Joss dimaksudkan sebagai Tuhan dan setan,
nasib baik dan buruk sekaligus
(dari
novel Taipan karya James Clavell)
Setelah tiga tahun lebih BaRU menjabat, 17 Desember 2011,
selain menandai usia 53 tahun Provinsi NTB yang kita cintai, kita prihatinkan,
dan sekaligus selalu kita perjuangkan, juga menandai adanya pergeseran dalam
pola komunikasi politik antar-grup politik di tubuh DPRD NTB, dalam hubungannya
dengan Pemerintahan BaRU. Berbeda dengan situasi menjelang peringatan Harlah NTB dalam tiga tahun
sebelumnya, kali ini ia ditandai oleh mencuatnya ketidakpuasan terhadap
kemapanan relasi-politik Kepala Daerah-DPRD. Sebuah upaya menerobos status-quo kondisi politik yang dipelopori oleh Fraksi PDI Perjuangan,
yang mengajukan mosi tidak percaya kepada ketua dewan.
***
Kisah berawal dari ketidakpuasan terhadap jadwal
pembahasan RAPBD NTB 2012, yang harus selesai atau ditetapkan pada 17 Desember.
Saya cukup memahami jika beberapa kelompok yang cukup kritis terhadap
pemerintahan BaRU merasa difetakompli oleh jadwal pembahasan yang notabene
adalah produk Panmus DPRD NTB itu. Semestinya, merujuk daur proses anggaran, dokumen
KUA-PPAS anggaran tahun 2012 itu sudah harus dikirimkan oleh tim eksekutif
paling tidak pada Bulan Juli lalu, untuk dibahas menyusul setelahnya pembahasan
RAPBD pada Oktober. Namun entah mengapa,
dokumen KUA-PPAS baru terkirim pada tengah November, sementara dokumen RAPBD
2012 yang lumayan tebal itu baru muncul awal Desember.
Memfetakompli
Dewan untuk membahas RAPBD tanpa KUA-PPAS yang valid adalah praktek yang sulit
dimengerti, apalagi dengan ‘mengkanalisasi’ dewan untuk wajib menyelesaikannya
dalam rentang waktu yang sangat sempit, dibatasi sampai 17 Desember.
Karenanya,
berbeda dengan pilihan setting agenda media massa yang ‘memoderasi’ fenomena
lontaran mosi tidak percaya ini untuk diselesaikan sebagai masalah internal
Partai Golkar, saya menilai ada dimensi yang tidak boleh dilupakan disini;
dimensi kepentingan publik, kepentingan umum. Mengapa demikian, secara praktis
bisa diketengahkan bahwa dalam system politik local yang sedang berjalan, satu-satunya
saluran tersedia bagi aspirasi publik adalah melalui DPRD. Sehingga bila ada
masalah dalam saluran ini, misalnya sekedar
menyempit, mampet atau bahkan benar-benar buntu, ia akan berdampak pada
kepentingan publik. Karenanya, fenomena komunikasi politik yang terjadi
tersebut haruslah diposisikan sebagai masalah publik.
Lagipula,
(seperti belum dianggap lengkap saja) dalam dagelan seminggu ini, toh publik
juga ikut “diperankan” sebagai actor. Entah darimana dimulainya, ujug-ujug, muncul wacana bahwa DPRD NTB
merencanakan kenaikan tunjangan perumahan hingga Rp. 12 Juta/bulan. Setelah
publik bereaksi keras, wacana ini malah sama sekali tak dibahas dalam rapat
Panggar.
Hasil
proses ini, sudah kita ketahui bersama. Dari mulut Fraksi PDI Perjuangan, wakil
Partai Moncong Putih di gedung Dewan, meluncur mosi tidak percaya terhadap Ketua Dewan. HL
Sujirman, Sang Ketua Dewan yang telah menjabat anggota DPRD NTB dalam tiga
periode ini, salah seorang kader senior
Partai Golkar, yang terpilih dari Dapil Lobar.
Ia menjabat Pimpinan Dewan bersama tiga orang Wakil Ketua Dewan dari
tiga partai lain pemenang Pemilu Legislatif Provinsi; HL Halik Iskandar (Mamiq
Alex/P. Demokrat, Dapil Lombok Tengah), Suryadi JP (PKS, Dapil Bima-Dompu), dan
HL Syamsir (Mamiq Syamsir/PBB, Dapil Lombok Tengah).
***
Menyoal tiga partai lainnya yang menempatkan kadernya di kursi Pimpinan Dewan ini,
Demokrat adalah partai yang (kini) dipimpin
Gubernur NTB, HM Zainul Majdi, PKS adalah rumah Wagub BM, sementara PBB
adalah partai yang telah ikut membesarkan Gubernur dan mengantarkannya sebagai
Anggota DPR-RI pada pemilu 2004. Atas posisi partai-partai ini, dengan
menafikan signifikansi Golkar dalam peta politik, bisa dimaklumi jika dalam
tiga tahun pemerintahannya, pasangan BaRU relative tidak memiliki hambatan yang
berarti dalam mentransformasikan kebijakan-kebijakannya, khususnya yang harus
mendapatkan persetujuan dari DPRD NTB.
Mengulangi
kembali pernyataan Mamiq Alex, Demokrat siap pasang badan untuk mengamankan
kebijakan Gubernur, gambaran kepercayaan diri yang besar. PKS kelihatannya
dalam posisi selalu serba salah. Partai yang dalam periode lalu sangat garang
ini, meski ketuanya Pak Musleh Kholil pada akhir tahun 2010 telah menegaskan
posisi untuk kritis terhadap pemerintahan BaRU, nampaknya setahun terakhir belum
bergeming dari posisi sebelumnya sebagai salah satu partai pemenang Pilgub. Fenomena
yang dalam kacamata politik pragmatis cenderung bisa dimaklumi, meski belum
tentu tak menimbulkan sitegang dalam tubuh partai mengingat Pemilu kian
mendekat. Dan PBB, partai yang terancam tak bisa ikut Pemilu 2014 akibat
membentur dinding electoral threshold
ini, kiranya sedang dihadapkan pada kebingungan karena tak lagi punya dasar
pijakan yang bagus. Mengulang ucapan Miq Syamsir, dalam bahasa saya sendiri, PBB
saat ini sedang menjalankan ‘politik diplomasi yang dewasa’, entah nanti begitu Pilgub mendekat.
Namun
jika keberadaan Golkar memang benar dianggap signifikan dalam papan percaturan
politik NTB, pertanyaan memang pantas dilayangkan
ke kubu Partai Beringin --partai sang ketua dewan-- yang berkantor di Jalan Sriwijaya: Ada apa denganmu Golkar?
Tahun
lalu, usai mendapat mandat sebagai ketua dalam Musda DPD Golkar NTB, H Zaini
Arony telah menegaskan bahwa Partai Beringin akan mengambil posisi kritis
terhadap Pemerintahan BaRU. Namun hingga kini, apa yang menjadi komitmen sang ketua
baru terpilih itu belum juga kelihatan dalam praktek. Pernyataan Zaini Arony itu
sepertinya memang belum ‘bertuah’, dalam arti menjadi panduan bagi wakil-wakil
partai di DPRD NTB. Bagi para pemikir politik local, fenomena ini bisa
dipandang sebagai kealpaan besar mengingat konteks politik local terkini justru
menunjukkan bahwa di tengah meluasnya paradigm politik yang mengedepankan asosiasi komunal sebagai jalur representasi
politik, pilihan untuk memajukan politik berbasis kepartaian adalah sebuah
keharusan. Dan pada titik ini, pasca hasil Pilkada terakhir di Lombok Tengah, Golkar
menempati posisi determinan (penentu) yang tak tergantikan oleh kekuatan
politik manapun. Kealpaan Golkar ini, bagi saya pribadi telah menyumbang joss buruk bagi politik NTB.
