Rekayasa pembenahan birokrasi dewasa ini dihadapkan
pada tantangan baru. Tak lagi sekedar mengambil pilihan menemukan best practices (praktek terbaik) dan
pembelajaran dari beberapa unit terbatas sebagai piloting project, jajaran strategis pemerintah pada semua lini ditantang
untuk secara gradual mulai mendorong perubahan dengan jangkauan yang lebih luas.
Memastikan semua rangkaian sistem berjalan efektif guna mewujudkan pemerintahan
yang bersih dan meningkatkan pelayanan publik.
TERUS TERANG, SAYA TERMASUK yang belum beruntung
menemukan argumen teknis untuk menjelaskan fakta realisasi proyek pembangunan
gedung RSUP NTB Dasan Cermen sampai akhir tempo tidak mencapai 25 persen, tahun
lalu. Penjelasannya saya duga menjangkau sisi lain, yaitu sejauhmana proses e-procurement dilaksanakan secara memadai untuk memperoleh
penyedia barang jasa yang tepat. Hal ini
diperkuat oleh fakta-fakta seturut yang berhasil dihimpun. Penyedia pemenang
lelang ternyata tidak memiliki bank garansi, rekening banknya diblokir, dan
saat itu telah berbulan-bulan menunda kewajibannya melunasi hutang pada
sejumlah pemasok material dan tenaga bagi pengerjaan proyek.
Kesimpulan sementara saya, proyek itu gagal karena
penyedia yang dipilih dalam pelaksanaan lelang itu tidak bonafid. Tidak
memiliki sumber pembiayaan untuk mengerjakan proyek, walau telah mendapat
kemudahan memperoleh uang muka dari pemerintah. Sebuah kesimpulan yang bagi
saya pribadi ingin saya tolak sekuat-kuatnya karena pada dasarnya yang sedang
dipertanyakan adalah integritas pelaksanaan pengadaan di lingkup Pemprov NTB.
Urgensi Pengendalian
Anggaran
Selain pentingnya pengendalian kegiatan APBD pada
sisi makro mengingat kontribusinya dalam menggerakkan ekonomi daerah, baik dari sisi belanja yang dikucurkan ke
sejumlah sektor maupun feed back
berupa pengembalian penerimaan berupa pajak ke kas daerah, kasus proyek gagal
di RSUP NTB itu juga mempertemukan kita dengan beberapa dimensi lain untuk
menekankan urgensi pengendalian yang efektif.
Ada sangat banyak masyarakat kita bergantung pada kelancaran
proses pengadaan dan pengerjaan fisik proyek-proyek pemerintah. Dalam proyek gagal
RSUP NTB itu saja, ada puluhan pemasok bahan dan material beserta jaringannya,
serta penyedia tenaga kerja dan ratusan tenaga kerja yang berburu rejeki untuk kehidupan keluarganya.
Para pemasok material misalnya, mengingat nominal rupiah yang dibicarakan,
umumnya tidak bekerja sendiri. Mereka berhubungan dengan produsen, distributor,
pihak lain sebagai pemberi modal atau bekerja dengan modal dari penjamin tertentu
yang bankable. Penundaan pembayaran
oleh kontraktor proyek pemerintah berkonsekwensi biaya tambahan yang harus mereka
bayar, baik berupa beban tambahan akibat pelampauan waktu maupun membayar (tambahan)
bunga pinjaman perbankan. Dampak juga dirasakan para produsen material dan
tenaga kerja lokal. Mereka semua adalah warga kita, saudara kita semua, warga
NTB tercinta. Dengan menuliskan ini, saya berharap para pelaksana proyek di
jajaran birokrasi dan pihak penyedia tergerak hatinya untuk bekerja lebih hati-hati
dan bersungguh-sungguh.
Hubungan antara kinerja pengadaaan dan pelayanan
publik juga sangat terlihat jelas dalam proyek RSUP NTB ini. Sebelumnya,
Gubernur NTB TGH M. Zainul Majdi telah merencanakan untuk memindahkan pelayanan
ke komplek RSUP NTB baru pada awal tahun 2015. Pilihan yang menunjukkan respon
strategis pemerintah, apalagi dilengkapi situasi semakin padatnya pelayanan di
komplek lama akibat kebakaran yang menghanguskan sebagian fasilitas
kesehatan. Namun harapan Gubernur yang
juga menjadi kebutuhan mendesak masyarakat itu terpaksa tertunda hingga akhir
tahun akibat pelaksanaan proyek yang gagal.
Sementara itu, dalam kasus proyek Jalan Lingkar
Gili Trawangan, waktu sudah menjelang injury
time ketika kepala SKPD menjelaskan proyek terhambat karena sulit
mengangkut material ke pulau wisata bebas kendaraan bermotor itu. Kapan
informasi itu ia terima, dan mengapa atasannya tak mengetahui soal itu hingga
hampir selesai batas tempo pelaksanaan proyek? Ironis, masalah itu bukan segera
diselesaikan melainkan harus menunggu untuk dibahas dalam forum Rapim oleh
Gubernur. Yang lebih parah, setelah
waktu proyek diperpanjang, pekerjaan tidak berhasil diselesaikan namun malah
dilaporkan sudah selesai hingga menjadi temuan BPK. Demikianlah, segala
kelemahan sebisa mungkin ditutupi, Asal
Bos Senang? Meski demikian, saya juga selalu mengingatkan diri sendiri, apa
yang muncul di permukaan belum tentu seperti kenyataannya. Selalu ada hal lain yang tak mungkin (tak kuasa) untuk
diungkapkan.
Birokrasi pemerintah pada
dasarnya telah disusun dalam pembagian jenjang eselon, dimana dengannya ada
pembagian tugas dan kejelasan wewenang yang memungkinkan pembagian beban kerja
antara berbagai eselon. Jikalau para staf atau pejabat eselon bawah menghadapi
kendala yang tidak bisa ditanganinya, ia (mereka) dapat menyampaikannya kepada
atasan langsungnya,agar dapat dibantu atau diberikan solusi. Kendala dalam pekerjaan pada beberapa sisi
hanya dapat diatasi oleh pejabat eselon lebih tinggi dengan wewenang yang lebih
besar dan luas, termasuk diantaranya diskresi yakni kebijakan yang diambil
walau belum ada pengaturan mengenainya, namun dalam keadaan mendesak harus
segera diputuskan mengingat dampaknya bagi kepentingan umum. Pada titik
tertinggi, ketika semua jajaran pejabat tidak mampu menanganinya, maka masalah itu disampaikan kepada pimpinan
daerah sebagai penanggungjawab seluruh kegiatan APBD.
Kegiatan pengendalian yang efektif dengan
pendokumentasian yang baik dapat menjadi instrumen bagi atasan untuk menilai
kinerja bawahan secara bertingkat. Khusus untuk pimpinan daerah, kritik
mengenai penempatan dan promosi pejabat setiap kali mutasi dilaksanakan dapat
ditanggapi dengan menunjukkan secara terbuka catatan kinerja pejabat berbasis
dokumentasi kegiatan pengendalian. Pengendalian yang efektif dapat membuka
ruang untuk mencegah politisasi birokrasi dan penempatan pejabat atas dasar like and dislike tanpa ukuran yang obyektif.
Sementara bagi publik, semakin sering seorang pejabat masuk daftar zona kuning
dan zona merah maka penilaian terhadap kinerjanya juga dapat langsung
dilaksanakan. Singkatnya akuntabilitas penempatan dan kinerja jajaran birokrasi
kini mulai lebih terbuka.
Saya berharapan besar bahwa uraian diatas dapat
meyakinkan Anda semua, sidang pembaca, pengendalian kegiatan APBD penting dipertajam
dan perlu diperluas hingga ke level pemerintah kabupaten dan kota, serta
mendapat perhatian semua pihak untuk terus dikritisi.
Sistem
Informasi dan Tindakan
Pokok dari kegiatan pengendalian yang efektif ialah
sejauhmana masalah dalam business process
kegiatan APBD atau pelaksanaan anggaran bisa dideteksi secara dini,
dikendalikan dan segera diambil tindakan untuk mengatasinya. Pembagian zona
kinerja, pencatatan status realisasi pada setiap tahap pengadaan, dlsb, ditujukan untuk mempermudah pengambilan
keputusan guna mengatasi masalah. Karenanya, sejauhmana informasi mengenai
potensi masalah bisa diperoleh pejabat berwenang tepat waktu dan akurat
sangatlah krusial, sebagaimana pentingnya aliran informasi kebijakan dan
keputusan eksekusi dari atasan kepada bawahan. Karena itu selain aspek teknis
lainnya, evaluasi terhadap sistem informasi dan komunikasi dari level bawah ke
atas atau sebaliknya, dan horizontal antar-pejabat yang berwenang koordinatif
penting diperhatikan.
Selanjutnya, bagaimana pejabat berwenang
benar-benar mengambil tindakan dari berbagai alternatif tersedia. Bukan
mengacuhkannya atau menyimpan informasi hingga keadaan menjadi buruk dan sulit
ditangani. Tidak ada yang lebih buruk dari petugas berwenang yang telah
mengetahui adanya potensi masalah namun memilih mencari alasan untuk tidak
menanganinya atau melemparkan kesalahan kepada pihak lain.
Hemat saya pribadi, managemen yang baik seyogyanya
tidak perlu menimbulkan rasa takut dan tertekan bagi segenap staf, melainkan
mendorong staf terbuka menyampaikan masalah yang sulit ditanganinya sehingga
dapat segera ditindaklanjuti dan dibantu oleh atasannya. Lebih dari itu, ada
yang lebih berat dari rasa takut atas teguran yakni apa yang disebut sebagai
rasa bosan ketika tekanan terus datang tapi insentif atas prestasi tak kunjung
datang. Pimpinan hendaknya juga memiliki rasa bertanggungjawab. Jajaran manager
pemerintahan ada baiknya memikirkan pengembangan sistem informasi mengenai
kinerja personal pejabat atau petugas pengadaan dan tersedianya sistem insentif
(baik positif maupun negatif) berbasis
kinerja personal. Sistem tersebut akan mempermudah penetapan penghargaan (reward) dan sanksi kepada personal staf
dan pejabat, bukan dengan cara usang segenap pujian untuk atasan dikala kerja
sukses namun saat ada masalah selalu staf yang ditunjuk sebagai biang masalah.
Rekayasa pembenahan birokrasi dewasa ini dihadapkan
pada tantangan baru. Tak lagi sekedar mengambil pilihan menemukan best practices (praktek terbaik) dan
pembelajaran dari beberapa unit terbatas sebagai piloting project, jajaran strategis pemerintah pada semua lini ditantang
untuk secara gradual mulai mendorong perubahan dengan jangkauan yang lebih luas.
Memastikan semua rangkaian sistem berjalan efektif guna mewujudkan pemerintahan
yang bersih dan meningkatkan pelayanan publik.
Dalam lanskap itu pula, kegiatan pengendalian APBD memiliki tujuan
menengah hingga menjangkau perubahan perilaku birokrat dan kultur umum
birokrasi. Melalui kegiatan pengendalian yang efektif diharapkan beberapa
kebiasaan lama bisa dikurangi dan dapat dibangun kultur baru birokrat yang
bersih dan profesional. Kebiasaan lama
seperti Asal Bos Senang dan Mencari Siapa yang Salah atau Melemparkan Kesalahan kepada Orang Lain harus
mulai ditinggalkan, digantikan kebiasaan baru jajaran birokrasi untuk bekerja
keras, solutif, dan terukur dengan sistem kendali yang berkesinambungan.
Tentu saja, adalah pilihan buruk untuk terus
menerus terkepung masalah, terlebih lagi baik-buruknya kinerja birokrasi
menyimpan konsekwensi besar bagi perkembangan kesejahteraan umum. Berbagai
upaya Pemprov NTB untuk memperbaiki sistem dan kultur birokrasi merupakan bagian dari komitmen untuk peningkatan
pelayanan masyarakat, apalagi selalu ada pihak yang resisten terhadap
perubahan. Karenanya, apresiasi dan masukan bagi pemerintah untuk terus berbenah haruslah
tetap diberikan ruang yang layak. Sudah sejak jauh hari disadari, pemerintahan
yang mendapat apresiasi dari warga yang dilayaninya pastilah jauh lebih berarti
daripada pemerintahan hambar yang tidak dipedulikan masyarakat. Kiranya, itu
sebabnya pemerintahan tidak cukup
sekedar berkeinginan melayani (to serve) dan mau bersih (clean government), melainkan secara substansial harus pula mau
terbuka (open governmet).
Mataram, Juli 2015
ERVYN KAFFAH
Sekretaris Jenderal FITRA NTB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar