Integritas berarti melihat gambaran yang lebih
besar, menemukan tujuan yang lebih besar
daripada diri Anda (Habitat for Humanity)
Komitmen terhadap keseluruhan (pemegang
kepentingan) secara kolektif (O.C.
Tanner Company)
Tepat pada Hari Anti Korupsi Internasional, 9
Desember 2008 lalu, Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB mempublikasikan telah
menangani 16 kasus korupsi tahun itu, dan karenanya telah berhasil memenuhi
standar kinerja yang ditetapkan
Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menyelesaikan lima kasus ke tahap
penuntutan. Atas capaian tersebut, lembaga yang berkantor di Jalan Langko ini
mendapat posisi dua terbaik se-Indonesia. Ironisnya, berbeda dengan keterangan
Kejati NTB, SOMASI memberi nilai MERAH untuk kinerja Kejaksaan Tinggi NTB.[1]
Tulisan ini akan mengurai latar yang memunculkan
dua penilaian yang berbeda terhadap kinerja kejaksaan tersebut, sekaligus membangun
perspektif inovatif mengenai indikator kinerja
kejaksaan di tingkat daerah. Harapannya, Kejati NTB dapat mengakomodir
perspektif ini dalam kerjanya ke depan, termasuk dalam menyampaikan laporan
kinerjanya kepada publik.
Perbedaan Penilaian terhadap Kinerja Kejati NTB
Indikator kinerja kejaksaan tinggi dan kejaksaan
negeri (Kejari) se-Indonesia dihasilkan dari pertemuan Kejagung dan
Kejati-Kejari se—Indonesia di Ciloto pada 7 Desember 2005. Hasil Ciloto ini kemudian dibakukan dengan Surat JAMPIDSUS No. B-11/FD/F.1/02/2006 tanggal
10 Februari 2006.
Merujuk surat tersebut, dalam setahun Kejati
NTB memiliki kewajiban untuk
menyelesaikan lima kasus hingga tahap penuntutan. Enam Kejari se-NTB yang termasuk type A wajib
menyelesaikan masing-masing tiga kasus. Total
general, Kejati dan enam Kejari se-NTB punya kewajiban untuk menyelesaikan
minimal 23 kasus setahun.
Lantas berapa kasus
sebenarnya yang telah diselesaikan Kejati dan Kejari se-NTB pada tahun 2008? Pantauan
SOMASI, Kejati NTB dan Kejari se-NTB hanya mampu menyelesaikan 16 kasus, dengan
sebaran : Kejati NTB (3 kasus), Kejari Mataram (1 kasus), Kejari Praya (3
kasus), Kejari Selong (1 kasus), Kejari Sumbawa (4 kasus), Kejari Dompu (4
kasus) dan Kejari Bima (nol kasus). Ini berarti, selain tiga Kejari yang telah
memenuhi target minimum, Kejati NTB dan tiga Kejari lainnya belum memenuhi
standar kinerjanya. Yang perlu diperhatikan disini, angka 16 kasus itu adalah
angka total kasus yang telah diselesaikan ke tahap penuntutan oleh kejaksaan di
seluruh NTB, dimana diantaranya Kejati NTB hanya berkontribusi tiga kasus.
Publikasi Kejati NTB bahwa
pihaknya telah menyelesaikan 16 kasus, sebenarnya yang dimaksud hanya kinerja Kejati
NTB sendiri, tidak termasuk jajaran Kejari yang dibawahinya. Bagaimana Kejati
bisa mengklaim telah menyelesaikan kasus sebanyak itu, padahal menurut SOMASI
mereka baru bisa menyelesaikan tiga kasus saja?
Apa yang disebut sebagai
16 ’kasus’ oleh Kejati NTB sebenarnya hanya terdiri dari tiga kasus yang
diproses oleh Kejati NTB (terdakwa 13 orang) dan satu kasus di Kejari Mataram (terdakwa 3
orang), dengan total terdakwa sebanyak 16 orang. Inilah yang disebut Kejati NTB
sebagai 16 ’kasus’. Ini bisa terjadi karena adanya praktek memecah sebuah kasus
ke dalam beberapa ’berkas perkara’ untuk memudahkan penyidikan, karena selain
pelaku utama juga terdapat pelaku ikutan/turut serta dalam sebuah kasus (Kejati
NTB menerapkan pasal 55 ayat 1
ke (1) KUHP). Apakah ini sudah sesuai
dengan maksud standar kinerja Kejagung? Mungkin bagus kalau Kejati NTB sendiri
yang menjelaskan. Yang jelas, SOMASI menyatakan bahwa klaim kinerja bagus oleh
Kejati NTB perlu diuji ulang karena menggunakan
data yang tidak proposional.
Perspektif Indikator Kinerja Kejaksaan di Daerah
Bagaimana mengukur kinerja
kejaksaan daerah? Cukupkah jika kinerja kejaksaan daerah dinilai hanya atas
dasar kemampuannya memenuhi standar kinerja yang ditetapkan oleh Kejagung?
Untuk mengukur kinerja
kejaksaan daerah, selain memperhatikan tingkat pemenuhan standar minimum kinerja
yang ditetapkan Kejagung, hemat kami, kejaksaan di daerah dapat melakukan
inovasi. Kami mengajukan dua perspektif untuk dipertimbangkan kejaksaan dalam
menyusun indikator kinerjanya: (1) sejauhmana kinerja kejaksaan tersebut dapat
diukur berbasis pada strategi dan prioritas kejaksaan dalam menangani
kompleksitas korupsi di daerah lingkup kerjanya; dan (2) Sejauhmana kinerja
kejaksaan dalam penanganan kasus-kasus korupsi tersebut dapat memuaskan
(ekspetasi) publik lokal.
Soal strategi dan
prioritas kerja kejaksaan di NTB. Pengalaman kami selama kurang lebih 10
tahun mengawal penuntasan kasus korupsi di lembaga peradilan memberikan sejumlah
gambaran. Dalam konteks pemberantasan korupsi, kerja kejaksaan terbatas menerima kasus yang dilaporkan masyarakat, memprosesnya sesuai tahapan yang
telah digariskan, menjalani persidangan,
dst. Hal ini berbanding lurus dengan fakta, umumnya kasus-kasus yang diproses kejaksaan
hanya berasal dari satu sumber: laporan
masyarakat, dan bukannya hasil identifikasi kejaksaan sendiri. Di sisi lain,
jika membandingkan temuan-temuan BPK(P) terhadap kuantitas dan kualitas kasus yang
diusut kejaksaan, banyak indikasi korupsi menyangkut dana-dana publik temuan BPK(P)
yang bisa menjadi informasi awal bagi kejaksaan dalam mengusut kasus korupsi,
ternyata belum dimanfaatkan dengan baik. Kami juga belum melihat adanya
inisiatif institusional terencana untuk mulai menjalankan identifikasi dengan
tujuan membersihkan suatu sektor tertentu yang rawan korupsi. Belum ada
prioritas-prioritas kerja dilakukan kejaksaan, seperti prioritas penanganan
kasus berbasis kualitas kasus yang diusut atau pun benefit-nya dalam
menurunkan praktek korupsi.
Gambaran di atas merupakan ’puncak es’ rangkaian kelemahan institusional yang selama
ini eksis di kejaksaan daerah : mereka bekerja tanpa roadmap yang jelas.
Kejaksaan belum memiliki kerangka strategis dan prioritas kerja dalam
menurunkan tingkat korupsi di daerah. Sehingga
ke depan disarankan agar kejaksaan dapat menentukan strategi dan prioritas
kerja, sekaligus menyusun roadmap pemberantasan korupsi sesuai dengan
konteks struktur korupsi yang terjadi di lingkup wilayah kerjanya.
Hal ini membutuhkan prasyarat adanya kapasitas
kejaksaan untuk memetakan struktur korupsi yang terjadi dan kemampuan mengidentifikasi
kondisi internal dan lingkungan yang melingkupi kerja institusinya. Untuk
kondisi internal, salah satu kelemahan yang teridentifikasi adalah lemahnya manajemen
penanganan perkara, yang terliput dari banyaknya produk penuntutan yang kandas di pengadilan. Pertanyaan yang harus
dijawab oleh kejaksaan, misalnya, bagaimana menjelaskan ketidakmampuannya
mempertahankan surat dakwaan yang merupakan ”mahkotanya” di pengadilan?
Faktanya, sering terjadi adanya vonis hakim bahwa ”penuntutan tidak dapat
diterima” dan banyak terdakwa yang akhirnya bebas atau divonis dengan hukuman
ringan. Kejaksaan juga harus berusaha mengatasi munculnya persepsi yang kuat
dalam masyarakat bahwa di lembaga ini masih kental praktek mafia peradilan (judicial
corruption).
Soal kedua, mengenai
kepuasan publik. Sering terjadi, kerangka strategis dan prioritas yang dikerjakan
pada gilirannya ternyata tidak cukup memenuhi ekspetasi publik. Ini berarti,
kita bisa saja telah sukses dalam menjalankan program prioritas namun belum
tentu memuaskan publik. Seorang pejabat
kabupaten pernah bertanya: ”Bagaimana menjamin masyarakat puas dengan apa
yang kami kerjakan?” Saya menjawab sekenanya saja: ”Sejak awal
tanya dong apa yang mereka mau, Kak Tuan”. Ini berarti, kerangka strategis dan prioritas kerja juga
harus menyesuaikan dengan harapan publik (baca: pencari keadilan) mengenai kinerja yang mereka harapkan dari institusi
kejaksaan. Pada tingkat yang lebih praktis, ini berarti bahwa secara sistematis
dan terencana kejaksaan harus membuka diri kepada publik, terutama dalam
merumuskan strategi dan prioritas kerjanya.
Untuk tahap awal, beberapa titik penting yang bisa menjadi fokus kejaksaan adalah :
(1) memperbaiki mekanisme dan standar penerimaan pengaduan kasus agar lebih
efektif dan terukur, (2) memperbaiki mekanisme
akuntabilitas kepada masyarakat yang melakukan pengaduan, diantaranya
dengan menindaklanjuti amanat Kejagung untuk melibatkan pelapor dalam gelar
perkara kasus; dan 3) Memperbaiki mekanisme akuntabilitas kerja kepada publik
luas dengan mengumumkan tingkat capaian kerja secara periodik, termasuk
mengumumkan berapa kerugian negara yang berhasil dikembalikan;
Ditengah keterbatasan
internal kejaksaan daerah hari ini –baik itu diakui atau pun tidak-- banyak
potensi yang bisa didayagunakan untuk mendukung kinerjanya. Tingginya ekspetasi
masyarakat untuk melaporkan dugaan korupsi melalui jalur hukum sebagai
satu-satunya jalur yang ditempuh dalam menangani kasus korupsi; intensitas
sejumlah organisasi yang rajin men-support kejaksaan dengan data-data
indikasi korupsi sekaligus mengawasi kinerjanya; dibukanya kantor perwakilan
BPK di Mataram; dan bahkan dibangunnya nota kesepahaman dengan Gubernur NTB
untuk pemberantasan korupsi; dapat menjadi potensi besar. Hal ini bergantung pada
kapasitas institusional kejaksaan dalam menyerap dukungan yang tersedia.
Mataram, Februari 2009
[1] Laporan Catatan
Akhir Tahun 2008 SOMASI, bisa diakses melalui www.somasi.or.id (per 1 April 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar