Translate

Minggu, 21 April 2013

Kinerja Kejaksaan Daerah dalam Penanganan Korupsi



Integritas berarti melihat gambaran yang lebih besar, menemukan tujuan yang lebih besar
daripada diri Anda (Habitat for Humanity)
Komitmen terhadap keseluruhan (pemegang kepentingan) secara kolektif  (O.C. Tanner Company)


Tepat pada Hari Anti Korupsi Internasional, 9 Desember 2008 lalu, Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB mempublikasikan telah menangani 16 kasus korupsi tahun itu, dan karenanya telah berhasil memenuhi standar kinerja yang ditetapkan  Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menyelesaikan lima kasus ke tahap penuntutan. Atas capaian tersebut, lembaga yang berkantor di Jalan Langko ini mendapat posisi dua terbaik se-Indonesia. Ironisnya, berbeda dengan keterangan Kejati NTB, SOMASI memberi nilai MERAH untuk kinerja Kejaksaan Tinggi NTB.[1]
Tulisan ini akan mengurai latar yang memunculkan dua penilaian yang berbeda terhadap kinerja kejaksaan tersebut, sekaligus membangun perspektif inovatif mengenai  indikator kinerja kejaksaan di tingkat daerah. Harapannya,  Kejati NTB dapat mengakomodir perspektif ini dalam kerjanya ke depan, termasuk dalam menyampaikan laporan kinerjanya kepada publik.

Perbedaan Penilaian terhadap Kinerja Kejati NTB
          Indikator kinerja kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri (Kejari) se-Indonesia dihasilkan dari pertemuan Kejagung dan Kejati-Kejari se—Indonesia di Ciloto pada 7 Desember 2005. Hasil Ciloto ini kemudian dibakukan dengan Surat JAMPIDSUS No. B-11/FD/F.1/02/2006 tanggal 10 Februari 2006.
Merujuk surat tersebut, dalam setahun Kejati NTB  memiliki kewajiban untuk menyelesaikan lima kasus hingga tahap penuntutan. Enam  Kejari se-NTB yang termasuk type A wajib menyelesaikan masing-masing tiga kasus.  Total general, Kejati dan enam Kejari se-NTB punya kewajiban untuk menyelesaikan minimal 23 kasus setahun.
            Lantas berapa kasus sebenarnya yang telah diselesaikan Kejati dan Kejari se-NTB pada tahun 2008? Pantauan SOMASI, Kejati NTB dan Kejari se-NTB hanya mampu menyelesaikan 16 kasus, dengan sebaran : Kejati NTB (3 kasus), Kejari Mataram (1 kasus), Kejari Praya (3 kasus), Kejari Selong (1 kasus), Kejari Sumbawa (4 kasus), Kejari Dompu (4 kasus) dan Kejari Bima (nol kasus). Ini berarti, selain tiga Kejari yang telah memenuhi target minimum, Kejati NTB dan tiga Kejari lainnya belum memenuhi standar kinerjanya. Yang perlu diperhatikan disini, angka 16 kasus itu adalah angka total kasus yang telah diselesaikan ke tahap penuntutan oleh kejaksaan di seluruh NTB, dimana diantaranya Kejati NTB hanya berkontribusi tiga kasus.
            Publikasi Kejati NTB bahwa pihaknya telah menyelesaikan 16 kasus, sebenarnya yang dimaksud hanya kinerja Kejati NTB sendiri, tidak termasuk jajaran Kejari yang dibawahinya. Bagaimana Kejati bisa mengklaim telah menyelesaikan kasus sebanyak itu, padahal menurut SOMASI mereka baru bisa menyelesaikan tiga  kasus saja?
            Apa yang disebut sebagai 16 ’kasus’ oleh Kejati NTB sebenarnya hanya terdiri dari tiga kasus yang diproses oleh Kejati NTB (terdakwa 13 orang)  dan satu kasus di Kejari Mataram (terdakwa 3 orang), dengan total terdakwa sebanyak 16 orang. Inilah yang disebut Kejati NTB sebagai 16 ’kasus’. Ini bisa terjadi karena adanya praktek memecah sebuah kasus ke dalam beberapa ’berkas perkara’ untuk memudahkan penyidikan, karena selain pelaku utama juga terdapat pelaku ikutan/turut serta dalam sebuah kasus (Kejati NTB menerapkan pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP). Apakah ini sudah sesuai dengan maksud standar kinerja Kejagung? Mungkin bagus kalau Kejati NTB sendiri yang menjelaskan. Yang jelas, SOMASI menyatakan bahwa klaim kinerja bagus oleh Kejati NTB perlu diuji ulang karena  menggunakan  data yang tidak proposional.
           
Perspektif Indikator Kinerja Kejaksaan di  Daerah
            Bagaimana mengukur kinerja kejaksaan daerah? Cukupkah jika kinerja kejaksaan daerah dinilai hanya atas dasar kemampuannya memenuhi standar kinerja yang ditetapkan oleh Kejagung?
            Untuk mengukur kinerja kejaksaan daerah, selain memperhatikan tingkat pemenuhan standar minimum kinerja yang ditetapkan Kejagung, hemat kami, kejaksaan di daerah dapat melakukan inovasi. Kami mengajukan dua perspektif untuk dipertimbangkan kejaksaan dalam menyusun indikator kinerjanya: (1) sejauhmana kinerja kejaksaan tersebut dapat diukur berbasis pada strategi dan prioritas kejaksaan dalam menangani kompleksitas korupsi di daerah lingkup kerjanya; dan (2) Sejauhmana kinerja kejaksaan dalam penanganan kasus-kasus korupsi tersebut dapat memuaskan (ekspetasi) publik lokal.
            Soal strategi dan prioritas kerja kejaksaan di NTB. Pengalaman kami selama kurang lebih 10 tahun mengawal penuntasan kasus korupsi di lembaga peradilan memberikan sejumlah gambaran. Dalam konteks pemberantasan korupsi, kerja kejaksaan terbatas  menerima kasus yang dilaporkan  masyarakat, memprosesnya sesuai tahapan yang telah digariskan,  menjalani persidangan, dst. Hal ini berbanding lurus dengan fakta, umumnya kasus-kasus yang diproses kejaksaan hanya berasal dari satu sumber:  laporan masyarakat, dan bukannya hasil identifikasi kejaksaan sendiri. Di sisi lain, jika membandingkan temuan-temuan BPK(P) terhadap kuantitas dan kualitas kasus yang diusut kejaksaan, banyak indikasi korupsi menyangkut dana-dana publik temuan BPK(P) yang bisa menjadi informasi awal bagi kejaksaan dalam mengusut kasus korupsi, ternyata belum dimanfaatkan dengan baik. Kami juga belum melihat adanya inisiatif institusional terencana untuk mulai menjalankan identifikasi dengan tujuan membersihkan suatu sektor tertentu yang rawan korupsi. Belum ada prioritas-prioritas kerja dilakukan kejaksaan, seperti prioritas penanganan kasus berbasis kualitas kasus yang diusut atau pun benefit-nya dalam menurunkan praktek korupsi.
Gambaran di atas merupakan ’puncak es’  rangkaian kelemahan institusional yang selama ini eksis di kejaksaan daerah : mereka bekerja tanpa roadmap yang jelas. Kejaksaan belum memiliki kerangka strategis dan prioritas kerja dalam menurunkan tingkat korupsi di daerah.  Sehingga ke depan disarankan agar kejaksaan dapat menentukan strategi dan prioritas kerja, sekaligus menyusun roadmap pemberantasan korupsi sesuai dengan konteks struktur korupsi yang terjadi di lingkup wilayah kerjanya.
Hal ini membutuhkan prasyarat adanya kapasitas kejaksaan untuk memetakan struktur korupsi yang terjadi dan kemampuan mengidentifikasi kondisi internal dan lingkungan yang melingkupi kerja institusinya. Untuk kondisi internal, salah satu kelemahan yang teridentifikasi adalah lemahnya manajemen penanganan perkara, yang terliput dari banyaknya produk penuntutan yang  kandas di pengadilan. Pertanyaan yang harus dijawab oleh kejaksaan, misalnya, bagaimana menjelaskan ketidakmampuannya mempertahankan surat dakwaan yang merupakan ”mahkotanya” di pengadilan? Faktanya, sering terjadi adanya vonis hakim bahwa ”penuntutan tidak dapat diterima” dan banyak terdakwa yang akhirnya bebas atau divonis dengan hukuman ringan. Kejaksaan juga harus berusaha mengatasi munculnya persepsi yang kuat dalam masyarakat bahwa di lembaga ini masih kental  praktek mafia peradilan (judicial corruption).
            Soal kedua, mengenai kepuasan publik. Sering terjadi, kerangka strategis dan prioritas yang dikerjakan pada gilirannya ternyata tidak cukup memenuhi ekspetasi publik. Ini berarti, kita bisa saja telah sukses dalam menjalankan program prioritas namun belum tentu  memuaskan publik. Seorang pejabat kabupaten pernah bertanya: ”Bagaimana menjamin masyarakat puas dengan apa yang kami kerjakan?” Saya menjawab sekenanya saja: ”Sejak awal tanya dong apa yang mereka mau, Kak Tuan”. Ini berarti,  kerangka strategis dan prioritas kerja juga harus menyesuaikan dengan harapan publik (baca: pencari keadilan) mengenai  kinerja yang mereka harapkan dari institusi kejaksaan. Pada tingkat yang lebih praktis, ini berarti bahwa secara sistematis dan terencana kejaksaan harus membuka diri kepada publik, terutama dalam merumuskan strategi dan prioritas kerjanya. 
Untuk tahap awal, beberapa titik penting yang         bisa menjadi fokus kejaksaan adalah : (1) memperbaiki mekanisme dan standar penerimaan pengaduan kasus agar lebih efektif dan terukur, (2) memperbaiki mekanisme  akuntabilitas kepada masyarakat yang melakukan pengaduan, diantaranya dengan menindaklanjuti amanat Kejagung untuk melibatkan pelapor dalam gelar perkara kasus; dan 3) Memperbaiki mekanisme akuntabilitas kerja kepada publik luas dengan mengumumkan tingkat capaian kerja secara periodik, termasuk mengumumkan berapa kerugian negara yang berhasil dikembalikan;
            Ditengah keterbatasan internal kejaksaan daerah hari ini –baik itu diakui atau pun tidak-- banyak potensi yang bisa didayagunakan untuk mendukung kinerjanya. Tingginya ekspetasi masyarakat untuk melaporkan dugaan korupsi melalui jalur hukum sebagai satu-satunya jalur yang ditempuh dalam menangani kasus korupsi; intensitas sejumlah organisasi yang rajin men-support kejaksaan dengan data-data indikasi korupsi sekaligus mengawasi kinerjanya; dibukanya kantor perwakilan BPK di Mataram; dan bahkan dibangunnya nota kesepahaman dengan Gubernur NTB untuk pemberantasan korupsi; dapat menjadi potensi besar. Hal ini bergantung pada kapasitas institusional kejaksaan dalam menyerap dukungan yang tersedia.      

Mataram, Februari 2009


[1] Laporan Catatan Akhir Tahun 2008 SOMASI, bisa diakses melalui www.somasi.or.id (per 1 April 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar