(untuk “Legiun Narsis”)
Si Fulan melingkarkan lengan di pundakku: mana puisimu, datang dan
bacakan.
Puisi terakhirku berbulan-bulan silam, jawabku.
Ia menjual konsesi, merayuku,
meyakinkanku.
Terpaksa kubeli:
Aku berhenti menulis puisi!
Aku menulis puisi saat sempit, kejepit, terjajah. Aku menulis puisi
saat senang, bangga, romantic. Aku menulis puisi saat ragu, takut, malu. Aku
menulis puisi saat muram, sedih, tak berdaya.
Aku tak lagi butuh menertibkan rasa. Aku berhenti menulis puisi, sobat.
:Siapakah engkau sahabatku? Aku sadar pundakku kini hanya kumiliki
sendiri.
Perkenalkan: aku aktivis.
Aku mengajak orang mengenalkan otak dengan hati dengan tangan dengan
kaki.
:Apa yang sudah kau hasilkan? Kedua alisnya naik, kedua tangannya di
pinggang membangun segitiga berhadapan.
Banyak: pamflet, bendera, orator
baru, pagar roboh, macet, kaca pecah, gambar bagus di tivi, tiga tewas, seleb
baru…
:Apalagi? Banyak! Contohnya komisi-komisi negara baru yang kemudian masuk
angin dan buntung, dsb.
:Apalagi?? Banyak!! Seperti orang boleh bicara apa saja, koran bebas
menulis, meski hanya yang mampu bayar yang boleh tayang, dsb.
:Apalagi??? Banyak!!! Penguasa-penguasa yang sekarang
tak lagi bisa menolak
pemerintahan yang bersih, anggaran pro-poor,
pemenuhan HAM, lengkap dengan koruptor, tukang palak, ahli jilat, dlsb.
:Apalagi!?
Bagero kau! Orang-orang baru tak kenal huruf yang sedang belajar menulis
puisinya sendiri seperti kau yang kenyang sekolahan. Mereka-mereka yang berani
menertawakan masa lalunya yang gelap. Gerombolan baru yang membacakan puisinya
sendiri di jalanan dalam permainan peran mengenali diri dan penindasnya. Legiun
domba yang sedang membangun keberanian, dst, dst.
:Tapi, engkau baru saja bilang kau berhenti menulis puisi.
Suatu saat mereka juga akan berhenti menulis puisi, seperti aku, atau
tetap menulis puisi. Terserah mereka saja.
Itu pasti. Aku hanya perlu bersabar.
Aku aktivis.
Aku belajar tentang kesabaran.
Ia memelukku erat-erat.
(Si Fulan itu, kini kupanggil ia Lan. Ia setuju, meski aku tak lagi
menulis puisi)
17 Januari 2012