Ketimbang
beberapa argumen lainnya yang bisa saja diberikan, saya lebih setuju untuk
menempatkan fenomena Golkar di DPRD NTB ini sebagai tidak bekerjanya paradigm
partai secara maksimal sebagai akibat masih kuatnya paradigm personal (vested interest) kader senior partai.
Hal ini saya nilai berlaku secara reprisokal, bukan sekedar menyangkut personal
partai di gedung dewan melainkan secara timbal-balik mengkonfirmasi
ketidaktegasan partai secara institusional untuk menjalankan garis partai.
Dalam kasus Golkar, sebagai imbuhannya, statemen bahwa kondisi politik local dalam batas tertentu
juga dipengaruhi oleh struktur politik atasannya dalam konstalasi
nasional-lokal, cukup bisa diterima. Namun sejauhmana hal ini –fenomena
kepentingan personal mengatasi kepentingan institusional--cukup dipandang
sebagai masalah strategis oleh partai Golkar, memang adalah domain pengurus
partai.
***
Berkaca dari situasi dalam tiga tahun yang telah terlewati, relasi antara kepala daerah (baca:
pemerintahan BaRU) dengan DPRD NTB relative adem-ayem. Meski beberapa kali
sempat terliput adanya situasi panas, namun baik pemerintahan BaRU maupun grup
politik “pendukung” pemerintahan BaRU di Jalan Udayana, sejauh ini relative
berhasil menjaga “kemitraan” legislative-eksekutif. Gelagat akhir tahun ini, seolah mengirimkan
sinyal ada irama yang berbeda yang akan menjadi langgam permainan politik di
tahun depan. Karena itu, banyak pihak juga akan awas memonitor adanya struktur
peluang politik yang terbuka untuk digunakan. Bukan tidak mungkin tahun 2012
ini politik NTB akan diwarnai oleh
komunikasi politik yang berbeda dengan tiga tahun sebelumnya. Tahun ini
adalah tahun efektif terakhir bagi Pemerintahan BaRU untuk bekerja. Dalam
bahasa yang lebih terang, kinerja BaRU selama memimpin NTB sudah akan mulai
dihitung di tengah tahun, jadi masa enam bulan ke depan adalah masa kritis dalam memastikan capaian prestasi
kerja.
Keluarnya
mosi tidak percaya dan pembuktiannya dengan aksi walkout Fraksi PDI Perjuangan justru saat rapat paripurna Hultah
NTB –sebuah momentum yang lebih kental aspek publiknya, dimana postur dewan
lebih kental dinilai sebagai wakil rakyat ketimbang sebagai wakil partai
masing-masing—seolah menunjukkan bahwa partai yang selama pemerintahan BaRU ini
relative paling kritis dibanding partai lainnya, sedang mempertanyakan komitmen
rekannya, yang boleh jadi dalam kacamata PDI Perjuangan cukup strategis untuk diajak
bergandengtangan. Entah apa jawaban Golkar, nampaknya takkan mudah.
Apapun
keputusan para pihak nantinya, biarlah mereka menanggungnya. Politik NTB dewasa
ini memang lebih banyak diwarnai oleh munculnya preseden untuk menjaga kondisi
yang saling menguntungkan; politik banyak-sama-banyak. Anda dapat banyak-saya
dapat banyak. Check and balances
kekuasaan, biarlah hanya jadi bahan obrolan kelas menengah yang “kejepit” di
forum-forum akhir minggu. Tapi mudah-mudahan saja para pemikir partai tak
sampai lupa betapa pentingnya menjalankan paradigm partai secara institusional,
alih-alih menghala kepada kepentingan personal-individual, layaknya meniti
ombak tanpa kapal; tanpa bendera. Padahal dalam khazanah pelayaran, tak mungkin
ada Taipan (sang pemimpin besar kongsi perdagangan
lintas-benua) tanpa armada, dan
karenanya ia menunjuk para kapten kapal. Bisa jadi, komunikasi politik 17
Desember ini menjadi pertanda joss
buruk tak lagi mewarnai perjalanan politik NTB ke depan.
Dirilis pertamakali: 31 Desember
2011
Diskusi, saran & kritik via:
ekaffah@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar