Translate

Minggu, 31 Maret 2013

Provinsi Baru atau Memperbaiki Layanan? (2)



Momentum= Gaya x Jarak
 (rumus terpenting mahasiswa teknik sipil semester awal)

Jika Anda bisa mulai bersepakat dengan gagasan saya, bahwa perbaikan dan perluasan layanan tidak serta-merta harus ditempuh melalui pengembangan atau pembentukan sebuah struktur baru,  sebuah umpan-balik derivatif (turunan) kiranya juga perlu mendapat perhatian. Untuk memperluas pelayanan tidak harus memerlukan struktur (pemerintahan) baru, namun, sebuah upaya perluasan layanan juga bisa menjadi sasaran antara untuk mengembangkan sebuah struktur baru. Hal ini bisa semakin diperjelas jika dinamika agen-nya ikut dipotret.

Mutasi isu: Perbaikan layanan menuju  Provinsi Baru
Dalam ranah pengorganisasian warga, para aktivis mengenal istilah Mutasi Isu. Ia dilaksanakan jika ada jurang (gap) antara kebutuhan kelompok dampingan dengan apa yang menjadi perhatian kelompok sasaran eksternal. Mutasi isu diperlukan sebagai batu loncatan untuk mendapatkan dukungan melalui pemenuhan kepentingan/keberpihakan kelompok sasaran yang ingin diajak mendukung agenda kita.

Dalam pengalaman warga daerah aliran sungai Narmada di India, masalah pokok (terpenting) yang dihadapi warga adalah potensi ‘tercemarnya’ kawasan suci penganut Hindu yang bisa terjadi jika ekspansi industry pulp dan kertas menerjang hutan mereka. Namun untuk memobilisasi dukungan internasional, mereka memajukan isu kerusakan lingkungan hutan dan keberlanjutan sumber daya air.

Di Bertais-Cakranegara, sekitar Terminal Mandalika, masalah utama pemuda adalah tiadanya lapangan kerja yang diharapkan dapat diatasi melalui akses potensi lapangan kerja di area terminal timur. Mutasi isu oleh OPSI Bertais, menyoroti beban psikologis yang dihadapi warga secara keseluruhan dengan berkembangnya  stigma bahwa banyak terjadi jambret, copet, pemalakan, dsb, terhadap penumpang yang menaiki angkot di jalur jalan raya, yang dialamatkan ke warga setempat. Sehingga isu yang dicuatkan adalah perlunya penertiban pola angkut penumpang yang harus dipusatkan di area terminal, dan dengannya dukungan DPRD dan instansi terkait bisa diraih. Variasinya disini dibanding  di Narmada-India, ia menyandingkan pendekatan berbasis wilayah dengan asset strategis. 

Atau dalam kasus Taman Wisata Aikbukak, Lombok Tengah,  alasan moral (meluasnya maksiat), dan kerusakan lingkungan hutan sekitar, menjadi argumen warga untuk menguasai asset strategis itu, padahal soal pokoknya bagaimana asset itu bisa didaya-gunakan untuk menjawab persoalan kemiskinan warga setempat.   Variasi modus lainnya, dalam kasus pembangunan BIL di Tanak Awu, tentangan terhadapnya dari kelompok warga yang masih mempertanyakan haknya terkait  tanah lokasi Bandara bisa terbungkam hanya dengan mengawalinya dengan peletakan batu pertama sebuah tempat ibadah; pengembangan asset strategis dalam lindungan jas hujan agama.

Karenanya, sah-sah saja jika beberapa kalangan mencurigai bahwa pengembangan asset-asset layanan strategis yang semata diorientasikan pada wilayah tertentu tidak lain merupakan bagian dari praktek mutasi isu untuk tujuan tertentu. Namun mengikuti de Bono sang ahli berpikir,  ketimbang memakai “topi hitam” yang cenderung memangkas bersemainya ide, atau mengambil posisi optimis seperti kerap menjadi pilihan Farid Tolomundu,   saya lebih memilih (untuk konteks ini) berpikir alternatif.

Hemat saya, implementasi perbaikan layanan justru dapat dire-orientasi menjadi katalisator untuk pembentukan provinsi baru. Menggunakan cara berfikir memperluas jangkauan pelayanan namun untuk mempersiapkan struktur (pemerintahan) baru. Demikianlah, pembentukan sebuah universitas negeri di Kota Sumbawa selain bisa diterjemahkan sebagai upaya untuk memperluas jangkauan layanan pendidikan tinggi, juga bisa dimaknai dalam perspektif yang berbeda sebagai langkah mempersiapkan terwujudnya provinsi baru.

Mengapa demikian, kelahiran sebuah kampus negeri bisa secara radikal memproduksi intelektual dan kelas menengah baru. Ia dapat melahirkan struktur wacana baru sekaligus kelompok baru yang akan mendorong dan menyangga perubahan, dan memperkuat “nasionalisme” setempat . Ia (demikian pula sebuah rumah sakit rujukan provinsi) juga akan  melahirkan sebuah pusat mobilitas baru, dan berikutnya pusat pertumbuhan baru. Latar kelahiran gerakan nasional Indonesia yang dimulai di Jawa pada Awal abad 20 adalah sebuah preseden. Kuatnya tradisi negara bagian di AS, sampai batas tertentu juga didukung oleh perkembangan serupa.

Karena itu, agar tak sampai menyediakan panggung untuk su’udzon (berburuk sangka),  jika memang orientasinya adalah memperluas jangkauan pelayanan, RS dengan pelayanan selevel RSU provinsi kalau bisa minimal ada lima banyaknya, dua sampai tiga  di Lombok dan tiga di Sumbawa. Perguruan tinggi negeri yang umum semacam Unram paling tidak ada dua di Sumbawa dan satu lagi di Lombok.  Tak ketinggalan pula institut semacam IAIN juga perlu diperluas jangkauan layanannya. Cara berfikir ini tentu dibimbing oleh masih signifikannya peran institusi negeri di daerah dan memposisikan penanganan kesehatan selevel RSU provinsi dan pendidikan tinggi sebagai pelayanan oleh negara ketimbang mengandalkan partisipasi social rakyat. Diluar keduanya, masih banyak lagi bentuk layanan lain yang perlu disoal, seperti jalan raya, bandar udara, pelabuhan laut, dlsb.

Tentu saja, pilihan-pilihan yang diambil seyogyanya mempertimbangkan aspek aksesibilitas (geografis) dan jumlah penduduk yang dilayani. Sebagai pelengkap, saya katakan terus terang posisi saya: duit adalah masalah teknis, bukan strategis.  Maka pilihan menjadi pemimpin itu memang berat. Bahkan sebelum tahun Isa dan tahun Hijrah, pilihan dan risiko adalah pasangan abadi meski tanpa upacara pernikahan.

Mobilitas Agen: Gamelan tanpa Gong
Dalam tradisi Jawa kuno, runtuh dan bangkitnya sebuah dinasti diramalkan terjadi setiap pergantian abad Jawa. Pusat kekuasaan baru ditetapkan dimana seorang perempuan hamil yang keluar dari istana menghentikan perjalanannya, melalui proses metafisis. Namun, selain mempelajari sejarah, manusia juga menciptakan sejarah. Menjelang momentum pergantian kekuasaan, kuda-kuda mulai disusun, para ahli kitab mengeluarkan kitab baru, dan prakarsa tindakan dari setiap klik kekuasaanlah yang memastikan momentum itu benar-benar mewujud.

Demikianlah, momentum telah ditandai dan jarak telah diukur. Namun takkan ada  momentum tanpa adanya gaya-gaya yang bekerja dalam locus areanya. Maka mobilitas agen (para actor) mulai terjadi untuk menyambut datangnya Provinsi Baru. Pemencaran kekuasaan akan berakibat adanya upaya kelompok-kelompok kepentingan untuk memperebutkan kuasa itu. Ini untuk mereka yang memilih bermain di jalur politik praktis. Untuk organisasi-organisasi pelayanan, sebuah pertanyaan yang cukup menggugah pun terlontar : “lebih baik melayani dua provinsi dari pada satu provinsi, kan?”

Dan sejumlah kecenderungan sudah bisa mulai dipotret. Langkah menghidupkan kembali institusi Kerajaan Sumbawa, memang menyimpan kontroversi yang hingga kini belum selesai didiskusikan oleh kalangan muda. Mengapa langkah itu justru digebar ketika rencana pembentukan Provinsi Baru mulai mendapat titik pijakan, bukan sebelumnya ketika otonomi daerah mulai bergulir pada awal 2000-an. Bercermin ke tetangga sebelah, ketimbang merevitalisasi institusi kerajaan untuk memainkan peran politik dalam situasi yang sudah berubah, bahkan sejak sebelum otonomi digulirkan Kerajaan Bima telah berubah menjadi pemangku kebudayaan dan pelestarian nilai adat-sara, sementara para pewaris trahnya memilih untuk menggunakan ruang politik kepartaian yang tersedia, yang memang telah memiliki legitimasi sosial.

Perluasan organisasi-organisasi berbasis massa juga mulai terjadi, baik melalui pendekatan jejaring atau pun organisasi terpusat. Beberapa pemain utama, akan memilih mempermudah kerja dengan menggunakan sumber-sumber politik yang memang sudah tersedia dan gampang dimobilisasi, karena mengejar timing yang sudah dijadwalkan. Tuntutan  pragmatis mentrasformasi kuasa akan menoleransi hambatan ideologis. Yang lainnya, akan bersabar menyiapkan lahan yang cocok untuk menyemai ideologi sembari awas menghitung kesempatan terbukanya struktur peluang politik sebagai batu loncatan.

Karakter messianism Guru Dane versi Salman Alfarisi, jejaring dakwah kelompok tareqat a la Darul Falah Pagutan, atau pun penyandingannya dengan system organisasi modern  sebagaimana ditempuh Maulana Syeikh dalam Nadhlatul Wathan, kiranya masih akan menjadi langgam yang laku. Bukan sekedar karena alasan ‘genit’ ini adalah khas kita yang berbeda dengan daerah lain, melainkan karena strategi  politik juga telah memanfaatkan teknologi derivatif baru: pencitraan politik dan keunggulan lembaga survey. 

Di tengah semua semua kecenderungan itu, para pemain utama sangat jelas hanya menari mengikuti alunan gendang yang ditabuh ramai-ramai, tanpa ada yang memimpin untuk menabuh gong. Ironis, mengingat dalam prosesi peresmian sebuah fasilitas umum, gong hanya bisa ditabuh oleh para pembesar. Memang, jika gaya yang bekerja dalam locus area sebuah momentum relative besar umumnya ia hanya bermain dalam ruang yang terbatas yang sulit untuk dilihat dengan mata-telanjang, biasanya ia memerankan puluhan gaya-gaya (baca: actor-aktor) kecil lainnya yang berserakan.
***

Mengutip Judith Becker, dalam tradisi music oral (yang belum tertulis) seperti gamelan Jawa (lembo ade Bung Salman, ane tunggu publikasi Ente soal kesenian Lombok), tidak ada tradisi permainan “solo”; setiap bagian terpadu seluruhnya. Ia adalah upaya bersama, dimana satu upaya perorangan akan terjalin secara cermat dengan upaya rekan-rekan yang lain. Pemain tidak menganggap dirinya sebagai pencipta tetapi hanya sebagai pemelihara tradisi music, dan peraturan yang menuntun music ”bukanlah peraturan memorisasi atau improvisasi, melainkan didasarkan atas pilihan pada sesuatu formula atau kerangka tempo dan manipulasi pada elemennya”.

Dan belajar dari sejarah pergerakan kelas menengah Jawa pada Awal abad 20, Savitri Prastiti-Scherer, cucu dr. Soetomo, mencatatkan sesuatu untuk kita: jika seseorang ingin menjadi  panuntun yang tepat guna bagi masyarakatnya, ia harus menjadi seorang pamurba (yang bertanggung jawab atau yang mengawasi) dari seorang pamangku (yang mendukung atau mengangkat) masyarakat --tidak pernah sendirian, tidak pernah terlalu jauh di depan, atau jauh di depan rakyat lainnya. Masih soal gamelan, kata seorang anthropolog Udayana-Bali yang saya dampingi untuk risetnya di Lombok pada akhir tahun 90-an; entah mengapa semakin ke timur jumlah instrumen yang dimainkan semakin berkurang. Nah!
***

Dirilis pertama kali: 23 November 2011
Diskusi, kritik dan saran via: ekaffah@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar