hendak bertahan diangkut dengan menggunakan 22 truk ke Desa Kateng. Diantara mereka ada yang terluka karena sabetan parang dan ada pula yang patah tangan karena pukulan kayu.[9]
Dalam semua proses penyediaan tanah tersebut, peran militer sangatlah kental. Peran yang dimainkan militer dapat dibedakan dalam dua level. Pertama, pada level atas, ketika sejumlah pejabat eksekutif yang notabene berasal dari militer menjadi negosiator, penglancar kegiatan penyediaan lahan dengan memperkuat aturan-aturan legal yang dibutuhkan sekaligus eksekutor penyediaan tanah untuk kepentingan pariwisata. Peran kedua, pada level bawah, dimana pasukan militer berperan sebagai “aparat penggusur” dan “peredam” bila ada gejolak-gejolak dalam proses penyediaan tanah.
Yang juga cukup penting untuk dilihat pada beberapa postur kasus pertanahan tersebut, kerap kali Kantor Direktorat Sosial Politik (Kaditsospol) baik di tingkat kabupaten atau pun pada tingkat provinsi pun ikut mengambil peran sebagai pihak yang ikut melakukan intimidasi.[10]
Praktek bisnis di sektor pariwisata yang paling memadai untuk menjelaskan rantai bisnis keluarga cendana dengan keterlibatan penguasa militer sebagai tiang pendukungnya akan sangat terlihat dalam kasus LTDC, yang melibatkan perampasan tanah masyarakat di Kawasan Pantai Kuta di Kabupaten Lombok Tengah dan praktek penipuan sindikasi perbankan. Sebagai buntutnya, asset tanah di kawasan ini kemudian masuk sebagai salah satu bentuk agunan Group Rajawali kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kasus ini pun memperlihatkan betapa berkuasanya eksekutif daerah pada era orde baru berkuasa, karena keputusan-keputusan eksekutif yang semestinya mendapat persetujuan dari legislatif dapat dilakukan tanpa persetujuan secara formal dari pihak legislatif. Tentu saja hal ini pun terkait erat dengan struktur politik yang waktu itu dikuasai oleh Golkar dan militer. Pada bagian berikut akan diberikan ulasan yang cukup detail tentang postur kasus tersebut serta perkembangan dan posisi terakhirnya hingga tahun 2000.
Kasus LTDC : Bisnis Keluarga Cendana dan Kroni dengan Dukungan Penguasa Militer
Kawasan Wisata terpadu Pantai Kute Puteri Nyale
adalah salah satu kawasan yang telah ditetapkan sebagai daerah tujuan wisata
sesuai Perda Nomor 9 Tahun 1989. Untuk mengelola kawasan ini dibentuklah PT. PPL (PT. Pengembangan
Pariwisata Lombok) atau LTDC (Lombok Tourism Development Corporation), sebuah
kolaborasi antara pihak Pemda NTB (35 %) dengan PT Rajawali Bhakti Utama (65%)
dengan modal dasar sebesar Rp 2 Miliar, melalui Perjanjian Dasar yang
ditandatangani pada tanggal 3 Mei 1989.
Menurut Perjanjian Dasar yang ditandatangani Warsito sebagai Gubernur NTB dan Pieter Sondakh sebagai direktur PT. Rajawali Bhakti Utama, disebutkan bahwa areal pengembangan pariwisata sebesar 500 Ha dengan masa kerjasama berlaku selama 70 tahun dan setelah itu seluruh saham PT. PPL diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Sebelumnya, memang telah ada kesepakatan untuk membentuk sebuah perusahaan kawasan pariwisata antara pihak Pemda NTB dengan PT. Rajawali Bhakti Utama, dalam bentuk perusahaan patungan yang akan bergerak di bidang perencanaan, pembangunan dan pematangan lahan kawasan, pemasaran dan pengelolaan pariwisata. Kesepakatan ditempuh melalui Perjanjian Pendahuluan yang dtandatangani tanggal 9 Februari 1989. Dalam perjanjian tersebut ditetapkan bahwa Pihak PT Rajawali akan mengusahakan keperluan pendanaan, menyediakan tenaga-tenaga ahli, memberikan bimbingan teknis dan manajemen. Sementara pihak Pemda membantu membebaskan tanah kawasan yang diperlukan dengan dana yang disediakan oleh perusahaan patungan yang akan dibentuk, mengurus semua perijinan, memberikan bimbingan dan pengarahan sesuai dengan kebijaksanaan umum pemerintah.
Pada tanggal 24 September 1991 adendum II Perjanjian Dasar menyepakati perluasan kawasan dari semula hanya 500 ha menjadi 1250 Ha. Sebelumnya dalam adendum I Perjanjian Dasar tanggal 24 Oktober 1989 disepakati perubahan untuk jangka waktu kerjasama, dari semula 70 tahun, berubah hanya menjadi 35 tahun yang dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu 35 tahun lagi dan setelah berakhirnya jangka waktu tersebut semua saham diserahkan kepada pemerintah daerah. Poin yang juga cukup penting untuk diperhatikan adalah masalah pembebasan tanah. Disebutkan bahwa pembebasan tanah oleh perseroan dengan memperhatikan harga ganti rugi yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lombok Tengah.
Tidak cukup dengan itu, pada tanggal 24 November 1995 Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan PT. PPL memutuskan meningkatkan modal dasar menjadi Rp. 150 miliar dengan menyetujui masuknya PT Tridan Satriaputra Indonesia.[11] Sehingga komposisi pemilikan saham pun berubah PT Rajawali Wirabhakti 45 %, PT Tridan Satriaputra Indonesia 45 % dan Pemda NTB 10 %.
Namun cita-cita besar untuk mengembangkan kawasan pariwisata itu kandas ditengah jalan. Proses pembebasan lahan yang penuh dengan intimidasi dan pemaksaan melahirkan protes dari masyarakat pemilik lahan sekitar kawasan. Dimulai dari awal tahun 90-an, setelah reformasi 1998 desakan bagi dituntaskannya kasus pembebasan lahan di sekitar kawasan kuta makin kuat. Bahkan pihak DPRD NTB sendiri kemudian membentuk Panitia Khusus (Pansus) Pertanahan.[12]
PT. PPL sendiri sampai tahun 2003 ini, baru mampu merealisasikan satu hotel, jauh berbeda dengan rencana awal untuk membangun sebuah kawasan wisata terpadu dengan fasilitas yang lengkap. Apalagi, belakangan PT. PPL –yang assetnya diperhitungkan sebagai bagian dari Group Rajawali-- akhirnya diambil alih BPPN karena kredit macet.
Beberapa persoalan yang muncul dalam kegiatan pengembangan kawasan Kuta Lombok Tengah secara bersama-sama memperlihatkan jalinan yang saling berhubungan dan menunjukkan adanya tingkat konspirasi yang erat diantara jaringan bisnis keluarga cendana dan kroni-kroninya yang ditopang oleh jaringan kekuasaan militer di daerah.
Beberapa persoalan mendasar yang terjadi dalam kasus pengembangan kawasan wisata Kuta terdiri dari : pertama, pembebasan lahan yang penuh dengan intimidasi dan pemaksaan dengan standar harga yang rendah. Kedua, perluasan lahan dari 500 ha menjadi 750 Ha yang bertentangan dengan Peraturan Daerah. Ketiga, Adanya indikasi mark-up harga tanah yang telah dibebaskan sebagai jaminan kredit. Keempat, Adanya indikasi membobol sindikat perbankan guna memperoleh kredit, dan Kelima, indikasi penggunaan modal perusahaan oleh PT Rajawali Corporation untuk menyertakan saham pada perusahaan yang masih termasuk satu sindikasi usaha (Group Rajawali).
Intimidasi dan pemaksaan dalam pembebasan lahan
Persoalan pembebasan lahan dapat ditelusuri sejak Perjanjian Pendahuluan
antara pihak PT. Rajawali Bhakti Utama dan Pemda NTB ditandatangani. Menurut
perjanjian ini Pemda NTB menyanggupi
untuk membantu proses pengadaan tanah yang akan dilakukan perseroan.
Untuk melakukan hal itu, pihak Pemda NTB telah membentuk Tim Satu Atap.
Namun ketimbang melaksanakan fungsinya untuk mencegah ikut campurnya pihak
ketiga seperti kuasa, perantara, dll, yang dapat merugikan kepentingan para
pihak, terutama para pemilik tanah[13], tim satu atap yang dibentuk pemerintah dalam proses pembebasan selalu
berperan aktif membantu PT PPL dalam menetapkan harga ganti rugi.
Menurut GARAP NTB[14], itu berarti dalam proses pembebasan tanah tersebut cacat hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata jo Pasal 1321, 1323, 1324 KUH Perdata tentang tidak sahnya atau batalnya suatu perjanjian karena adanya pemaksaan.[15]
GARAP NTB mencatat berbagai macam intimidasi, pemaksaan dan penipuan dalam proses pembebasan lahan[16], yang dibagi dalam empat kategori. Kategori pertama, Intimidasi fisik berupa pembongkaran dan pembakaran rumah, intimidasi oleh polisi-tentara dan satpam PT. PPL maupun penahanan di kepolisian dan pengadilan. Kedua, adalah intimidasi lewat ancaman-ancaman secara langsung (tatap muka). Kategori ketiga, intimidasi lewat tekanan psikologis. Dan kategori terakhir adalah penipuan dalam proses pembebasan lahan.
Pembenarannya dapat ditemukan dalam Laporan (Pertama, tambahan penulis) Pansus Pertanahan DPRD Provinsi NTB[17] yang menegaskan bahwa proses pembebasan lahan, berjalan tidak normal antara lain dengan adanya indikasi pemaksaan dengan berbagai cara dan tindakan seperti provokasi, intimidasi, tidak memperhatikan hubungan emosional antara pemilik tanah dan pemilik perusahaan pariwisata yang sudah existing sejak 1987. Pansus pun menegaskan bahwa posisi warga masyarakat pemilik tanah dalam hal tawar menawar harga tanah, ganti rugi bangunan dan tanaman sangat terbatas[18] karena diikat dengan SK Bupati Lombok Tengah yang sesungguhnya diterbitkan bukan untuk maksud tersebut[19].
Perluasan Lahan dari 500 Ha menjadi 1250 Ha melanggar Peraturan Daerah
Landasan bagi diambilnya
langkah perluasan lahan pengembangan pariwisata sampai saat ini masih
kabur. Pihak PT. PPL menyebut bahwa perluasan itu dilatari oleh adanya
peningkatan investasi yang melonjak jauh diatas perkiraan sebelumnya yang
berlandaskan prinsip ‘economies of scale’ dalam setiap kegiatan
berusaha. Meningkatnya investasi ini oleh PT. PPL didasarkan pada argumentasi bahwa pada proses
pembebasan lahan telah terjadi peningkatan jumlah pembayaran untuk pembebasan
lahan, sebagai akibat dari meningkatnya jumlah klaim ganti rugi pembebasan
lahan, dengan munculnya para spekulan tanah. Pihak PT. PPL awalnya meyakini bahwa bagian terbesar dari
lahan di lokasi ini berstatus tanah negara bebas dan oleh karenanya semata-mata
terpaut proses pembebasan yang relatif cepat.[20]
Menurut
Adendum II Perjanjian Dasar antara Pihak Pemda NTB dan PT Rajawali Bhakti
Utama, para pihak menyetujui pengembangan kawasan dari 500 Ha menjadi 1250 Ha.
Sementara untuk pembebasan lahan oleh perseroan akan dilakukan dengan
memperhatikan harga ganti rugi yang ditetapkan dengan surat keputusan Bupati
Kdh Tingkat II Lombok Tengah. Hal ini kemudian diperkuat dengan keluarnya izin
perluasan lahan[21] dari Gubernur NTB, H. Warsito. Keluarnya izin perluasan lahan dari
Gubernur NTB ini dapat dianggap “cacat hukum” karena bila merujuk Peraturan
Daerah No.7 Tahun 1990 tentang Usaha Kawasan Pariwisata, perluasan tersebut
sebenarnya telah melewati ketentuan. Menurut Perda ini, perluasan lahan hanya
diperbolehkan sampai 50 % dari luas areal semula 500 ha yang telah mendapat
izin dan persetujuan DPRD.[22] Keluarnya ijin perluasan ini patut diduga sebagai bentuk penyalahgunaan
kekuasaan oleh gubernur NTB saat itu.
Yang juga menarik didiskusikan adalah ketidaktahuan pihak DPRD terhadap keluarnya izin perluasan lahan tersebut. Hal ini memang masih debatable, namun dengan menilai postur DPRD pada saat itu, selain hipotesis bahwa DPRD tidak tahu menahu tentang keluarnya izin tersebut, hipotesis lain yang juga tidak bisa diabaikan adalah bisa saja pihak DPRD juga mengetahui hal ini namun mengambil sikap diam atau merestui secara diam-diam[23]. Namun keluarnya izin tersebut telah menjadi legitimasi bagi PT. PPL untuk melaksanakan perluasan lahan.
Akan halnya rencana mengeluarkan ketetapan tentang standar harga tanah
untuk keperluan pembebasan lahan, hasil kerja Pansus menyebut bahwa Bupati
Lombok Tengah sebenarnya tidak pernah mengeluarkan SK untuk keperluan tersebut.
Pada prakteknya di lapangan pihak perseroan menggunakan SK Bupati tentang penetapan harga tanah yang
rutin diterbitkan setiap tahun.[24] Meski demikian, jika menyimak SK penetapan harga tanah yang yang rutin
dikeluarkan Bupati Lombok Tengah, sejak
tahun 1990 hingga tahun 1993 di dalam konsideransnya juga telah menyebutkan
perlunya penetapan standar harga dasar tanah tersendiri, yang tidak didasarkan
pada klas tanah untuk penetapan pajak hasil namun lebih dititikberatkan pada
nilai strategis menurut letak lokasi. Bila dicermati bagian isi sejumlah SK
pada kurun waktu tersebut memang jelas
terlihat pengaturan harga tanah di daerah sekitar kawasan Kuta.[25]
Mark up harga tanah sebagai jaminan kepada sindikasi perbankan
Setelah
proses pembebasan lahan dengan harga yang rendah, pihak PT. PPL diindikasikan
telah melakukan mark up harga tanah yang dibebaskan. Harga mark up
inilah yang menjadi dasar bagi perhitungan besarnya nilai jaminan tanah untuk
mendapatkan kredit kepada sindikasi perbankan yang terdiri atas Bapindo, BNI
1946 dan BDN.
Untuk membandingkan hal tersebut, data penjaminan PT. PPL yang sekarang berada di bawah pengawasan BPPN dapat menjadi jalan masuk untuk menelusurinya. Menurut MoU menyangkut PT PPL dan Rajawali Corp di BPPN, salah satu bentuk jaminan yang diserahkan adalah tanah seluas 1,192 ha di Lombok.[26] Hasil penilaian BPPN menyebut harga tanah yang diserahkan tidak sesuai dengan harga yang wajar karena nilai yang diserahkan terlalu tinggi.[27]
Upaya membandingkan antara harga pembebasan menurut pengakuan masyarakat (termasuk laporan pansus) dengan realisasi pembayaran pembebasan lahan oleh pihak PT. PPL pun menemukan adanya perbedaan yang sangat tajam. Hitung saja. Sampai tanggal 27 Juni 1998, menurut Pansus Pertanahan, telah dibebaskan tanah seluas 1192, 38 Ha. Sampai saat ini, tanah tersebut telah memperoleh status hak yaitu :
a. Yang sudah berstatus HGB …………………… 895,50 Ha.
b. Status APHAT ………………………………….. 296,88 Ha.
Dengan mengambil harga rata-rata per meter tanah sebesar Rp. Rp. 2700/m2, untuk tanah yang telah dibebaskan seluas 1192,38 ha diperoleh kisaran harga sebesar Rp. 315.942.600.000 (Rp. 315 miliar).
Namun jika membandingkannya terhadap data realisasi pembayaran tanah oleh pihak PT. PPL, dilaporkan bahwa sampai akhir Bulan Mei 1999 menurut neraca akhir Bulan Mei 1999 tertera nilai pembebasan lahan sebesar Rp. 1.473.961.738.805.- (Rp. 1,473 triliun) (lihat tabel 1). Artinya terdapat selisih antara nilai investasi tanah (pada Mei 1999) dengan harga pembebasan riil di lapangan.
Tabel 1. Neraca Akhir tahun Nilai Investasi Tanah PT.PPL Sejak 1989 s.d. 1999
Posisi
akhir tahun
|
Nilai Investasi Tanah (Rp)
|
1989
|
568.903.216
|
1990
|
118.869.834.830
|
1991
|
168.431.708.724
|
1992
|
210.983.813.931
|
1993
|
244.696.542.792
|
1994
|
308.381.406.654
|
1995
|
354.185.431.878
|
1996
|
395.820.587.158
|
1997
|
709.390.532.380
|
1998
|
1.344.433.251.956
|
1999
(Mei 1999)
|
1.473.961.738.805
|
Sumber : Laporan (Pertama) Pansus Pertanahan DPRD Provinsi NTB, 6
Maret 2000
Soal ini, Jan Arifin yang mewakili pihak PT. PPL di depan Pansus DPRD NTB menyebut bahwa angka tersebut hanya akal-akalan pihak perusahaan saja. Menurut Jan, angka tersebut bukanlah angka sebenarnya, angka tersebut hanya mainan akuntansi agar perusahaan kelihatan bonafid.[28]
Pengakuan dari para pemilik lahan khususnya pada saat jual-beli terjadi makin memperjelas praktek awal untuk memuluskan praktek mark-up harga tersebut. Menurut pengakuan petani pemilik lahan, pada saat jual beli terjadi mereka hanya disodorkan kesepakatan jual beli yang masih kosong, dan diminta mengisinya dengan pinsil.[29]
Indikasi Pembobolan Sindikasi Perbankan
Awalnya, sesuai Perjanjian dasar
yang ditandatangani 3 Mei 1989, modal dasar PT. PPL (LTDC) adalah Rp. 2 miliar dengan komposisi
pemilikan saham 65 % untuk PT Rajawali Bhakti Utama (kemudian berubah menjadi
PT Rajawali Corporation) dan 35 % untuk Pemerintah Provinsi NTB. Namun pada
tahun 1995, RUPS tahunan pada tanggal 24 November 1995 menyetujui masuknya PT
Tridan Satriaputra Indonesia sehingga modal dasar berubah menjadi Rp 150 miliar
dan terjadi perubahan dalam komposisi kepemilikan saham masing-masing PT
Rajawali Corp. Rp. 67,5 miliar (45 %), PT. Tridan Satriaputra Indonesia Rp. 67,5 miliar
(45 %) dan Pemda NTB Rp. 15 miliar (10 %).
Tapi bukan hanya itu. Meski laporan pertama Pansus hanya menyebut 3 pemilik saham, namun sudah menjadi pengetahuan publik mengenai adanya pihak lain yang juga ikut bergabung. Pemegang saham baru tersebut adalah PT. Rafindo Mitra Abadi, perusahaan milik putra kedua Habibie, Thareq Kemal Habibie.[30] Dalam laporan Pansus II pun disebutkan bahwa PT. Rafindo pun sebenarnya menjadi salah satu pemegang saham, dengan komposisi kepemilikan saham PT Tridan 60 % (mayoritas), PT Rajawali 20 %, PT Rafindo 10 % dan Pemda NTB 10 %. Inilah yang disebut sebagai “Strategic Alliance”. Menurut keterangan Jan Arifin dari PT. PPL, meski PT Rafindo sempat masuk, namun kemudian “ditendang” karena tidak ada tanda-tanda akan menyetorkan kewajibannya.
Pansus Pertanahan DPRD Provinsi NTB mengaku menemukan data bahwa masing-masing pemegang saham ketika itu tidak memiliki dana segar untuk memenuhi kewajibannya. Dari sisi pemda NTB sendiri, hasil pengecekan dalam APBD Tahun Anggaran 1995/1996, 1996/1997 atau 1997/1998 dan seterusnya memperoleh fakta bahwa tidak ada penyisihan kekayaan daerah untuk menyetorkan harga saham sebesar Rp. 14.300.000.000.-
Keputusan menerima pemegang saham lain tersebut yang dilakukan tanpa menyetorkan dana segar, sebagai kewajiban bagi para pemilik saham, sampai sekarang memang belum ada klarifikasi yang memadai mengenai hal ini. Meski demikian, sebelumnya Jan Arifin yang mewakili PT. PPL, dalam pertemuan antara Pansus Pertanahan DPRD Provinsi NTB dengan pihak PT. PPL, soal kewajiban PT Rajawali Corp sebenarnya telah terlaksana. Ia menjelaskan bahwa pada tahap awal pengembangan, sebelum kredit dari sindikasi perbankan dikucurkan proses pengembangan dibiayai oleh PT Rajawali, dan PT. PPL telah berhutang kepada PT Rajawali sebesar Rp. 68 miliar. Saat kredit turun, tidak satu sen pun dibayarkan kepada PT Rajawali. Maka hutang itu dikonversikan menjadi penyertaan modal PT Rajawali pada perseroan.
Memang cukup masuk akal bila masuknya PT Tridan ini dikaitkan dengan
adanya rencana pembangunan Bandara Internasional[31] di Penujak, Lombok Tengah bagian selatan, yang berjarak sekitar 25 km dari kawasan Wisata Kuta. Dapat
dianalisa bahwa upaya menarik pihak-pihak tersebut sebenarnya lebih dimaksudkan
sebagai salah satu cara untuk “melicinkan jalan” bagi terealisasinya
pembangunan bandara tersebut.
Namun dalam laporan pertama pansus disebutkan bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk dapat membobol sindikat perbankan. Hal ini kemungkinan besar berhubungan dengan upaya memperbesar modal dasar perusahaan.
Apakah Pemda NTB sendiri tahu soal tidak adanya dana yang mengucur ini? Sudah pasti, karena tanpa masuknya dana segar tersebut atas sepengetahuan Warsito, Gubernur NTB. Laporan Pansus menyebutkan :
“….. , tanpa masuknya dana segar “strategi alliance” tersebut diberitahukan kepada saudara Drs. H. Warsito (Pada saat itu Gubernur Nusa Tenggara Barat) dalam pertemuan di Mess NTB Jl. Garut Jakarta pada tanggal 24 Oktober 1995.” [32]
Sayangnya, upaya untuk memanggil Warsito untuk dimintai keterangan tentang hal tersebut sampai saat ini tidak dapat terealisasi. Bahkan mantan gubernur NTB yang menjabat selama dua periode, antara tahun 1987 sampai 1998, ini malah mengajukan gugatan kepada DPRD atas pemanggilannya.[33]
Lantas berapa sebenarnya realisasi kredit yang diterima PT. PPL dari sindikasi perbankan? Menurut Penjelasan Jan Arifin, realisasi kredit yang sebenarnya diterima oleh PT. PPL adalah sebesar US$ 83,02 juta. Hal ini menimbulkan keraguan, pasalnya selanjutnya diperoleh informasi lain yang menyebutkan bahwa jumlah kredit yang dikucurkan mencapai US$ 126,4 juta.[34]
Bagaimana perbedaan data realisasi tersebut bisa terjadi?
Jika menyimak penjelasan Jan Arifin di depan Pansus Pertanahan DPRD NTB
November 2001 silam, studi investasi awal direncanakan sebesar US$ 260 juta,
namun setelah memperhitungkan feedback dari keuntungan jika sudah
dikembangkan, maka investasi yang dibutuhkan hanya sebesar US$ 173 juta.
Sehingga plafond kredit turun menjadi US$ 173 juta. Masih menurut Jan, sebagian
dari jumlah tersebut merupakan kenaikan bunga yang dikapitalisasi, sehingga
plafond kredit sebenarnya adalah US$ 95 juta. Realisasi kredit sebenarnya menurut Jan adalah sebesar US$ 83,02 juta dan
selisihnya merupakan struktur standar kredit investasi.
Menurut data Pansus Pertanahan DPRD Provinsi NTB, sejak tahun 1991 PT. PPL telah memperoleh kredit dari sindikasi perbankan terdiri dari Bapindo, BNI 1946 dan BDN. Berdasar neraca akhir tahun, dapat diketahui bahwa setelah tahun 1995 jumlah kredit yang direalisir memang meningkat secara tajam. (lihat Tabel 2).
Tabel.2. Realisasi Kredit PT. PPL Sejak 1991 s.d. 1999
Posisi
Akhir tahun
|
Nilai
Kredit yang diterima (Rp)
|
1991
|
60.432.300.000
|
1992
|
123.220.593.420
|
1993
|
161.356.525.270.
|
1994
|
186.163.026.603
|
1995
|
223.391.665.631
|
1996
|
268.813.264.085
|
1997
|
585.160.092.898
|
1998
|
1.243.724.764.055
|
1999
(Mei 1999)
|
1.379.718.191.309
|
Sumber : Laporan (pertama) Pansus Pertanahan DPRD Provinsi NTB, 6 Maret 2000
Berapa sebenarnya jumlah
kredit yang diterima PT. PPL sampai sekarang belumlah jelas, pihak Pansus
sendiri tidak pernah memberikan informasi terbuka soal itu[35]. Yang cukup jelas, menurut catatan The Oversight Committee (OC)
BPPN, outstanding kewajiban per
31 Mei 2000 sebesar Rp. 1.128 miliar.[36]
Indikasi Penyimpangan Penggunaan dana kredit untuk membeli saham lain sebesar Rp. 800 Miliar
Praktek penyimpangan lainnya, PT. PPL pun diindikasikan telah melakukan penyimpangan dengan menggunakan sebagian besar dana kucuran kredit, yang diperuntukkan bagi pengembangan usaha di luar pengembangan kawasan pariwisata Kuta. Dana tersebut digunakan untuk membeli saham PT Bentoel sebesar Rp. 800 miliar. Laporan Pansus menyebutkan :
“… Dalam
kapasitasnya sekarang maka panitia khusus belum dapat melacak penyimpangan yang
dilakukan dalam hal peruntukan sebagian besar kredit yang telah diterima oleh
PT PPL yang dipergunakan oleh pihak-pihak diluar perseroan sendiri untuk
membeli saham PT Bentul senilai Rp. 800 milyar.”
Soal kutipan tersebut, dalam setiap kesempatan para pihak selalu menonjolkan bahwa menguapnya dana perusahaan tersebut dipergunakan untuk membeli saham “perusahaan lain”, padahal sebenarnya tidak.
Memang masih belum jelas, PT Bentoel mana yang dimaksudkan oleh Pansus DPRD
NTB. Namun jika menyimak penjelasan Divisi Loan Work Out and Collection
BPPN, Februari 2000 silam, paling tidak ada dua perusahaan yang berkaitan
dengan “Bentoel” yang berada di bawah
pengawasan BPPN, yakni PT Bentoel Prima yang terlibat kredit macet sebesar Rp.
214,3 miliar dan PT Tresno dengan kredit macet sebesar Rp. 83,36 miliar.[37] Bentoel bukanlah nama yang asing di telinga masyarakat Indonesia. Nama
Group Rajawali terkenal dengan produk rokok kretek merk Bentoel. Sudah jelas
sebenarnya bahwa kedua perusahaan (Bentoel) di atas merupakan bagian dari
sejumlah perusahaan yang berafiliasi di bawah bendera Group Rajawali,
bersama-sama dengan PT Rajawali
Corporation.
Sehingga jika indikasi penggunaan dana PT. PPL (dengan PT TSPI, PT RC dan Pemda NTB sebagai pemilik saham) oleh pihak-pihak di luar perusahaan itu benar adanya, maka dana tersebut bukan mengalir ke “perusahaan lain” seperti selama ini sering digembar-gemborkan, melainkan mengalir ke perusahaan yang masih berada dalam satu group dengan PT Rajawali Corp, sebagai holding company Group Rajawali.
Posisi Terakhir
Di pihak Pemerintah Provinsi NTB gelagat arah
penyelesaian yang dipilih pada akhir tahun 2000 tersebut dapat dianalisa dari
surat Gubernur kepada Ketua BPPN dan Ketua KKSK tertanggal 26 Oktober 2000.
Dalam surat tersebut menjadi jelas bahwa dalam pertemuan antara pihak BPPN,
KKSK, Pemda Provinsi NTB, Pemda Kabupaten Lombok Tengah dan PT PPL pada tanggal
24 Oktober 2000 di Mataram, telah disepakati bahwa untuk kelanjutan usaha
pengembangan kawasan wisata Pantai Kuta maka penanganan oleh PT PPL yang kini
masuk dalam asset manajemen BPPN dialihkan menjadi penanganan oleh BPPN dan
Pemda Provinsi NTB.
Sementara untuk kelancaran proses pengalihan penanganan tersebut dan penyelesaian masalah PT. PPL perlu dibentuk tim kecil yang terdiri dari unsur pemerintah pusat (BPPN, KKSK), Pemda Provinsi NTB, DPRD provinsi NTB dan PT PPL .
Sementara untuk kelancaran proses pengalihan penanganan tersebut dan penyelesaian masalah PT. PPL perlu dibentuk tim kecil yang terdiri dari unsur pemerintah pusat (BPPN, KKSK), Pemda Provinsi NTB, DPRD provinsi NTB dan PT PPL .
Surat yang ditandatangani Gubernur Harun Alrasyid (sekarang mantan) itu secara terang-terangan juga memohon kebijaksanaan Ketua BPPN agar saham Pemda Provinsi NTB yang semula 10 % dari modal dasar Rp. 150 miliar tersebut dapat dinaikkan menjadi 25 % dari modal dasar dengan pertimbangan bahwa Pemda Kabupaten Lombok Tengah sewajarnya juga mendapat saham (5 % dari modal dasar).
Lantas bagaimana posisi terakhir di BPPN sampai akhir tahun 2000?
Menurut Kajian Restrukturisasi Utang OC (Oversight Committee) BPPN,
PT PPL memiliki outstanding
kewajiban per 31 Mei 2000 sebesar Rp. 1.128 miliar. Menurut MoU antara BPPN,
PT. PPL dan PT. Rajawali Corp tanggal 4
Oktober 2000, pola penyelesaian hutang PT. PPL
akan ditempuh melalui dua cara, pertama, pembayaran sebagian
pinjaman, dan kedua, novasi pinjaman. Untuk pembayaran sebagian pinjaman
ada dua alternatif yang dapat ditempuh, alternatif pertama yakni
penjualan tanah di Lombok dengan estimasi nilai Rp. 442 miliar (berdasarkan 90%
dari nilai appraisal), atau alternatif kedua, konversi pinjaman dari debt
equity swap sebesar Rp. 442 miliar menjadi 100% ke equitas PT. PPL.[38] Sementara untuk novasi pinjaman, meliputi
novasi pinjaman ke PT. Rajawali Corp
sebesar Rp. 377 miliar (55 % dari saldo) dan ke PT. Tridan sebesar Rp.
309 miliar (45 % dari sisa Saldo).[39]
Namun kajian ini pun menyebutkan bahwa penilaian terhadap nilai tanah ini overstated (berlebihan). Penilaian sebelumnya mengasumsikan bahwa semua hak kepemilikan atas telah tersedia, padahal 25 % dari tanah dalam proses sertifikat.[40] Selanjutnya disebutkan pula bahwa porsi aset yang akan digunakan sebagai penyelesaian aset sedang dalam proses untuk diperoleh sertifikat tanah atau menghadapi permasalahan karena tuntutan dari pemilik sebelumnya. BPPN menghadapi resiko yang besar bahwa hasil penjualan akan jauh lebih rendah dari nilai penyelesaian. Selain itu, BPPN juga menghadapi resiko bahwa penjualan mungkin tidak akan terlaksana dalam jangka pendek karena isu kepemilikan tanah dan kondisi pasar.[41]
Jika menyimak Tanggapan KKSK terhadap hasil review OC tersebut, KKSK menyebut bahwa BPPN telah menyetujui skema penyelesaian dengan menggunakan asset settlement/debt to equity swap. Hal itu berarti nilai tanah sebesar Rp. 442 miliar tersebut menjadi bagian kepemilikan saham BPPN dalam PT. PPL. Masih menurut KKSK, dengan skema ini, bila terjadi up side akan merupakan keuntungan bagi BPPN. Penilaian asset yang ada hanya akan dilakukan atas lahan yang telah dibebaskan dan bersertifikat, dan BPPN hanya akan menerima asset yang telah bersertifikat. Sedangkan lahan kosong yang ada akan diterima sebagai asset settlement hanya setelah seluruhnya bersertifikat.[42]
Di lain pihak, sejak tanggal 22 April 2000, kelompok petani “Badai Selatan” telahmenduduki Kantor PT. PPL yang terletak di Kawasan Kuta. Masyarakat pemilik lahan telah masuk kembali ke kawasan dan menguasai lahan (reclaiming).
Mataram, November 2003
[1] Xpos, No 44/I/31 Oktober – 6 Nopember 1998. Lihat pula
AFEC/ANTARA, 19 Oktober 1998.
[2] Menurut informan saya seorang pengusaha perhotelan di Bima, hotel
Tutut tersebut berdampingan dengan hotel yang dimiliki oleh mantan pejabat
teras Pemkab Dompu.
[3] salah satu hotel yang dijaminkan oleh Group Rajawali (Pieter Sondakh)
ke BPPN. Lihat www.kksk.bppn.go.id.
[4] Faturrahman dalam Suara Nusa 3 Juli 1997, dalam Dwi Sudarsono, dkk,
1999.
[5] Dwi Sudarsono, dkk, 1999.
[6] Ibid. Dwi Sudarsono,dkk, 1999.
[7] ibid. Dwi Sudarsono, dkk, 1999.
[8] ibid. Dwi Sudarsono, dkk, 1999.
[9] Jawa Pos, 7 Maret 1996 dalam Hirsanuddin, 1997.
[10]Dalam kasus Rowok misalnya, masyarakat yang mengajukan gugatan kepada
Bupati Lombok Tengah mengaku telah diperiksa oleh Kakan Sospol Tingkat II
Lombok Tengah dan Kadit Sospol Tingkat I NTB.(Hirsanuddin,1997). Menurut
seorang jurnalis di Mataram yang aktif memantau proses pembebasan tanah di
Pulau Lombok, Peran Kantor Ditsospol yang nota bene berada di tangan perwira
militer memang menjadi salah satu pendukung proses penggusuran tanah
masyarakat.
[11] PT Tridan Satriaputra Indonesia adalah sebuah perusahaan milik Siti
Hardijanti Rukmana atau Mbak Tutut, putri mantan presiden RI Jenderal Soeharto.
[12] Pansus Pertanahan DPRD NTB lahir oleh kuatnya tekanan penyelesaian
kasus pertanahan di NTB yang selama ini disuarakan masyarakat. Paling tidak
diPulau Sumbawa dan Pulau Lombok, ada 15
kasus pertanahan yang mencuat ke permukaan.
[13] Bandingkan dengan Surat Edaran
Kepala BPN RI No. 580.2.5568-DIII.
[14] GARAP NTB atau Gerakan Aksi
Rakyat Petani NTB adalah sebuah aliansi
Petani, Mahasiswa dan NGO di NTB untuk
advokasi kasus pertanahan yang dibentuk pada tahun 2000.
[15] Bali Post, 2 April 2000.
[16] GARAP NTB mengklasifikasikan
berbagai jenis intimidasi, pemaksaan dan
pemenuhan kewajiban yang belum selesai oleh pihak pengelola LTDC.. Data
ini diklasifikasikan dari hasil pemetaan lapangan oleh Organisasi Tani
Lokal (OTL) “Badai Selatan”, sebuah organisasi petani di kawasan Kuta yang menyatukan para pemilik lahan yang
tergusur oleh pembangunan kawasan pariwisata Kuta.OTL Badai Selatan terakhir
tercatat sebagai anggota Serikat Petani
(SERTA) NTB.
[17] Selain laporan pertama Pansus
Pertanahan tersebut yang dikeluarkan secara “resmi”, terdapat pula sebuah
naskah laporan”tidak resmi” , yang diyakini sebagai draft laporan asli dari
Pansus Pertanahan. Beberapa bagian menyangkut proses pembebasan lahan diungkap
secara detil dalam laporan “tidak resmi” tertanggal 1 Februari 2000 ini, namun
tidak disebutkan dalam “laporan resmi” Pansus. Bagian yang berhubungan dengan
proses pembebasan lahan, salah satunya menyebutkan : “Di dalam praktek ternyata
Team Satu Atap selalu membantu PT PPL dalam menetapkan harga jual beli/pembebasan
tanah mempedomani Surat Keputusan Bupati Kdh Tingkat II Lombok Tengah tentang
besarnya ganti rugi kepada negara dimaksud, sehingga kebebasan pemilik dalam hal tawar menawar sangat
terikat. Dari data-data yang diperoleh harga tanah dilepas oleh
pemilik/penggarap berkisar sebesar Rp. 190.000.- s.d. Rp. 350.000.- per are,
atau rata-rata dengan harga Rp. 2.700,- per m2”.
[18] Kalimat ‘sangat terbatas’ kurang lebih dapat diinterpretasikan bahwa
harga tanah dalam SK Bupati tersebut merugikan petani pemilik lahan.
[19] Saat itu Bupati Kdh Tingkat II Lombok Tengah adalah Ircham, seorang
perwira menengah militer.
[20] LTDC, Penjelasan LTDC melalui
Media Massa Setempat, hal. 10 dari 27 hal., Maret 2000
[21] Surat Keputusan Gubernur Kdh Tingkat I Nusa Tenggara Barat Nomor 363
Tahun 1995 tentang Pemberian Izin Usaha Kawasan Pariwisata Kepada PT.
Pengembangan Pariwisata Lombok (PT.PPL-LTDC) tertanggal 31 Juli 1995.
[22] Pansus Pertanahan DPRD Provinsi dalam laporan pertamanya tanggal 6
Maret 2000 yang khusus membahas masalah tanah dan perusahaan PT PPL, menyebut dengan tegas bahwa izin perluasan
oleh gubernur tersebut cacat hukum (cetak tebal oleh penulis).
[23] Sebagai catatan Ketua DPRD Provinsi NTB pada saat perluasan lahan
terjadi adalah H. Mesir Suryadi, SH, dari Golkar, sekarang menjabat Ketua DPD Partai
Golkar NTB dan anggota DPR/MPR RI utusan NTB.
[24] Pansus Pertanahan DPRD Provinsi NTB, Laporan (Pertama, tambahan
penulis) Masalah tanah dan Perusahaan PT PPL (PT Pengembangan Pariwisata
Lombok), 6 Maret 2000.
[25] SK Penetapan Harga Dasar Tanah itu masing-masing adalah SK No. 70/1990
tanggal 15 Mei 1990; SK No. 156/1991
tanggal 17 Juli 1991; SK No. 243 Tahun 1992 tanggal 6 November 1992; dan SK No.434 Tahun 1993
tanggal 28 Desember 1993.
[26] Kajian Restrukturisasi Utang OC tahap II BPPN, 6 September 2001. Jaminan lainnya adalah Jaminan pribadi
(personal guarantee) dari Peter Sondakh, Jaminan Perusahaan (Corporate
Guarantee) dari Rajawali Corp, Jaminan Perusahaan (Corporate Guaranrtee dari
TSI, dan seluruh asset perusahaan.
[27] Majalah Tempo, Edisi 23
September 2001
[28] Rekaman dan catatan Acara Dengar Pendapat antara Pihak LTDC (PT. PPL)
dengan Pansus Pertanahan DPRD Provinsi NTB di Gedung DPRD Provinsi NTB, 11
November 2000.
[29] Wawancara dengan sejumlah petani
pemilik lahan.
[30] Thareq Habibie pada pertengahan tahun 90-an dikenal sebagai pemilik
PT. Repindo, sebuah perusahaan kontraktor bidang teknik dan agen dari beberapa
perusahaan asing. Kiprahnya antara lain
menang tanpa tender dalam proyek pengelolaan tambang minyak dan gas di Laut
Natuna. Bisnis keluarga Habibie yang
paling dikenal adalah penguasaannya
terhadap Kawasan Batam. Lihat Jeffrey A. Winters, 1999.
[31] Untuk Pembangunan Bandara Internasional ini dibutuhkan tanah seluas 500 ha. Namun
menurut Wahidjan, Ketua Serikat Petani
NTB, lahan yang dibebaskan PT Angkasa Pura I sebenarnya mencapai 800 ha,
meliputi wilayah Penujak, Tanak Awu dan Ketare. Karena pembebasan lahan juga
ditempuh dengan pemaksaan dan intimidasi maka gugatan masyarakat pun muncul. Di
lokasi ini terdapat OTL “Lauq Kawat” yang juga tergabung dalam Serikat Petani
NTB.
[32] Laporan II Pansus Pertanahan DPRD Provinsi NTB
[33] Agenda pemanggilan dan saling gugat ini lebih terlihat sebagai
“dagelan politik” para politisi di Jl. Udayana, Mataram.
[34] Informasi ini keluar dari pengakuan L. Parke Mahardhan (alm.),
(mantan) Sekda NTB yang menjadi wakil Pemda NTB
di jajaran direksi perseroan.
[35] Menurut Ruslan Turmudji, pihaknya dapat saja memperoleh data dari
sindikasi Perbankan mengenai besarnya realisasi kredit PT. PPL, namun
menurutnya terjadinya selisih angka tersebut mengindikasikan adanya masalah di
tubuh PT. PPL , sehingga mestinya dilakukan audit terhadap keuangan perusahaan.
[36] Kajian Restrukturisasi Utang OC Tahap II, 6 September 2001, tersedia
dalam www.oc.bppn.go.id
[37] www.corfina.com, Recent Financial News, 16
Februari 2000
[38] Kajian Restrukturisasi Utang OC Tahap II, 6 September 2001. Tersedia
dalam www.oc.bppn.go.id
[39] Jika melihat komposisi novasi pinjaman tersebut, berarti PT Trindan
menanggung sesuai besar kepemilikan sahamnya sebesar 45 %, sementara tanggungan
PT. Rajawali Corp juga termasuk tanggungan sesuai kepemilikan saham Pemda NTB.
[40] Masih menurut kajian ini, lokasi dari tanah yang belum bersertifikat
yang termasuk dalam tanah lokasi juga sangat penting untuk penilaian nilai
harga pasar, waktu penjualan dan nilai
penjualan tanah tersebut.
[41] ibid.
[42] tanggapan terhadap hasil review OC Tahap II serta Langkah-langkah
penyempurnaan. Tersedia dalam www.kksk.bppn.go.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar