‘… kita ini kan cuma ikan kecil di kolam besar’. Ucapan ini keluar dari seorang redaktur, ketika saya mempertanyakan konsistensi pemberitaan koran-nya mengenai
sebuah bank lokal. Saya mencoba
memaklumi pilihannya, meski saya juga
tahu salah seorang rekannya –entah dia tahu atau tidak-- telah berkunjung ke kantor
pusat Bank untuk membicarakan kerjasama. ’Punya ”parang” tapi tak mampu
menggunakannya dengan baik’, Kalimat
lugas seorang jurnalis mengomentari situasi itu. Dia, jenis jurnalis yang jika ditanya sikapnya
tentang posisi wartawan dalam perubahan sosial sering bilang begini: karena kita makhluk sosial, sesibuk apa pun
menjalani profesi kita, harus tetap menyediakan waktu untuk mengurusi masalah orang banyak.
Jurnalis
pastilah bukan sejenis tukang jagal nasib orang, tapi saya pun ingat petuah beberapa jurnalis senior: menjadi jurnalis itu sebuah
pilihan hidup, harus ada keterpanggilan terhadap profesi. Namun seperti juga apologi
sang redaktur, ia hanyalah pemain kecil dalam struktur yang lebih besar, kehilangan
kebebasannya dan kesetiaan terhadap profesi harus mengalah. Debat ini, meski
menegaskan lanskap pandangan yang sama bahwa pers adalah institusi sosial,
tapi sekaligus mengeluarkan warga (people,
citizen, demos) dari perbincangan. Meski sudah inward dan outward
looking, diskusi hanya berpusar pada diri si wartawan dan struktur yang
melingkupinya.