Translate

Minggu, 31 Maret 2013

Pemberantasan Korupsi Tanpa Pemimpin



Robo mas faco obras.
(Ya, saya memang merampok, tapi pekerjaan umum terlaksana, kan?)

Bogor, 2003. Sesi sepekan kami sepanjang tiga hari pertama dimentori seorang profesor dari Rand Institute, sebuah lembaga yang dikenal punya hubungan dekat dengan CIA (Central Intelligence Agency), AS. Saya beruntung bisa hadir  karena sedang memimpin sebuah program antikorupsi  di NTB yang disokong The Asia Foundation, penyelenggara acara ini. Bonus tambahannya,  saya sekamar dengan Eko Prasetyo, pengelola penerbitan INSIST Jogya yang terkenal dengan seri buku “Orang Miskin Dilarang…”-nya, yang belakangan  mendirikan RESIST Book. Pertemuan itu bertajuk Efficiency and Integrity in Government : Diagnosing Problems and Creating Solutions.
 
Mengingat kembali  pertemuan itu, saya dipaksa untuk membongkar kembali memori sepuluh tahun terakhir dalam mendorong pemberantasan korupsi di NTB. Ada yang sudah berjalan, namun lebih banyak kekosongan yang perlu diisi.
***

Sang Profesor  memulai sesinya dengan menggambar sebuah peta kota, melengkapinya dengan sejumlah data seperti data demografi, statistic ekonomi, anggaran tersedia, dan secara khusus mencatat  berbagai masalah yang sedang dihadapi kota. Orang-orang yang dipercaya mengurus  kota berhadapan dengan banyak masalah, dan korupsi yang mengganas adalah salah satunya. Apa yang harus para pengurus kota lakukan? Pilihan tindakan apa yang harus mereka ambil?

Inilah beberapa penuntunnya. Keuntungan dari inisiatif pemberantasan korupsi adalah memberikan pendapatan kota yang lebih besar, memperbaiki system administrative, memperbaiki kinerja pelayanan untuk warga, dan meningkatkan keterlibatan warga dalam praktek pemerintahan; Kata kunci untuk melakukan pemberantasan korupsi adalah memiliki strategi yang tepat; C=D +M-A. Semakin besar Diskresi (wewenang besar tanpa kejelasan batasan) dan Monopoli kekuasaan tingkat korupsi cenderung makin besar, namun jika Akuntabilitas diperbesar korupsi cenderung makin mengecil.

Korupsi adalah kejahatan kalkulasi,  pakai pikiran, bukan dorongan nafsu. Orang cenderung korupsi bila risikonya rendah, sanksi ringan dan hasilnya besar; Fokus tindakan sebuah strategi pemberantasan korupsi adalah pada pembenahan system dan bukan imbauan moral.  Tekanannya adalah pada perbaikan system informasi dan insentif (positif maupun negatif). Singkatnya, berdasar pengalaman bekerja di 27 negara berkembang, ada empat langkah strategi yang dianjurkan. Kabar baiknya, kita tidak harus menjiplak mati semua anjuran itu, namun bisa disesuaikan dengan konteks situasi yang kita hadapi.

Sebagaimana Anda juga telah menduganya, strategi Sang Professor adalah untuk memberantas korupsi sistemik dalam lingkungan pemerintahan daerah. Strategi ini ditujukan bagi pemimpin daerah yang ingin menjalankan program antikorupsi sebagai pengungkit bagi tujuan-tujuan yang lebih luas, untuk menjawab masalah-masalah prioritas dan mendesak yang umum dihadapi oleh pemerintah daerah dewasa ini.

Bagaimana mengaplikasikannya,  kami kan bukan walikota atau gubernur? Si Prof berkali-kali disodori pertanyaan serupa, namun tak pernah mau menjawabnya. Senada dengan keengganannya mengupas soal struktur social masyarakat kota itu, kerangka historis, setting politik local atau bagaimana lanskap hubungan daerah dengan pemerintah nasional. Karena punya proposisi bahwa orang Amerika beda dengan orang Asia dalam mengurai sesuatu, saya mengira ia tidak peduli dengan hal-hal penting itu karena disana kondisi lingkungan eksternalnya relative sudah mapan. Berbeda dengan situasi di beberapa negara ketiga yang cenderung masih dalam proses transisi, sehingga  sudah kebiasaan kalau ketemu professor dari Asia  mereka pasti menghabiskan banyak waktu untuk mengurai aspek-aspek diatas. Tapi mungkin saja, Sang Profesor hanya mau professional saja, mengerjakan urusan yang memang dimandatkan kepadanya atau yang memang dikuasainya: That’s not my business. Tapi saya mengartikannya lebih lanjut sebagai: That’s your business not mine! 
***
;
Prasyarat utama  bagi sebuah inisiatif pemberantasan korupsi dalam tubuh pemerintahan daerah adalah adanya pemimpin antikorupsi. Harus ada yang memulainya, memastikannya berjalan dan sekaligus menjadi  “tameng”. Faktanya, kampanye antikorupsi sering berhenti pada hari pengumuman calon pemenang pemilihan. Kini, dongeng sering tak lagi dimulai dengan “Pada jaman dahulu kala…” melainkan “Seandainya saya terpilih…” Ironisnya, masalah kota yang dihadapi oleh Maclean-Abaroa, walikota penyuci yang telah mempraktekkan anjuran-anjuran Sang Profesor dalam menurunkan korupsi di La Paz, Bolivia tak jauh berbeda dengan masalah yang umum dihadapi pemerintah daerah di Tanah Air dasawarsa terakhir ini. Pemimpin antikorupsi diperlukan atas dua alasan,  untuk memastikan pemberantasan korupsi memang berjalan, dan berikutnya  untuk memastikan keberlanjutan program antikorupsi. Betapa sering terjadi, pergantian pemimpin kemudian merusak keberhasilan yang telah dicapai.

Dukungan politik dan birokrasi adalah syarat berikutnya. Pandangan saya, system politik lokal terkini yang cenderung ditata untuk kepentingan stabilitas pembangunan, relatif kondusif.  Tidak akan ada resistensi  politik yang berarti bagi setiap kepala daerah yang ingin menjalankan program apa pun, termasuk pemberantasan korupsi. Dukungan birokrasi meski harus menempuh ‘taktik tiga  langkah’ sangat mungkin diperoleh. Soalnya adalah mau atau tidak mau.

Last but not least, Legitimasi sosial dan dukungan publik. Tantangan terbesar untuk menjadi pemimpin antikorupsi di daerah adalah legitimasi social untuk memulainya dan adanya dukungan public sebagai pilar tak tergantikan dalam mencapai kesuksesannya. Sejauhmana pemberantasan korupsi memiliki legitimasi atau  menjadi kesepakatan umum,  dan sejauhmana masyarakat siap untuk mendukung agenda ini.  Sepuluh tahun terakhir keadaan sudah banyak berubah. Kinerja pemberantasan korupsi telah menjadi salah satu indicator terpenting keberhasilan pemerintah, public meminta, memohon dan terus berteriak agar korupsi diberantas, Rencana Aksi Daerah untuk Pemberantasan Korupsi (RAD-PK) telah diinstruksikan oleh Presiden. Faktanya, publiklah yang telah berubah banyak. Keresahan yang luas dan upaya-upaya pendidikan antikorupsi oleh jurnalis, NGO, mahasiswa, ormas, kalangan Tuan Guru, kaum profesi, dan kelompok usaha telah menyediakan warga –korban dan musuh utama korupsi-- yang siap mendukung agenda pemberantasan korupsi.

***

Buku Profesor Klitgaard dkk. belakangan memang telah beredar luas di Indonesia dengan judul Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan  Daerah. Rumus C=D+M-A sudah dikenal luas. Saya ingat dengan  baik, atas nama SOMASI NTB pernah mengirimnya kepada Sekda, Wagub, dan Gubernur  pada era pemerintahan  Gubernur Serinata, tak ketinggalan  beberapa pemimpin daerah di kabupaten/kota.

Namun  hingga hari ini mereka yang  dengan bangga berdiri pada saf terdepan pemimpin antikorupsi  masih bisa dihitung dengan jari, kontras dengan panjangnya kolom  kepala daerah yang tersangkut korupsi di koran-koran. Lebih banyak  pemimpin daerah yang memilih untuk mengurangi kemiskinan dan memperbaiki layanan public sambil mengabaikan pemberantasan korupsi dalam program prioritasnya.  Dalam jumlah terbatas ada juga pemimpin yang dikenal tak korupsi namun tidak antikorupsi. Mereka, saya golongkan termasuk pengagum seorang walikota di Brazil yang pada pemilihan kali keduanya  mengeluarkan bantahan ini:  Robo mas faco obras; Ya, saya (teman dan staf saya) memang merampok, tapi pekerjaan umum terlaksana, kan? Setiap orang adalah pemimpin … , sabda Nabi.

Dirilis pertama kali pada : 26 Oktober 2011
Diskusi, saran dan kritik via:  ekaffah@yahoo.com

1 komentar: