Translate

Selasa, 02 April 2013

Komunikasi Politik 17 Desember



Joss dimaksudkan sebagai Tuhan dan setan, nasib baik dan buruk sekaligus
(dari novel Taipan karya James Clavell)



Setelah tiga tahun lebih BaRU menjabat, 17 Desember 2011, selain menandai usia 53 tahun Provinsi NTB yang kita cintai, kita prihatinkan, dan sekaligus selalu kita perjuangkan, juga menandai adanya pergeseran dalam pola komunikasi politik antar-grup politik di tubuh DPRD NTB, dalam hubungannya dengan Pemerintahan BaRU. Berbeda dengan situasi menjelang  peringatan Harlah NTB dalam tiga tahun sebelumnya, kali ini ia ditandai oleh mencuatnya ketidakpuasan terhadap kemapanan relasi-politik Kepala Daerah-DPRD. Sebuah upaya menerobos status-quo kondisi politik  yang dipelopori oleh Fraksi PDI Perjuangan, yang mengajukan mosi tidak percaya kepada ketua dewan.
***

Kisah berawal dari ketidakpuasan terhadap jadwal pembahasan RAPBD NTB 2012, yang harus selesai atau ditetapkan pada 17 Desember. Saya cukup memahami jika beberapa kelompok yang cukup kritis terhadap pemerintahan BaRU merasa difetakompli oleh jadwal pembahasan yang notabene adalah produk Panmus DPRD NTB itu. Semestinya, merujuk daur proses anggaran, dokumen KUA-PPAS anggaran tahun 2012 itu sudah harus dikirimkan oleh tim eksekutif paling tidak pada Bulan Juli lalu, untuk dibahas menyusul setelahnya pembahasan RAPBD pada Oktober.  Namun entah mengapa, dokumen KUA-PPAS baru terkirim pada tengah November, sementara dokumen RAPBD 2012 yang lumayan tebal itu baru muncul awal Desember. 

Memfetakompli Dewan untuk membahas RAPBD tanpa KUA-PPAS yang valid adalah praktek yang sulit dimengerti, apalagi dengan ‘mengkanalisasi’ dewan untuk wajib menyelesaikannya dalam rentang waktu yang sangat sempit, dibatasi sampai 17 Desember.

Karenanya, berbeda dengan pilihan setting agenda media massa yang ‘memoderasi’ fenomena lontaran mosi tidak percaya ini untuk diselesaikan sebagai masalah internal Partai Golkar, saya menilai ada dimensi yang tidak boleh dilupakan disini; dimensi kepentingan publik, kepentingan umum. Mengapa demikian, secara praktis bisa diketengahkan bahwa dalam system politik local yang sedang berjalan, satu-satunya saluran tersedia bagi aspirasi publik adalah melalui DPRD. Sehingga bila ada masalah dalam saluran ini, misalnya sekedar  menyempit, mampet atau bahkan benar-benar buntu, ia akan berdampak pada kepentingan publik. Karenanya, fenomena komunikasi politik yang terjadi tersebut haruslah diposisikan sebagai masalah publik.

Lagipula, (seperti belum dianggap lengkap saja) dalam dagelan seminggu ini, toh publik juga ikut “diperankan” sebagai actor. Entah darimana dimulainya, ujug-ujug, muncul wacana bahwa DPRD NTB merencanakan kenaikan tunjangan perumahan hingga Rp. 12 Juta/bulan. Setelah publik bereaksi keras, wacana ini malah sama sekali tak dibahas dalam rapat Panggar.

Hasil proses ini, sudah kita ketahui bersama. Dari mulut Fraksi PDI Perjuangan, wakil Partai Moncong Putih di gedung Dewan, meluncur  mosi tidak percaya terhadap Ketua Dewan. HL Sujirman, Sang Ketua Dewan yang telah menjabat anggota DPRD NTB dalam tiga periode ini,  salah seorang kader senior Partai Golkar, yang terpilih dari Dapil Lobar.  Ia menjabat Pimpinan Dewan bersama tiga orang Wakil Ketua Dewan dari tiga partai lain pemenang Pemilu Legislatif Provinsi; HL Halik Iskandar (Mamiq Alex/P. Demokrat, Dapil Lombok Tengah), Suryadi JP (PKS, Dapil Bima-Dompu), dan HL Syamsir (Mamiq Syamsir/PBB, Dapil Lombok Tengah).
***

Menyoal tiga partai lainnya yang menempatkan kadernya di kursi Pimpinan Dewan ini, Demokrat adalah partai yang (kini) dipimpin  Gubernur NTB, HM Zainul Majdi, PKS adalah rumah Wagub BM, sementara PBB adalah partai yang telah ikut membesarkan Gubernur dan mengantarkannya sebagai Anggota DPR-RI pada pemilu 2004. Atas posisi partai-partai ini, dengan menafikan signifikansi Golkar dalam peta politik, bisa dimaklumi jika dalam tiga tahun pemerintahannya, pasangan BaRU relative tidak memiliki hambatan yang berarti dalam mentransformasikan kebijakan-kebijakannya, khususnya yang harus mendapatkan persetujuan dari DPRD NTB.

Mengulangi kembali pernyataan Mamiq Alex, Demokrat siap pasang badan untuk mengamankan kebijakan Gubernur, gambaran kepercayaan diri yang besar. PKS kelihatannya dalam posisi selalu serba salah. Partai yang dalam periode lalu sangat garang ini, meski ketuanya Pak Musleh Kholil pada akhir tahun 2010 telah menegaskan posisi untuk kritis terhadap pemerintahan BaRU, nampaknya setahun terakhir belum bergeming dari posisi sebelumnya sebagai salah satu partai pemenang Pilgub. Fenomena yang dalam kacamata politik pragmatis cenderung bisa dimaklumi, meski belum tentu tak menimbulkan sitegang dalam tubuh partai mengingat Pemilu kian mendekat. Dan PBB, partai yang terancam tak bisa ikut Pemilu 2014 akibat membentur dinding electoral threshold ini, kiranya sedang dihadapkan pada kebingungan karena tak lagi punya dasar pijakan yang bagus. Mengulang ucapan Miq Syamsir, dalam bahasa saya sendiri, PBB saat ini sedang menjalankan ‘politik diplomasi yang dewasa’,  entah nanti begitu Pilgub mendekat.

Namun jika keberadaan Golkar memang benar dianggap signifikan dalam papan percaturan politik NTB,  pertanyaan memang pantas dilayangkan  ke kubu Partai Beringin  --partai sang ketua dewan--  yang berkantor di Jalan Sriwijaya: Ada apa denganmu Golkar?

Tahun lalu, usai mendapat mandat sebagai ketua dalam Musda DPD Golkar NTB, H Zaini Arony telah menegaskan bahwa Partai Beringin akan mengambil posisi kritis terhadap Pemerintahan BaRU. Namun hingga kini, apa yang menjadi komitmen sang ketua baru terpilih itu belum juga kelihatan dalam praktek. Pernyataan Zaini Arony itu sepertinya memang belum ‘bertuah’, dalam arti menjadi panduan bagi wakil-wakil partai di DPRD NTB. Bagi para pemikir politik local, fenomena ini bisa dipandang sebagai kealpaan besar mengingat konteks politik local terkini justru menunjukkan bahwa di tengah meluasnya paradigm politik yang mengedepankan  asosiasi komunal sebagai jalur representasi politik, pilihan untuk memajukan politik berbasis kepartaian adalah sebuah keharusan. Dan pada titik ini, pasca hasil Pilkada terakhir di Lombok Tengah, Golkar menempati posisi determinan (penentu) yang tak tergantikan oleh kekuatan politik manapun. Kealpaan Golkar ini, bagi saya pribadi telah menyumbang joss buruk bagi politik NTB.

Ketimbang beberapa argumen lainnya yang bisa saja diberikan, saya lebih setuju untuk menempatkan fenomena Golkar di DPRD NTB ini sebagai tidak bekerjanya paradigm partai secara maksimal sebagai akibat masih kuatnya paradigm personal (vested interest) kader senior partai. Hal ini saya nilai berlaku secara reprisokal, bukan sekedar menyangkut personal partai di gedung dewan melainkan secara timbal-balik mengkonfirmasi ketidaktegasan partai secara institusional untuk menjalankan garis partai. Dalam kasus Golkar, sebagai imbuhannya, statemen bahwa  kondisi politik local dalam batas tertentu juga dipengaruhi oleh struktur politik atasannya dalam konstalasi nasional-lokal, cukup bisa diterima. Namun sejauhmana hal ini –fenomena kepentingan personal mengatasi kepentingan institusional--cukup dipandang sebagai masalah strategis oleh partai Golkar, memang adalah domain pengurus partai.
***

Berkaca dari situasi dalam tiga tahun yang telah terlewati, relasi antara kepala daerah (baca: pemerintahan BaRU) dengan DPRD NTB relative adem-ayem. Meski beberapa kali sempat terliput adanya situasi panas, namun baik pemerintahan BaRU maupun grup politik “pendukung” pemerintahan BaRU di Jalan Udayana, sejauh ini relative berhasil menjaga “kemitraan” legislative-eksekutif.  Gelagat akhir tahun ini, seolah mengirimkan sinyal ada irama yang berbeda yang akan menjadi langgam permainan politik di tahun depan. Karena itu, banyak pihak juga akan awas memonitor adanya struktur peluang politik yang terbuka untuk digunakan. Bukan tidak mungkin tahun 2012 ini politik NTB akan diwarnai oleh  komunikasi politik yang berbeda dengan tiga tahun sebelumnya. Tahun ini adalah tahun efektif terakhir bagi Pemerintahan BaRU untuk bekerja. Dalam bahasa yang lebih terang, kinerja BaRU selama memimpin NTB sudah akan mulai dihitung di tengah tahun, jadi masa enam bulan ke depan adalah  masa kritis dalam memastikan capaian prestasi kerja.

Keluarnya mosi tidak percaya dan pembuktiannya dengan aksi walkout Fraksi PDI Perjuangan justru saat rapat paripurna Hultah NTB –sebuah momentum yang lebih kental aspek publiknya, dimana postur dewan lebih kental dinilai sebagai wakil rakyat ketimbang sebagai wakil partai masing-masing—seolah menunjukkan bahwa partai yang selama pemerintahan BaRU ini relative paling kritis dibanding partai lainnya, sedang mempertanyakan komitmen rekannya, yang boleh jadi dalam kacamata PDI Perjuangan  cukup strategis untuk diajak bergandengtangan. Entah apa jawaban Golkar, nampaknya takkan mudah.

Apapun keputusan para pihak nantinya, biarlah mereka menanggungnya. Politik NTB dewasa ini memang lebih banyak diwarnai oleh munculnya preseden untuk menjaga kondisi yang saling menguntungkan; politik banyak-sama-banyak. Anda dapat banyak-saya dapat banyak. Check and balances kekuasaan, biarlah hanya jadi bahan obrolan kelas menengah yang “kejepit” di forum-forum akhir minggu. Tapi mudah-mudahan saja para pemikir partai tak sampai lupa betapa pentingnya menjalankan paradigm partai secara institusional, alih-alih menghala kepada kepentingan personal-individual, layaknya meniti ombak tanpa kapal; tanpa bendera. Padahal dalam khazanah pelayaran, tak mungkin ada Taipan (sang pemimpin besar  kongsi perdagangan lintas-benua) tanpa  armada, dan karenanya ia menunjuk para kapten kapal. Bisa jadi, komunikasi politik 17 Desember ini menjadi pertanda joss buruk tak lagi mewarnai perjalanan politik NTB ke depan.

Dirilis pertamakali: 31 Desember 2011
Diskusi, saran & kritik via: ekaffah@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar