“…. Maka kami menyatakan : pertama,
bertekad bulat untuk secara langsung dan tidak langsung turut serta dalam
gerakan pemberantasan korupsi; kedua,
akan dengan sangat sungguh-sungguh menggalang segala potensi yang memungkinkan
ditegakkannya keadilan sejati demi keselamatan rakyat; ketiga, secara
terus-menerus melakukan sosialisasi gerakan anti-korupsi di setiap waktu dan
kesempatan; keempat, berupaya mendidik dan membina kader-kader muda yang
konsisten melawan korupsi; kelima, akan memberikan bantuan moril dan
materil pada semua gerakan anti-korupsi.”(dikutip dari naskah ikrar Aliansi
Pondok Pesantren untuk Gerakan Anti Korupsi, APPGAK NTB, yang dibacakan oleh TGH. Mahyuddin Azhar Lc, di
Mataram pada tanggal 23 Oktober 2001).
Korupsi di Indonesia telah memasuki tahap
sistemik. Selain telah merasuki sejumlah infrastruktur kenegaraan, korupsi pun
telah menjangkiti institusi-institusi sosial masyarakat dan menjangkiti
sendi-sendi kehidupan masyarakat. Lebih berat lagi, persoalan korupsi adalah
persolan persepsi dan kesadaran masyarakat mengenai korupsi.[1] Menghadapi problem seperti ini, selain
melakukan perbaikan di lapangan ekonomi, politik dan hukum, upaya pemberantasan
korupsi haruslah meliputi upaya lainnya dalam merubah persepsi masyarakat
mengenai korupsi.
Salah satu
sebab mengapa masyarakat permisif terhadap korupsi adalah karena masih
bertahannya sejumlah nilai-nilai yang tidak kondusif bagi upaya pemberantasan
korupsi. Problem ini tentu lebih berkutat pada nilai-nilai yang membentuk
perspektif masyarakat dalam memandang masalah-masalah dalam kehidupan dan
terletak pada level struktur sosial-kebudayaan. Disini dapat dikatakan bahwa
faktor-faktor budaya konsumerisme bisa jadi menjadi sebab mengapa korupsi
dianggap sebagai sesuatu yang sah. Sebab lainnya adalah karena tekanan pada
struktur sosial-politik, yang mengakibatkan orang terdorong untuk melakukan
korupsi. Tekanan ekonomi, insistusi birokrasi
yang berubah menjadi institusi pemeras, pers yang dibungkam, penegakan
hukum yang buruk, terjadinya pergeseran kekuasaan dan buruknya transparansi dan
akuntabilitas adalah beberapa diantara
sebab-sebab struktural yang
mengakibatkan korupsi terus-menerus terjadi dan semakin akut.
Untuk
mengupayakan pemberantasan korupsi, maka
keterlibatan semua pihak adalah salah satu prasyarat yang harus dimajukan.
Pemberantasan korupsi tidak akan berhasil tanpa dukungan masyarakat. Salah satu
komponen masyarakat yang memiliki peran strategis di dalam membangun gerakan
sosial anti-korupsi adalah tokoh-tokoh agama yang dalam kehidupan masyarakat
memegang peran yang cukup sentral. Keterlibatan para tokoh agama dalam upaya
pemberantasan korupsi akan memberikan motivasi dan dorongan yang kuat bagi
masyarakat untuk ikut serta dalam upaya pemberantasan korupsi.