Translate

Selasa, 12 Mei 2015

KORUPSI DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA DI LOMBOK


Studi Kasus Pengembangan Kawasan Wisata Terpadu Pantai Kute Putri Nyale atau Kawasan Mandalika, Lombok Tengah.

Pengantar

Naskah berikut ini mencoba menguraikan gambaran korupsi di Nusa Tenggara Barat pada Era Orde Baru, khususnya di Pulau Lombok. Di dalamnya mengkaji postur korupsi yang terjadi dalam pengembangan Kawasan Wisata Terpadu Pantai Kute Putri Nyale   (juga dikenal sebagai Kawasan Mandalika), yang saat itu berada dibawah pengelolaan perusahaan managemen PT. LTDC. Pendek cerita, pola pengelolaan pariwisata saat itu menyebabkan lahan strategis kawasan wisata ini menjadi agunan bank oleh pengusaha PT. Rajawali  guna memperoleh kredit sindikasi perbankan. Saat kredit pengusaha macet, masuk dalam pengawasan BPPN, lahan kemudian dikonversi dengan hutang pengusaha. Apa boleh buat, dana bank telah terkuras, sementara pengembangan kepariwisataan terbengkalai.  Lahan kemudian berada dalam penguasaan pemerintah pusat.


Belakangan ini, Presiden  Joko Widodo  menyatakan tertarik mengembangkan kawasan wisata Mandalika. Bahkan akan dikucurkan dana sebesar Rp. 1,8 Trilyun untuk modal awal pengembangan kawasan ini (Posisi Mei 2015).  Sebelumnya, pengelolaan kawasan ini telah diserahkan kepada PT. BTDC (Bali Tourism Development Corporation). BTDC sendiri, konon situasinya sedang megap-megap, karena memiliki kewajiban hutang sekitar Rp. 1,5 Trilyun.



Naskah ini merupakan bagian dari naskah lebih lengkap yang saya susun sebelumnya, berjudul ”POLITIK KORUPSI DI NUSA TENGGARA BARAT”,  mengupas mengenai postur korupsi di NTB sejak Era Orde Baru, Era Reformasi sampai masa-masa awal ketika Era Otonomi Daerah mulai berjalan. Naskah lengkap  dapat dibaca dalam buku: FIQH KORUPSI; Amanah vs Kekuasaan. Ervyn Kaffah & Moh. Asyiq Amrulloh (Eds.), SOMASI NTB, 2013.

Senin, 11 Mei 2015

Kondisi Jalan dan Orientasi Kebijakan Infrastruktur Jalan di Nusa Tenggara Barat (2)



Kinerja Pembangunan dan Pemeliharaan Jalan

Pemerintah Daerah dibawah kepemimpinan  Gubernur TGH Zainul Majdi hari ini mewarisi kondisi jalan yang buruk. Kondisi jalan di NTB ini memang bisa disebut warisan yang tak kunjung mendapatkan penanganan memadai.

Jika direview kembali hingga ke era-era sebelumnya,  pada awal pemerintahannya Gubernur Harun Alrasyid (1999-2003) mendapatkan warisan kondisi jalan provinsi dengan tingkat kemantapan relative bagus sebesar 87 persen. Ia bercita-cita untuk meningkatkan kondisi jalan di NTB dengan angka prestisius hingga 94 persen. Namun masalah nampaknya cukup banyak menghadang, pada akhir pemerintahan Harun fakta menunjukkan bahwa tingkat kemantapan jalan malah turun ke titik 74 persen.  Wajar jika pada era pemerintahan Gubernur Lalu Serinata (2003-2008), peningkatan kualitas jalan ini pun menjadi salah satu agenda penting pemerintah daerah. Namun, apa mau dikata kondisi kemantapan jalan secara umum malah semakin menurun.  Pada akhir pemerintahan Serinata, tercatat kondisi kemantapan jalan di NTB hanya 44,25 persen. Kondisi inilah yang diwarisi pemerintahan Gubernur Majdi  sejak menjabat pada pertengahan 2008 silam. Review diatas memperlihatkan bahwa kerja menangani kondisi jalan NTB bukanlah pekerjaan mudah.

Ekonomi-Politik Pemerintahan Gubernur Majdi

Sejauhmana efektivitas pemerintahan Gubernur Majdi akan sangat ditentukan oleh berbagai factor. Dengan mengkapitalisasi faktor pendukung  dan sebaliknya meminimalisir faktor pelemah, Gubernur dapat lebih optimis menjalankan misi pemerintahannya. Beberapa factor yang akan dikemukakan pernah menjadi tema diskusi saat kunjungan silaturrahmi calon gubernur KH. M. Zainul Majdi ke Sekretariat SOMASI NTB menjelang perhelatan Pilgub NTB, dua tahun silam.

Rabu, 18 September 2013

Cacing di Septic-tank Rezim



Aku hidup di bawah tiga rezim yang berbeda.
Rezim Lama, diasuh pejabat senior pendiri awal negara ini. Penghuni negara ini masih sedikit. Warga kami harus berebutan makanan.
Rezim Baru, dipimpin orang luar yang tiba-tiba datang dan suatu hari masuk mencoba WC. Bisnis berhasil. Makanan sudah tersedia di meja kolektif. Sungguh suatu kehidupan yang teratur, lucu juga, masak semua orang setiap hari be-ol nya sama?
Rezim terkini, lagi krisis global, berpengaruh juga ke kondisi kesejahteraan negara. Banyak yang kerja ke luar negeri, semakin jarang yang buang kotoran.
Selain makan kotoran rezim, kami juga belajar sesuatu.
Kemistisan awal harus dijaga. Karena waktu akan menyibakkan aurat maka tak perlu berpanjang hari. Toh, satu dasawarsa sudah cukup memutuskan urat malu.
Keteraturan itu banyak manfaatnya, baik untuk mengukuhkan otoritas  maupun untuk menjamin agenda yang dihajatkan bisa berjalan.
Anarkisme mungkin lebih pas untuk para penikmat estetis. Mereka yang lebih realistis, bahasa santun untuk pragmatis, sebaiknya memilih buat negara baru (dan WC baru tentunya). Bicara soal ketahanan, pertama kali  berdiskusilah dengan diri sendiri, baru kemudian berkomunikasi.
Dan mengenai keberlanjutan, seseorang memunculkan dilema: adakah hubungannya struktur dan pelayanan?
Tapi tuan, itu soal yang sangat penting bagi rezim dan tidak harus untuk kami. Tolonglah, jangan pernah melewatkan hari tanpa membuang kotoran.

Pejeruk, April 2011

Minggu, 21 April 2013

Kondisi Jalan dan Orientasi Kebijakan Infrastruktur Jalan di Nusa Tenggara Barat (1)


Salah satu factor terkait akses dan ketersediaan jalan adalah ketimpangan  yang cukup mencolok antara ketersediaan jalan di Pulau Lombok dengan Sumbawa. Jika di Pulau Lombok, setiap 1 kilometer persegi luas wilayahnya terdapat  0,66 kilometer ruas jalan, di Pulau Sumbawa untuk setiap 1 kilometer persegi hanya terdapat 0,28  kilometer ruas jalan. Meski demikian, mengingat jumlah penduduknya yang lebih sedikit, di Pulau Sumbawa  setiap 1000 jiwa terlayani oleh jalan sepanjang 3,66  kilometer, masih lebih baik dibanding di Pulau Lombok dimana setiap 1000 jiwa dilayani oleh 1,1 kilometer jalan. Ini berarti dari segi aksesibilitas, pelayanan di Lombok lebih baik, namun di Pulau Sumbawa aspek mobilitasnya lebih baik.

Kinerja Kejaksaan Daerah dalam Penanganan Korupsi



Integritas berarti melihat gambaran yang lebih besar, menemukan tujuan yang lebih besar
daripada diri Anda (Habitat for Humanity)
Komitmen terhadap keseluruhan (pemegang kepentingan) secara kolektif  (O.C. Tanner Company)


Tepat pada Hari Anti Korupsi Internasional, 9 Desember 2008 lalu, Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB mempublikasikan telah menangani 16 kasus korupsi tahun itu, dan karenanya telah berhasil memenuhi standar kinerja yang ditetapkan  Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menyelesaikan lima kasus ke tahap penuntutan. Atas capaian tersebut, lembaga yang berkantor di Jalan Langko ini mendapat posisi dua terbaik se-Indonesia. Ironisnya, berbeda dengan keterangan Kejati NTB, SOMASI memberi nilai MERAH untuk kinerja Kejaksaan Tinggi NTB.[1]
Tulisan ini akan mengurai latar yang memunculkan dua penilaian yang berbeda terhadap kinerja kejaksaan tersebut, sekaligus membangun perspektif inovatif mengenai  indikator kinerja kejaksaan di tingkat daerah. Harapannya,  Kejati NTB dapat mengakomodir perspektif ini dalam kerjanya ke depan, termasuk dalam menyampaikan laporan kinerjanya kepada publik.