Robo mas faco obras.
(Ya, saya memang merampok, tapi pekerjaan umum terlaksana,
kan?)
Bogor, 2003. Sesi
sepekan kami sepanjang tiga hari pertama dimentori seorang profesor dari Rand
Institute, sebuah lembaga yang dikenal punya hubungan dekat dengan CIA (Central Intelligence Agency), AS.
Saya beruntung bisa hadir karena sedang
memimpin sebuah program antikorupsi di
NTB yang disokong The Asia Foundation,
penyelenggara acara ini. Bonus tambahannya, saya sekamar dengan Eko Prasetyo, pengelola
penerbitan INSIST Jogya yang terkenal dengan seri buku “Orang Miskin Dilarang…”-nya,
yang belakangan mendirikan RESIST Book. Pertemuan
itu bertajuk Efficiency and Integrity in Government : Diagnosing Problems and
Creating Solutions.
Mengingat kembali
pertemuan itu, saya dipaksa untuk membongkar kembali memori sepuluh
tahun terakhir dalam mendorong pemberantasan korupsi di NTB. Ada yang sudah berjalan,
namun lebih banyak kekosongan yang perlu diisi.
***
Sang Profesor
memulai sesinya dengan menggambar sebuah
peta kota, melengkapinya dengan sejumlah data seperti data demografi, statistic
ekonomi, anggaran tersedia, dan secara khusus mencatat berbagai masalah yang sedang dihadapi kota. Orang-orang
yang dipercaya mengurus kota berhadapan
dengan banyak masalah, dan korupsi yang mengganas adalah salah satunya. Apa
yang harus para pengurus kota lakukan? Pilihan tindakan apa yang harus mereka
ambil?
Inilah beberapa penuntunnya. Keuntungan dari
inisiatif pemberantasan korupsi adalah memberikan pendapatan kota yang lebih
besar, memperbaiki system administrative, memperbaiki kinerja pelayanan untuk
warga, dan meningkatkan keterlibatan warga dalam praktek pemerintahan; Kata
kunci untuk melakukan pemberantasan korupsi adalah memiliki strategi yang
tepat; C=D +M-A. Semakin besar Diskresi (wewenang besar tanpa kejelasan
batasan) dan Monopoli kekuasaan tingkat korupsi cenderung makin besar, namun
jika Akuntabilitas diperbesar korupsi cenderung makin mengecil.
Korupsi adalah kejahatan kalkulasi, pakai pikiran, bukan dorongan nafsu. Orang
cenderung korupsi bila risikonya rendah, sanksi ringan dan hasilnya besar; Fokus
tindakan sebuah strategi pemberantasan korupsi adalah pada pembenahan system
dan bukan imbauan moral. Tekanannya
adalah pada perbaikan system informasi dan insentif (positif maupun negatif).
Singkatnya, berdasar pengalaman bekerja di 27 negara berkembang, ada empat langkah
strategi yang dianjurkan. Kabar baiknya, kita tidak harus menjiplak mati semua
anjuran itu, namun bisa disesuaikan dengan konteks situasi yang kita hadapi.
Sebagaimana Anda juga telah menduganya, strategi Sang
Professor adalah untuk memberantas korupsi sistemik dalam lingkungan
pemerintahan daerah. Strategi ini ditujukan bagi pemimpin daerah yang ingin
menjalankan program antikorupsi sebagai pengungkit bagi tujuan-tujuan yang
lebih luas, untuk menjawab masalah-masalah prioritas dan mendesak yang umum
dihadapi oleh pemerintah daerah dewasa ini.
Bagaimana mengaplikasikannya, kami kan bukan walikota atau gubernur? Si Prof berkali-kali disodori
pertanyaan serupa, namun tak pernah mau menjawabnya. Senada dengan
keengganannya mengupas soal struktur social masyarakat kota itu, kerangka
historis, setting politik local atau bagaimana lanskap hubungan daerah dengan
pemerintah nasional. Karena punya proposisi bahwa orang Amerika beda dengan
orang Asia dalam mengurai sesuatu, saya mengira ia tidak peduli dengan hal-hal
penting itu karena disana kondisi lingkungan eksternalnya relative sudah mapan.
Berbeda dengan situasi di beberapa negara ketiga yang cenderung masih dalam
proses transisi, sehingga sudah
kebiasaan kalau ketemu professor dari Asia
mereka pasti menghabiskan banyak waktu untuk mengurai aspek-aspek diatas.
Tapi mungkin saja, Sang Profesor hanya mau professional saja, mengerjakan
urusan yang memang dimandatkan kepadanya atau yang memang dikuasainya: That’s not my business. Tapi saya
mengartikannya lebih lanjut sebagai: That’s
your business not mine!
***
;
Prasyarat
utama bagi sebuah inisiatif
pemberantasan korupsi dalam tubuh pemerintahan daerah adalah adanya pemimpin antikorupsi.
Harus ada yang memulainya, memastikannya berjalan dan sekaligus menjadi “tameng”. Faktanya, kampanye antikorupsi
sering berhenti pada hari pengumuman calon pemenang pemilihan. Kini, dongeng sering
tak lagi dimulai dengan “Pada jaman dahulu kala…” melainkan “Seandainya saya
terpilih…” Ironisnya, masalah kota yang dihadapi oleh Maclean-Abaroa, walikota
penyuci yang telah mempraktekkan anjuran-anjuran Sang Profesor dalam menurunkan
korupsi di La Paz, Bolivia tak jauh berbeda dengan masalah yang umum dihadapi
pemerintah daerah di Tanah Air dasawarsa terakhir ini. Pemimpin antikorupsi diperlukan
atas dua alasan, untuk memastikan
pemberantasan korupsi memang berjalan, dan berikutnya untuk memastikan keberlanjutan program
antikorupsi. Betapa sering terjadi, pergantian pemimpin kemudian merusak
keberhasilan yang telah dicapai.
Dukungan politik dan birokrasi adalah syarat berikutnya. Pandangan
saya, system politik lokal terkini yang cenderung ditata untuk kepentingan
stabilitas pembangunan, relatif kondusif.
Tidak akan ada resistensi politik
yang berarti bagi setiap kepala daerah yang ingin menjalankan program apa pun,
termasuk pemberantasan korupsi. Dukungan birokrasi meski harus menempuh ‘taktik
tiga langkah’ sangat mungkin diperoleh.
Soalnya adalah mau atau tidak mau.
Last but not
least, Legitimasi sosial dan dukungan publik. Tantangan terbesar untuk
menjadi pemimpin antikorupsi di daerah adalah legitimasi social untuk
memulainya dan adanya dukungan public sebagai pilar tak tergantikan dalam
mencapai kesuksesannya. Sejauhmana pemberantasan korupsi memiliki legitimasi
atau menjadi kesepakatan umum, dan sejauhmana masyarakat siap untuk mendukung
agenda ini. Sepuluh tahun terakhir
keadaan sudah banyak berubah. Kinerja pemberantasan korupsi telah menjadi salah
satu indicator terpenting keberhasilan pemerintah, public meminta, memohon dan
terus berteriak agar korupsi diberantas, Rencana Aksi Daerah untuk
Pemberantasan Korupsi (RAD-PK) telah diinstruksikan oleh Presiden. Faktanya, publiklah
yang telah berubah banyak. Keresahan yang luas dan upaya-upaya pendidikan
antikorupsi oleh jurnalis, NGO, mahasiswa, ormas, kalangan Tuan Guru, kaum
profesi, dan kelompok usaha telah menyediakan warga –korban dan musuh utama
korupsi-- yang siap mendukung agenda pemberantasan korupsi.
***
Buku
Profesor Klitgaard dkk. belakangan memang telah beredar luas di Indonesia
dengan judul Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah. Rumus C=D+M-A sudah dikenal luas. Saya
ingat dengan baik, atas nama SOMASI NTB pernah
mengirimnya kepada Sekda, Wagub, dan Gubernur
pada era pemerintahan Gubernur
Serinata, tak ketinggalan beberapa
pemimpin daerah di kabupaten/kota.
Namun hingga
hari ini mereka yang dengan bangga
berdiri pada saf terdepan pemimpin antikorupsi masih bisa dihitung dengan jari, kontras
dengan panjangnya kolom kepala daerah
yang tersangkut korupsi di koran-koran. Lebih banyak pemimpin daerah yang memilih untuk mengurangi
kemiskinan dan memperbaiki layanan public sambil mengabaikan pemberantasan
korupsi dalam program prioritasnya. Dalam
jumlah terbatas ada juga pemimpin yang dikenal tak korupsi namun tidak
antikorupsi. Mereka, saya golongkan termasuk pengagum seorang walikota di
Brazil yang pada pemilihan kali keduanya
mengeluarkan bantahan ini: Robo mas faco obras; Ya, saya (teman dan
staf saya) memang merampok, tapi pekerjaan umum terlaksana, kan? Setiap orang adalah pemimpin … , sabda
Nabi.
Dirilis pertama kali
pada : 26 Oktober 2011
Diskusi, saran dan kritik
via: ekaffah@yahoo.com
Mantap bang
BalasHapus