Studi Kasus
Pengembangan Kawasan Wisata Terpadu Pantai Kute Putri Nyale atau Kawasan Mandalika,
Lombok Tengah.
Naskah berikut ini mencoba menguraikan gambaran korupsi di Nusa Tenggara
Barat pada Era Orde Baru, khususnya di Pulau Lombok. Di dalamnya mengkaji
postur korupsi yang terjadi dalam pengembangan Kawasan Wisata Terpadu Pantai
Kute Putri Nyale (juga dikenal sebagai Kawasan Mandalika), yang saat
itu berada dibawah pengelolaan perusahaan managemen PT. LTDC. Pendek cerita,
pola pengelolaan pariwisata saat itu menyebabkan lahan strategis kawasan wisata
ini menjadi agunan bank oleh pengusaha PT. Rajawali guna memperoleh kredit sindikasi perbankan. Saat kredit pengusaha macet, masuk dalam pengawasan
BPPN, lahan kemudian dikonversi dengan hutang pengusaha. Apa boleh
buat, dana bank telah terkuras, sementara pengembangan kepariwisataan
terbengkalai. Lahan kemudian berada dalam penguasaan pemerintah pusat.
Belakangan ini, Presiden Joko Widodo menyatakan tertarik mengembangkan kawasan wisata Mandalika. Bahkan akan dikucurkan dana sebesar Rp. 1,8 Trilyun untuk modal awal pengembangan kawasan ini (Posisi Mei 2015). Sebelumnya, pengelolaan kawasan ini telah diserahkan kepada PT. BTDC (Bali Tourism Development Corporation). BTDC sendiri, konon situasinya sedang megap-megap, karena memiliki kewajiban hutang sekitar Rp. 1,5 Trilyun.
Naskah ini merupakan bagian dari naskah lebih lengkap yang saya susun sebelumnya, berjudul ”POLITIK KORUPSI DI NUSA TENGGARA BARAT”, mengupas mengenai postur korupsi di NTB sejak Era Orde Baru, Era Reformasi sampai masa-masa awal ketika Era Otonomi Daerah mulai berjalan. Naskah lengkap dapat dibaca dalam buku: FIQH KORUPSI; Amanah vs Kekuasaan. Ervyn Kaffah & Moh. Asyiq Amrulloh (Eds.), SOMASI NTB, 2013.