Momentum= Gaya x Jarak
(rumus
terpenting mahasiswa teknik sipil semester awal)
Jika Anda bisa mulai bersepakat dengan gagasan saya,
bahwa perbaikan dan perluasan layanan tidak serta-merta harus ditempuh melalui
pengembangan atau pembentukan sebuah struktur baru, sebuah umpan-balik derivatif (turunan)
kiranya juga perlu mendapat perhatian. Untuk memperluas pelayanan tidak harus
memerlukan struktur (pemerintahan) baru, namun, sebuah upaya perluasan layanan
juga bisa menjadi sasaran antara untuk mengembangkan sebuah struktur baru. Hal
ini bisa semakin diperjelas jika dinamika agen-nya ikut dipotret.
Mutasi isu: Perbaikan
layanan menuju Provinsi Baru
Dalam ranah pengorganisasian warga, para aktivis
mengenal istilah Mutasi Isu. Ia
dilaksanakan jika ada jurang (gap)
antara kebutuhan kelompok dampingan dengan apa yang menjadi perhatian kelompok
sasaran eksternal. Mutasi isu diperlukan sebagai batu loncatan untuk
mendapatkan dukungan melalui pemenuhan kepentingan/keberpihakan kelompok
sasaran yang ingin diajak mendukung agenda kita.
Dalam pengalaman warga daerah aliran sungai Narmada
di India, masalah pokok (terpenting) yang dihadapi warga adalah potensi
‘tercemarnya’ kawasan suci penganut Hindu yang bisa terjadi jika ekspansi
industry pulp dan kertas menerjang hutan mereka. Namun untuk memobilisasi
dukungan internasional, mereka memajukan isu kerusakan lingkungan hutan dan
keberlanjutan sumber daya air.
Di Bertais-Cakranegara, sekitar Terminal Mandalika,
masalah utama pemuda adalah tiadanya lapangan kerja yang diharapkan dapat
diatasi melalui akses potensi lapangan kerja di area terminal timur. Mutasi isu
oleh OPSI Bertais, menyoroti beban psikologis yang dihadapi warga secara
keseluruhan dengan berkembangnya stigma
bahwa banyak terjadi jambret, copet, pemalakan, dsb, terhadap penumpang yang
menaiki angkot di jalur jalan raya, yang dialamatkan ke warga setempat.
Sehingga isu yang dicuatkan adalah perlunya penertiban pola angkut penumpang
yang harus dipusatkan di area terminal, dan dengannya dukungan DPRD dan instansi
terkait bisa diraih. Variasinya disini dibanding di Narmada-India, ia menyandingkan pendekatan
berbasis wilayah dengan asset strategis.
Atau dalam kasus Taman Wisata Aikbukak, Lombok
Tengah, alasan moral (meluasnya
maksiat), dan kerusakan lingkungan hutan sekitar, menjadi argumen warga untuk
menguasai asset strategis itu, padahal soal pokoknya bagaimana asset itu bisa
didaya-gunakan untuk menjawab persoalan kemiskinan warga setempat. Variasi modus lainnya, dalam kasus
pembangunan BIL di Tanak Awu, tentangan terhadapnya dari kelompok warga yang
masih mempertanyakan haknya terkait tanah lokasi Bandara bisa terbungkam hanya dengan
mengawalinya dengan peletakan batu pertama sebuah tempat ibadah; pengembangan
asset strategis dalam lindungan jas hujan agama.
Karenanya, sah-sah saja jika beberapa kalangan
mencurigai bahwa pengembangan asset-asset layanan strategis yang semata diorientasikan
pada wilayah tertentu tidak lain merupakan bagian dari praktek mutasi isu untuk
tujuan tertentu. Namun mengikuti de Bono sang ahli berpikir, ketimbang memakai “topi hitam” yang cenderung
memangkas bersemainya ide, atau mengambil posisi optimis seperti kerap menjadi pilihan
Farid Tolomundu, saya lebih memilih (untuk konteks ini) berpikir
alternatif.
Hemat saya, implementasi perbaikan layanan justru
dapat dire-orientasi menjadi katalisator untuk pembentukan provinsi baru.
Menggunakan cara berfikir memperluas jangkauan pelayanan namun untuk
mempersiapkan struktur (pemerintahan) baru. Demikianlah, pembentukan sebuah
universitas negeri di Kota Sumbawa selain bisa diterjemahkan sebagai upaya
untuk memperluas jangkauan layanan pendidikan tinggi, juga bisa dimaknai dalam
perspektif yang berbeda sebagai langkah mempersiapkan terwujudnya provinsi
baru.
Mengapa demikian, kelahiran sebuah kampus negeri
bisa secara radikal memproduksi intelektual dan kelas menengah baru. Ia dapat
melahirkan struktur wacana baru sekaligus kelompok baru yang akan mendorong dan
menyangga perubahan, dan memperkuat “nasionalisme” setempat . Ia (demikian pula
sebuah rumah sakit rujukan provinsi) juga akan
melahirkan sebuah pusat mobilitas baru, dan berikutnya pusat pertumbuhan
baru. Latar kelahiran gerakan nasional Indonesia yang dimulai di Jawa pada Awal
abad 20 adalah sebuah preseden. Kuatnya tradisi negara bagian di AS, sampai
batas tertentu juga didukung oleh perkembangan serupa.
Karena itu, agar tak sampai menyediakan panggung
untuk su’udzon (berburuk sangka), jika memang orientasinya adalah memperluas
jangkauan pelayanan, RS dengan pelayanan selevel RSU provinsi kalau bisa
minimal ada lima banyaknya, dua sampai tiga
di Lombok dan tiga di Sumbawa. Perguruan tinggi negeri yang umum semacam
Unram paling tidak ada dua di Sumbawa dan satu lagi di Lombok. Tak ketinggalan pula institut semacam IAIN juga
perlu diperluas jangkauan layanannya. Cara berfikir ini tentu dibimbing oleh
masih signifikannya peran institusi negeri di daerah dan memposisikan
penanganan kesehatan selevel RSU provinsi dan pendidikan tinggi sebagai
pelayanan oleh negara ketimbang mengandalkan partisipasi social rakyat. Diluar
keduanya, masih banyak lagi bentuk layanan lain yang perlu disoal, seperti
jalan raya, bandar udara, pelabuhan laut, dlsb.
Tentu saja, pilihan-pilihan yang diambil seyogyanya
mempertimbangkan aspek aksesibilitas (geografis) dan jumlah penduduk yang
dilayani. Sebagai pelengkap, saya katakan terus terang posisi saya: duit adalah
masalah teknis, bukan strategis. Maka
pilihan menjadi pemimpin itu memang berat. Bahkan sebelum tahun Isa dan tahun
Hijrah, pilihan dan risiko adalah pasangan abadi meski tanpa upacara
pernikahan.
Mobilitas
Agen: Gamelan tanpa Gong
Dalam tradisi Jawa kuno, runtuh dan bangkitnya
sebuah dinasti diramalkan terjadi setiap pergantian abad Jawa. Pusat kekuasaan
baru ditetapkan dimana seorang perempuan hamil yang keluar dari istana
menghentikan perjalanannya, melalui proses metafisis. Namun, selain mempelajari
sejarah, manusia juga menciptakan sejarah. Menjelang momentum pergantian
kekuasaan, kuda-kuda mulai disusun,
para ahli kitab mengeluarkan kitab baru, dan prakarsa tindakan dari setiap klik
kekuasaanlah yang memastikan momentum itu benar-benar mewujud.
Demikianlah, momentum telah ditandai dan jarak
telah diukur. Namun takkan ada momentum
tanpa adanya gaya-gaya yang bekerja dalam locus areanya. Maka mobilitas agen
(para actor) mulai terjadi untuk menyambut datangnya Provinsi Baru. Pemencaran
kekuasaan akan berakibat adanya upaya kelompok-kelompok kepentingan untuk
memperebutkan kuasa itu. Ini untuk mereka yang memilih bermain di jalur politik
praktis. Untuk organisasi-organisasi pelayanan, sebuah pertanyaan yang cukup
menggugah pun terlontar : “lebih baik melayani dua provinsi dari pada satu
provinsi, kan?”
Dan sejumlah kecenderungan sudah bisa mulai
dipotret. Langkah menghidupkan kembali institusi Kerajaan Sumbawa, memang
menyimpan kontroversi yang hingga kini belum selesai didiskusikan oleh kalangan
muda. Mengapa langkah itu justru digebar ketika rencana pembentukan Provinsi
Baru mulai mendapat titik pijakan, bukan sebelumnya ketika otonomi daerah mulai
bergulir pada awal 2000-an. Bercermin ke tetangga sebelah, ketimbang
merevitalisasi institusi kerajaan untuk memainkan peran politik dalam situasi
yang sudah berubah, bahkan sejak sebelum otonomi digulirkan Kerajaan Bima telah
berubah menjadi pemangku kebudayaan dan pelestarian nilai adat-sara, sementara
para pewaris trahnya memilih untuk menggunakan ruang politik kepartaian yang
tersedia, yang memang telah memiliki legitimasi sosial.
Perluasan organisasi-organisasi berbasis massa juga
mulai terjadi, baik melalui pendekatan jejaring atau pun organisasi terpusat.
Beberapa pemain utama, akan memilih mempermudah kerja dengan menggunakan sumber-sumber
politik yang memang sudah tersedia dan gampang dimobilisasi, karena mengejar timing yang sudah dijadwalkan.
Tuntutan pragmatis mentrasformasi kuasa akan
menoleransi hambatan ideologis. Yang lainnya, akan bersabar menyiapkan lahan yang
cocok untuk menyemai ideologi sembari awas menghitung kesempatan terbukanya
struktur peluang politik sebagai batu loncatan.
Karakter messianism
Guru Dane versi Salman Alfarisi, jejaring dakwah kelompok tareqat a la Darul Falah Pagutan, atau pun penyandingannya
dengan system organisasi modern sebagaimana
ditempuh Maulana Syeikh dalam Nadhlatul Wathan, kiranya masih akan menjadi
langgam yang laku. Bukan sekedar karena alasan ‘genit’ ini adalah khas kita yang berbeda dengan daerah lain,
melainkan karena strategi politik juga
telah memanfaatkan teknologi derivatif baru: pencitraan politik dan keunggulan
lembaga survey.
Di tengah semua semua kecenderungan itu, para
pemain utama sangat jelas hanya menari mengikuti alunan gendang yang ditabuh
ramai-ramai, tanpa ada yang memimpin untuk menabuh gong. Ironis, mengingat dalam
prosesi peresmian sebuah fasilitas umum, gong hanya bisa ditabuh oleh para
pembesar. Memang, jika gaya yang bekerja dalam locus area sebuah momentum
relative besar umumnya ia hanya bermain dalam ruang yang terbatas yang sulit
untuk dilihat dengan mata-telanjang, biasanya ia memerankan puluhan gaya-gaya
(baca: actor-aktor) kecil lainnya yang berserakan.
***
Mengutip
Judith Becker, dalam tradisi music oral (yang belum tertulis) seperti gamelan
Jawa (lembo ade Bung Salman, ane tunggu publikasi Ente soal kesenian Lombok), tidak ada
tradisi permainan “solo”; setiap bagian terpadu seluruhnya. Ia adalah upaya
bersama, dimana satu upaya perorangan akan terjalin secara cermat dengan upaya
rekan-rekan yang lain. Pemain tidak menganggap dirinya sebagai pencipta tetapi
hanya sebagai pemelihara tradisi music, dan peraturan yang menuntun music
”bukanlah peraturan memorisasi atau improvisasi, melainkan didasarkan atas
pilihan pada sesuatu formula atau kerangka tempo dan manipulasi pada
elemennya”.
Dan belajar dari sejarah pergerakan kelas menengah
Jawa pada Awal abad 20, Savitri Prastiti-Scherer, cucu dr. Soetomo, mencatatkan
sesuatu untuk kita: jika seseorang ingin menjadi panuntun
yang tepat guna bagi masyarakatnya, ia harus menjadi seorang pamurba (yang bertanggung jawab atau
yang mengawasi) dari seorang pamangku (yang
mendukung atau mengangkat) masyarakat --tidak pernah sendirian, tidak pernah
terlalu jauh di depan, atau jauh di depan rakyat lainnya. Masih soal gamelan, kata
seorang anthropolog Udayana-Bali yang saya dampingi untuk risetnya di Lombok
pada akhir tahun 90-an; entah mengapa semakin ke timur jumlah instrumen yang
dimainkan semakin berkurang. Nah!
***
Dirilis
pertama kali: 23 November 2011
Diskusi,
kritik dan saran via: ekaffah@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar